Leap of Faith






Hidup ini serangkaian pilihan, kadang nggak semua hal bisa kita lakoni dalam satu waktu, terkadang juga, kebutuhan-kebutuhan mengalahkan daftar prioritas yang sudah kita susun.


Saya nyadar, gampang banget menuliskan sederet kalimat di atas itu, padahal untuk bisa ‘walk the talk' ; bergerak dari apa yang sudah kita yakini dan menjadikannya suatu tindakan, ternyata nggak gampang.

Di antara banyak pilihan sejak bangun tidur hingga tidur lagi, kita juga dihadapkan dengan yang namanya keinginan, impian, dan target. Seringnya, kalau mau buka mata dan hati lebar-lebar, semua yang tadi saya sebutkan itu sering kalah sama yang namanya kebutuhan.

Belakangan saya mulai belajar kalau penggerak perilaku yang paling kuat itu bukan keinginan apalagi impian, melainkan kebutuhan. Kalau suatu hal sudah menjadi kebutuhan (yang mana kita nggak bisa ‘hidup’ tanpa hal itu) maka kita akan punya energi ekstra untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kita akan bangkit dan memaksakan diri untuk memenuhinya meskipun berat, meskipun jauh, meskipun harus menunggu dalam jangka waktu yang lama.

Masalahnya, kita sering menukar-nukar posisi antara kebutuhan dan keinginan. Yang tadinya cuma keinginan biasa, seolah jadi kebutuhan yang harus dipenuhi, sementara yang benar-benar menjadi kebutuhan, justru sering kita pinggirkan. Belajar memilah keduanya memang nggak gampang. Nyaris seperti berusaha memisahkan minyak dengan air, yang batasnya jelas, tetapi sulit dipisahkan kalau sudah tercampur.

Dan…(saatnya pengakuan)

kesadaran saya sepertinya baru naik ke permukaan sekitar enam bulan belakangan ini sehingga baru sadar kalau selama ini sering kali menukar posisi antara keinginan dan kebutuhan. Fatal. Tapi kemudian saya belajar banyaaakkkkk sekali di beberapa bulan terakhir ini.

Proses pembelajarannya nggak gampang. Memar-memar, lebam, pokoknya bittersweet. Dari titik ‘menyadari’ kekeliruan hingga titik ‘perubahan’ butuh waktu coba-coba yang panjang. Merasakan efek dan imbasnya juga berangsur dari kecil ke besar; beberapa langsung mengenai diri sendiri; beberapa membuat orang lain ikut terciprat imbasnya.

Ngomong-ngomong tentang orang lain, pada suatu titik sebagai pribadi, kita nggak bakal selamanya selfcentris (hanya mementingkan kebutuhan sendiri). Peran yang melekat pada pribadi kita turut membentuk kebutuhan kita sendiri. Let’s say; I am a mother. Berarti kebutuhan sebagai seorang ibu akan terkait pada kebutuhan anak-anak saya. I am a wife; saya juga punya kebutuhan yang terkait dengan pasangan. I am a daughter; saya punya kebutuhan yang terkait dengan kedua orangtua. Tuliskan peran-peran lainnya yang kita miliki dan daftar kebutuhan kita akan bertambah panjang.

Yang nggak boleh ketinggalan; kita juga hambaNya. Sudahkah kita memenuhi kebutuhan diri kita sebagai hambaNya?
God doesn’t need us. Kita yang membutuhkanNya. Apa yang sudah kita lakukan untuk menjadi dekat denganNya? Sering kali kita lupa dengan peran yang satu ini dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan hal itu.

Balik ke judul postingan ini. Jadi, di mana letak lompatannya? Yes. Lompatannya adalah bahwa jika kita memecah mimpi kita yang besar menjadi kebutuhan-kebutuhan yang lebih kecil maka impian besar itu bisa menjadi penggerak perilaku kita. Ubah impian kita jadi kebutuhan, dan lakukan yang terbaik untuk mencapainya.

Not a simple sentence, of course. Bahkan untuk menyusun mimpi pun kita harus pintar-pintar memilah mana mimpi yang didasari keinginan sesaat, dan mana yang mengakar pada kebutuhan dan passion kita.

Jadi, sebelum melompat, tentukan dulu kamu mau mendarat di mana?

No comments

Powered by Blogger.