Bahaya Laten Itu Bernama Multitasking

MOM; Master of Multitasking. Pernah denger istilah ini kan? Trus apa yang Ibuk-Ibuk sekalian rasakan dengan predikat ini?
Bangga? Tertantang? Atau malah bertanya-tanya; masak, sih?

Kalau saya, sepuluh tahun yang lalu merasa tersanjung sekaligus tertantang. Hebat euy, seorang chef nyambi jadi Guru Les Semua Mapel sekaligus financial planner dan desainer interior rumah.
Sepuluh tahun lalu saya masih 20 something.  Sekarang 30 sekian. Sekarang saya sadar itu predikat paling ngga realistik sejagad raya. Coba saja di dunia nyata kalau kita bertemu satu orang dengan multi profesi seperti yang disebutkan di atas, pertanyaan paling dasar adalah mana yang jadi pekerjaan utamanya?

Satu panah tidak akan mengenai LIMA sasaran sekaligus.

Kepala 2 dan 3. Bukan. Bukan karena si angka kepala tiga yang mereduksi sekian peforma fisik--yang tadinya bisa begadang ngelembur tulisan sambil menyusui anak, paginya masih mikir urusan rumah tangga dan pekerjaan tambahan lain atau kerja-- tetapi karena kesadaran yang bertumbuh bahwa saya ngga harus melakukan semua itu seorang diri.

Bisa bukan berarti harus.

Butuh lima sampai tujuh tahun untuk menyadari ketidakmasukakalan tuntutan peran ganda itu, butuh jungkir balik dulu baru menyadari kalau predikat MOM itu punya bahaya laten yang bisa mengikis kesehatan mental kita(Kita?Elu aja kalik) sebagai seorang Ibu.

Sungguh deh, jangan mau dikasih predikat itu, overestimated dan over claim banget. Berikut ini bahaya laten yang muncul akibat tuntutan peran itu. Sebelum baca lebih jauh, ini ngga scientifically based lhoo yaa...ini murni hasil pengamatan terhadap diri sendiri dan beberapa orang. Kita pakai contoh:

1. Habis lahiran nih, udah tahu belum tugas utamanya apa? Buibu, tugas kita yang utama adalah PULIH, selanjutnya menyusui. Tanya sama diri sendiri, mau nggak, abis berjuang hidup dan mati setelahnya masih harus mikirin cucian baju, piring, atau popok, mending kalau dengan dipikirin doang semua kerjaan itu bisa kelar, kalau nggak?
Tanya deh sama hati yang paling dalam kiranya menyusui itu bisakah diwakilkan ke Bapaknya atau asisten RT ngga? Kalau jawabannya nggak, artinya menyusui itu tugas utama kita saat itu, ngga bisa ditawar apalagi digoyang.
Lho, katanya MOM, bisa dong menyusui nyambi ini-itu. Bisa-bisa aja, tapi ini bahaya latennya: menyusui bukan sekadar proses memberi makan bayi, menyusui juga membangun pelekatan dasar antara Ibu dan Bayi dan itu akan menjadi dasar hubungan kita dengan si anak seumur hidup. Untuk tugas sepenting ini masih mau disambi jawab-jawabin orderan olshop, melipir nyuci popok, atau apalah yang menjauhkan kita dari berinteraksi dengan si Buah hati. Pegang jari jemarinya, balas tatapan matanya, elus-elus kepalanya, dan tiupkan doa-doa baik di ubun-ubunnya. Delegasikan semua pekerjaan yang menjauhkan kita dari hal tersebut sampai setidaknya tiga bulan pertama (Komunikasikan hal ini jauh-jauh hari dengan pasangan dan cari solusi yang paling memungkinkan) Istirahatlah bersama si bayi, peluk dia dan buat hormon-hormon keibuan terpompa, melepaskan senyawa relaks dan tenang. Insyaa Allah, baby blues pun minggir jauh-jauh.

2. Anak udah kegedean dikit. Bisa dong momong anak disambi ngurus kerjaan rumah. Toh, nyuci tinggal masukin baju kotor, pencet-pencet. Habis itu masak nasi, ehtapi belum ada robot pel, padahal lantai rumah kotor banget, tapi kalau ngepel si Adek nanti gimana. Oh iya, suruh di kamar dulu deh, nyalain baby TV atau nyalain gadget, biar lihat hewan-hewan lucu. Siip, beres semua. Masuk kamar, duuh, cape rebahan dulu ah, sambil nunggu jam jemput sekolah si sulung, buka sosmed baca tentang larangan screen time buat anak toddler, merasa bersalah sekaligus galau. Duuh, tapi gimana lagi kalau ngga gitu kerjaan rumah ngga beres. Besok lagi melakukan hal yang sama demi secara ngga sadar memenuhi tuntutan peran sebagai seorang MOM, tidak sadar anak tergantung pada gadget dan kita kehilangan we time yang sungguh-sungguh berkualitas dengan si toddler. Ehtapi aku juga luangin waktu main kok, sama dia...sambil lirik sosmed, balesin chat, baca buku, masak. Iyaa semua bisa disambi kecuali hadir sepenuhnya dengan anak. Multitasking itu sudah membuat syaraf-syaraf kita terbiasa mengira bahwa satu pekerjaan bisa disambi pekerjaan yang lain.
Padahal tidak semua begitu, bukan cuma momong anak yang semestinya kita bisa hadir utuh dan sepenuhnya, banyak kewajiban lain yang semestinya dilakukan dengan utuh penuh menyeluruh. Sholat, misalnya. Bahaya laten multitasking membuat di sela-sela rakaat-rakaat kita ada pikiran tentang bagaimana nanti melakukan pekerjaan A atau B. Kita bergerak di atas sajadah tapi ruh kita sedang mencuci piring.

3. Kenapa perempuan bisa menjadi MOM karena kapasitas penyimpanan datanya bukan cuma di otak, tetapi juga di hati. Makanya jangan salahkan kalau tiba-tiba kita jadi wanita paling kurang pikenik se-Indonesia Raya. Ada yang nyingung-nyingung soal SAHM sensi, soal Ibu Kantoran sensi, anak HS sensi, ini sensi, itu sensi. Iyaah, semua beres kita kerjakan sendiri, otak sih, puas tapi coba tengok si hati. Hati kecil itu kabelnya nyambung sama segala-gala yang alamiah pada diri seorang wanita, bisa jadi itu kodratnya, mimpi-mimpinya, atau inner child nya. Kalau suatu hari rasanya kok bukan badan yang capek, coba dicek ke dalam, dijenguk lagi inner child nya, diajak ngobrol, pasti ketemu dimana missed-nya.

4. Multitasking bikin saya selalu tergesa-gesa. Pingin segera beres satu pekerjaan dan menclok ke pekerjaan yang lain. Tergesa-gesa itu bukan cuma sumber masalah, tapi juga sumber stres. Pernah denger kalimat ini : for fast acting relief, try slowing down. Tergesa-gesa lagi-lagi melatih syaraf-syaraf dan neuron kita untuk memberi batasan waktu terhadap satu pekerjaan yang sama dalam satu waktu...sederhananya rutinitas. Kalau selalu diturutin, nafsu untuk multitasking ini juga bisa bikin kita gampang bosan dengan sesuatu yang rutin. Padahal, banyak hal rutin yang seharusnya jadi pondasi utama hidup kita. Iya makanya suka gampang banget bilang, duuh bosen deh gini-gini aja...pingin suasana baru, duuh kurang menantang deh, pingin coba hal baru. Semua itu karena syaraf kita sudah biasa juggling dari satu hal ke hal lainnya dalam waktu singkat. Dan yang namanya buru-buru, hasilnya ngga sebagus kalau kita benar2 into it.

Empat dulu deh, nanti kalau nemu bahaya2 laten lainnya, disambung lagi. Sekarang, saya lebih suka sama kutipan di gambar di bawah ini...

6 comments:

  1. Keren mbak Nia artikelnya. Benar juga sih ya kita tetap punya batasan dan prioritas mana yang urgwnt mana yang boleh nanti. Saya juga mbak pengennya semua dikerjakan sendiri tapi kalau dipaksa ntar ujung2nya malah sakit ya. Kalau kita sakit bisa berabe yaa..

    Salam kenal kembali mbak, blognya keren loh :)

    ReplyDelete
  2. saya udah sering kena akibat buruk multitasking, panci dan wajab udah beberapa kali jd korbban karena saya masak sambil ngerjain yg lain...:( udah igut karena di kepala banyak hal yg jadi daftar, suka repot sendiri dan pelupa :(((((

    ReplyDelete
  3. Setujuuu. Kadang pengen semua perfect tapi tapi ya gitu deh

    ReplyDelete
  4. Hihi. saya termasuk yang beberapa kali jadi korban :)

    cucian harusnya dibilas sekali lagi jadi nagkring aja di mesin cuci sampai sore. pas ingat matahari sudah pergi. hiks

    ReplyDelete
  5. kalau dipikirin emang rasanya nggak sanggup mengerjakan semuanya... aku dulu waktu baru nikah juga gitu. apalagi sebelumnya aku hidup bak putri raja, jangankan ngepel atau cuci piring, nyapu aja nggak pernah sama sekali... tapi ternyata bisa. Mungkin karena cinta. ish, klise tapi demikianlah. beneran karena cinta

    ReplyDelete
  6. jadi mom emang mau nggak mau jadi supermom ya mommy

    ReplyDelete

Powered by Blogger.