My Imaginary Friends : Mengenal Sumber Kemacetan Menulis Karakter Untuk Novel

Mengenal Sumber Kemacetan Menulis Karakter Novel


Ada yang bilang kalau writer's block adalah : "when your imaginary friends won't talk to you."

Nggak terasa, tahun demi tahun, teman imajiner saya makin banyak; dan mereka semua punya cerita kehidupan yang unik. Entah bagaimana, melalui saya, mereka datang dan ingin kisah hidupnya diceritakan. 


Ada Pandan Salas Sukmajati, seorang pria tampan yang tuli nada, tetapi sangat diharapkan oleh ayahnya, yang seorang komposer, agar dapat mewarisi bakat bermusiknya. Kisah Pandan Salas bisa kalian baca di Novel Lenka yang ditulis keroyokan bersama teman-teman bengkel novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2009.

Ada Ken, seorang periset bioteknologi yang ingin menemukan zat kimia pembangkit perasaan cinta dan Nero produser sebuah realiti dokudrama yang ingin mendapatkan cinta sejati dalam hidupnya. Kisah Ken, sudah bisa dibaca di novel 29 setengah hari yang diterbitkan oleh Grasindo tahun 2010 lalu.

Ken ini  jadi salah satu tokoh pria favorit saya karena cerdas, tipe cowok teknikal yang lebih banyak melakukan action, alam perasaannya kokoh (jadi bisa buat sandaran, eaaa), tetapi juga punya kedalaman emosi dan cara berpikir. 

Lalu ada Art, Dipi, Zaki, Min Ho, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh rekaan di Novel My Cup of Tea yang diterbitkan oleh Gagas Media. Art yang seorang arsitek, Dipi yang seorang koki, Zaki yang menjadi ayah tunggal sekaligus pengusaha, dan Min Ho pengusaha dari Korea. Semua tokoh dengan sifat-sifat yang melekat di dalamnya merupakan hasil observasi harian ketika berinteraksi dengan banyak sekali karakter manusia baik di dunia nyata maupun lewat buku dan film.

Oh, yang saya sebut tokoh pria semua, ya. Hmmm, tokoh wanitanya pun banyak; ada Lenka Magdalena, Keira, Kinan, Shereen. Dan beberapa yang lain masih belum punya nama. Mereka muncul dalam bentuk kata-kata sifat : intuitif, pemikir, pemimpi, dan masih banyak lagi.

Sebagian besar karakter tokoh wanita juga memiliki sifat-sifat yang hampir mirip dengan kesebelas sahabat-sahabat saya ketika kuliah S1 dulu. Dari yang sifatnya pemberontak tapi punya pemikiran keren, keibuan nan melankolis, pemimpi sekaligus pekerja keras juga, dan lain-lain.

Ketika saya menulis tokoh perempuan dan membuat sebuah karakter, interaksi saya dengan sahabat-sahabat saya selama bertahun-tahun itulah yang banyak memberi warna pada karakternya. Jadi, terima kasih untuk mereka semua; Faef, Ephie, Riri, Icha, Ruri, Sekar, Nhana, Eva, Rara, dan Tyas. Tak sadar kadang saya juga menuliskan impian-impian mereka dalam perjalanan cerita tokohnya.

sumber writers block

Saya pikir, ketika macet menulis sebuah kisah karena tokohnya seperti mogok bercerita, saya merasa harus kembali terhubung dengan mereka (ini kode buat reunian, sih)

Sungguh menarik mendengar kisah hidup tokoh-tokoh yang saya tulis karena terkadang hal-hal tak terduga muncul di setiap kelokan yang mereka lalui. Setiap kali sedang menuliskan kisahnya, saya sendiri sering terperanjat, 'kok jadinya gini, sih?' atau 'jadi, ini yang kamu inginkan?' 

Terkadang, teman-teman imajiner ini mogok bercerita karena mungkin saya salah menempatkan tempat yang tepat untuknya atau menjodohkannya dengan orang yang salah. Dan saya hanya harus menunggu sampai mereka mau bicara lagi.

Sementara ketika menulis tokoh pria, banyak karakter atau sifat yang sebenarnya diadopsi dari tokoh-tokoh di film favorit, atau berisi juga harapan saya sendiri tentang sosok pria itu seharusnya bagaimana. Namun, ada juga yang berasal dari mahluk-mahluk nyata di luar sana. Saat macet di satu karakter bisa jadi karena saya memiliki harapan yang ketinggian pada tokoh tersebut hingga rasanya jalan cerita menjadi terlalu mudah ditebak dan sempurna.

Menulis novel menjadi sebuah proses kreatif yang membuat kita harus berinteraksi dengan manusia. Bisa sih, digantikan dengan membaca, tetapi bacaannya pun harus luas ranahnya. Untuk bisa menggeser-geser sudut pandang, saya harus banyak membaca buku yang tidak semua orang membacanya. Untuk menghindari klise, ya menghindari bacaan-bacaan klise.

Saya selalu tertantang membuat karakter yang mendalam, dan mempunyai sisi sifat yang menyentuh serta membuat gelisah pembacanya. Untuk mendapatkan formula ini; berinteraksi, berbicara, mengamati, membaca, menonton, dan masih banyak sekali aktivitas pemantik lain yang harus dilakoni.

Belakangan ini, saya banyak bertemu dengan 'tokoh-tokoh' di alam nyata yang memiliki karakter, sifat, dan rentang emosi yang unik untuk diangkat sebagai cerita. Mungkin, pelan-pelan saya akan menuliskannya dalam cerita pendek, atau bisa jadi novel.

Sebenarnya, saya masih punya satu draf yang sedang ditawar-tawarkan pada penerbit. Berharap sangat tahun ini bisa pecah telur menerbitkan buku lagi. Selanjutnya, mau belajar menulis kisah-kisah yang lebih naratif, namun ada banyak ilmu yang bisa diambil di dalamnya. Semangatnya sudah ngumpul, tinggal mulai membuat outline agar ide-idenya bisa diarahkan.

Nggak sabar kembali kepada ritme menulis yang intens lagi!

writing therapy

"Do you know what makes writing great? You believe in the existence of invisible people. You believe. The concepts of another world, another language, another human being’s suffering and doubt. Great books make you forget that it is light outside, they make you want to curl up and live inside of them. The world becomes pale, as the book intensifies your deepest dreams and your most secret nightmares."



   

3 comments:

  1. amiiin, semoga segera terbit bukunya ya ..

    ReplyDelete
  2. Wah, keren banget mbak Nia. Novel karya mbak Nia banyak juga ya. Sukses ya mbak untuk project novel barunya. Semoga lekas pecah telur.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.