Namanya Sofia


Namanya Sofia

Empat belas menit berlalu dan pria itu tetap berdiri di sana, menunggu. Meskipun sepertinya ia sudah tahu kalau biasanya wanita yang ditunggunya itu tidak pernah terlambat barang semenit pun.



Hari ini memang tidak seperti biasanya. Wanita itu selalu datang pukul delapan kurang seperempat. Sebelum masuk ke lift menuju ke kantornya di lantai 8 dia selalu mampir ke meja resepsionis dan menitipkan surat-surat untuk diambil koleganya setiap pukul 11. Kurasa pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga wanita itu terlambat masuk kantor hari ini.

Pria itu masih mondar-mandir di depan pintu lift yang sudah membuka dan menutup berulang kali, membawa manusia dari tanah ke langit dan sebaliknya. Tetapi ia bergeming di sana. Dan itu bukan sekali dua kali ia lakukan. Entah sudah yang keberapa kalinya ia melakukan itu. Tapi kali ini jadi terlihat lebih buruk karena orang yang ditunggunya tidak kunjung datang.

Sesaat kemudian kulihat ia masuk ke dalam lift. Kupikir ia sudah bosan menunggu si wanita. Tapi sejurus kemudian, ia keluar lagi dari lift, masih di lantai yang sama. Ia lalu berjalan kembali menuju lobby dan duduk di salah satu sofa di sana. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Memencet nomor dan mendekatkan ponsel pipih itu ditelinganya. Siapa yang diteleponnya? Pasti bukan wanita yang sedang ditunggunya. Aku yakin mereka belum saling kenal. Sebentar kemudian ia menyelipkan kembali benda pipih itu ke saku celananya.

Di lobby ia terlihat resah. Berdiri lalu duduk lagi. Sebentar-sebentar menyisir rambut ikalnya dengan jemari, merapikan letak dasinya yang sebenarnya tidak salah, dan membenarkan ikat pinggang yang menahan celananya yang jatuh terjuntai membungkus kaki kokohnya. Setiap hari dia selalu berdandan rapi dan juga wangi. Semua itu dilakukannya agar wanita itu mau melirik ke arahnya. Sejauh ini dia sudah berhasil membuat seseorang memperhatikannya, meskipun itu belum sesuai harapannya.

Setelah bosan menunggu di lobby ia berjalan menuju keluar. Ia menunggu pintu otomatis terbuka dan menghambur keluar pada mobil-mobil yang sedang menepi menurunkan penumpang. Ia memandangi setiap orang yang baru saja turun dari mobil. Berharap salah satu dari mereka ada yang membuat bagian tertentu di otaknya berpendar.

Tak lama, dari sebuah sedan keluaran Eropa terlihat kaki seorang wanita menjulur, bergerak turun dan mulai menapaki koridor menuju lobby. Ia menenteng sebuah tas dan beberapa kantong belanja di tangan kirinya sementara tangan kanannya menyangga sebuah kotak besar berwarna coklat dengan tutup transparan yang diikat dengan pita kuning. Ada sebuah kue tart besar di dalamnya, mungkin sejenis black forest.

Melihat banyaknya barang bawaan wanita itu, pria yang sedari tadi menunggu itu cepat-cepat berjalan mendahului agar bisa membukakan pintu untuknya. Tapi ia lupa kalau itu adalah pintu otomatis. Maka ketika ia sudah di depan pintu dan pintu itu hampir membuka dia tetap diam menunggu sampai si wanita berjalan di sampingnya. Sambil menarik nafas kulihat ia pura-pura mencari sesuatu di dalam tas kerjanya untuk menunda.

Wanita itu tidak memedulikan semua adegan itu. Semestanya adalah dirinya sendiri. Dan ia tidak pernah menyadari bahwa ada seorang pria yang berdoa agar semua planet kecil yang sedang ditenteng di tangannya itu berhamburan dari orbitnya, sehingga memungkinkan pria itu untuk membantunya memunguti semua serpihan yang ada.

Dan harapan pria itu terkabul sedetik setelah wanita itu berjalan melewati pintu otomatis. Trench coat wanita itu tersangkut di bibir pintu yang sudah menutup dan karena ia berjalan terlalu cepat maka ia jadi oleng dan sedikit kehilangan keseimbangan. Kotak coklat yang disangganya mencelat dari orbitnya dan jatuh di lantai lobby yang dingin. Wanita itu panik. Setelah trench coat-nya berhasil dilepaskan dari bibir pintu, wanita itu buru-buru mengambil kotak coklatnya dan meninggalkan semua barang lainnya di lantai lobby. Pria itu cepat-cepat mengambil kesempatan.

Untung black forest-nya tidak hancur, wanita itu baik-baik saja, tetap menawan seperti biasanya. Dan barang bawaannya yang berhamburan di lantai sudah aman di tangan si pria. Tapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja. Ia menjadi lebih resah ketimbang saat belum bertemu wanita itu. Pria itu kini berusaha berjalan berdampingan dengan si wanita menuju ke arah lift. Sementara si wanita seperti lupa dengan barang bawaan lainnya, hanya memandangi kotak coklat berisi black forest itu.

Kurasa pria itu sudah tahu bahwa hari ini adalah saatnya. Setelah 28 hari menunggu akhirnya saat ini tiba juga. Tapi, kulihat begitu kesempatan ini datang, ia malah tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Alih-alih membuka mulut ia malah sibuk mengatur agar tangan kanannya tetap bebas dan tidak memegang apa-apa. Maka ia memindahkan tas dan belanjaan si wanita ke tangan kirinya bersama dengan dengan tas kerjanya agar tangan kanannya bebas dan bisa bersalaman dengan wanita itu.
Tapi wanita itu bukan orang yang terlalu ramah meskipun itu tak menghalanginya untuk berkata terima kasih. Jadi setelah mengucapkan terima kasih si wanita mengangguk seraya meminta kembali barang-barang yang dibawa pria itu. Wanita itu tidak memperkenalkan diri juga tidak menjabat tangan pria itu. Dan aku tahu pria itu kecewa. Terbaca dari raut mukanya. Tapi meskipun begitu si pria tak kehabisan akal.

Pria itu menekan tombol lift untuk si wanita. Si pria tahu jika mereka bisa berada di sana berdua ia masih punya banyak kesempatan. Untuk apa saja. Pintu lift terbuka, tapi wanita itu menengok ke arah yang berlawanan, menanggapi suara seorang pria yang berlari ke arahnya.

“Hei, kau di sini rupanya. Aku sengaja turun untuk menyusul ke apartemenmu. Tadi aku menghubungi ponselmu tapi tidak kau angkat. Tidak biasanya kau datang terlambat. Aku jadi khawatir.”

“Armand,” wanita itu tampak terkejut dengan kemunculan pria itu, “maaf tadi aku membeli ini dulu.” Katanya sambil mengangkat kotak coklatnya yang berharga. “Uhm, selamat ulang tahun yaa.” Wanita itu menarik si pria yang bernama Armand itu mendekat dan mengecup pipinya.

“Iya, sayang terima kasih....” pria itu memeluk erat si wanita dan balas mencium bibirnya. Sementara pria yang lain itu, yang sedari tadi menunggu, tetap berada di ambang pintu lift yang sudah menutup kembali.

Aku tak tahu bagaimana kisah itu berlanjut karena aku memutuskan untuk memalingkan muka. Tak perlu melihat raut muka pria itu untuk tahu apa yang sedang dirasakannya. Aku sudah tahu rasanya. Menunggu seseorang setiap pagi dan berharap bisa mengetahui namanya atau menjabat tangannya. Andai saja kamu mau bertanya padaku akan kuberitahu nama wanita itu, namanya : SOFIA.

No comments

Powered by Blogger.