Pengalaman Daftar SMPN Lewat PPDB Online 2020

Pengalaman Daftar SMPN Lewat PPDB Online 2020

Akhirnya sampai di titik ini, sekaligus bisa melalui satu pijakan penting dalam membersamai Si Sulung di masa tujuh tahun kedua dalam kehidupannya, yaitu mencarikan sekolah menengah pertama. Ini pengalaman kami, mendaftar SMP Negeri lewat PPDB Online Kota Semarang 2020.


Sekolah Negeri, Swasta, atau Pesantren?


Sebenarnya sudah sejak anaknya masih kelas 4 SD, saya dan Pak Suami berdiskusi tentang kemana Kakak akan melanjutkan sekolah. Opsinya, lanjut masuk pesantren atau sekolah negeri.

Kenapa sekolah swasta berbasis agama Islam nggak masuk ke dalam opsi kami? Karena belum menemukan SMP Swasta berbasis Islam yang oke. Kami juga nggak kepengin anaknya masuk ke boarding school.

Pertimbangan memilih sekolah bagi kami berdua sebagai ortu selayaknya memilihkan lingkungan hidupnya selama tiga tahun. Terlihat sebentar, tapi tiga tahun itu bisa membentuk karakter seorang anak.

Kami nggak mau mengulang pengalaman waktu memilihkan SD. Dimana kami pernah salah, hingga akhirnya setelah bersekolah satu tahun di sebuah sekolah swasta memutuskan untuk pindah karena merasa nggak sreg dengan lingkungannya. Saat itu, meski sudah melunasi seluruh uang pembangunan dan SPP yang jumlahnya cukup besar, kami merasa lebih baik anak kembali ke sekolah dengan yayasan yang sama dengan saat dia masih TK.

Dan, Alhamdulillah keputusan tersebut memang tepat bagi kami dan anaknya tentu saja.


Kemudian tiba masanya kami harus memilihkan sekolah menengah pertama. Tentu buka dengan pertimbangan cap cip cup. Hampir sebagian sekolah swasta sudah pernah kami survei, minimal riset lewat internet atau dari hasil pengalaman ortu lainnya.

Lalu, bukannya nggak ada sekolah swasta yang oke di kota kami. Yang oke secara lingkungan pendidikan, metode, dan biaya sebenarnya ada, plus udah jatuh hati sama suasana sekolah dan ekskul-nya, sayangnya kurang oke di masalah jarak. Kayak udah klik, eh tapi harus LDR-an.

Saya nggak mau mengulang pengalaman sendiri, bersekolah yang jauh dari rumah sehingga effort untuk perjalanan pulang-perginya mengurangi energi untuk belajar. Kenapa dulu saya milih sekolah yang jauh karena mengejar kualitas. Sekolah negeri favorit rata-rata jauh dari lokasi tempat tinggal saya.

Itulah kenapa ketika ada sistem zonasi, rasanya seperti ada angin segar karena pemerataan kualitas sekolah bisa terwujud.

Lalu kenapa Kakak nggak lanjut pesantren saja?


Alhamdulillah, soal itu ternyata banyak temen-temen yang perhatian hingga menjapri menanyakan perihal tersebut. Banyak yang komen, "sayang hapalan Qur'an-nya" atau "sekolah negeri kan agamanya kurang", dll.

Opsi pesantren bukan nggak ada di benak kami sama sekali. Satu dua kali kami sudah survei. Kami cuma punya 3 pilihan lokasi, salah satunya di luar Jateng.

Pertimbangan nantinya akan pesantren atau tidak saya kembalikan dari hasil diskusi bertiga: saya, ayahnya, dan yang paling penting adalah anaknya.

Awal-awal, Kakak masih mau pesantren, tapi semenjak liburan kelas lima ia habiskan untuk belajar Bahasa Inggris di Kampung Inggris, dia ngobrol sama saya kalau nanti saat SMP nggak mau pesantren. Saya probing lagi dong, alasannya apa.

Hari demi hari kami berdiskusi bertiga, tentang banyak hal, bahkan tentang rencana pendidikan jangka panjang untuk Kakak. Saya ngobrol dengan Kakak, beberapa kali mengeluarkan jurus untuk mengetahui minat-bakat dan passion-nya, hingga akhirnya kami menemukan sesuatu yang memang menjadi jawaban. Ya iyalah.

Intinya, kalau harus pesantren Kakak memang belum siap. Mentally & physically. Meski berulang kali saya tanya, temen-temen yang lain lanjut pesantren, Kak. Kamu beneran nggak mau? Siapa tahu peer pressure bisa menggoyang niatnya, ternyata dia tetap bilang belum siap.

Saya sendiri kemudian mikir juga, dari hal kecil masalah makan sehari-hari aja, Kakak termasuk yang harus dapat perhatian ekstra.

Kemudian, hari-hari learn from home selama pandemi ini juga bikin saya makin banyak ngobrol sama dia.

Misalnya bahas kenapa Kakak tiba-tiba mengurungkan niat jadi polisi, padahal itu pernah jadi cita-citanya sejak kecil.

Rupanya Kakak sering nyimak berita (pas masa-masa pilpres), dia bilang, kadang aku bingung, Bun. Ternyata bad cop itu di dunia nyata ada, ya. Dia kemudian tanya-tanya soal Tragedi 98 sejarahnya gimana, dan banyak hal lain yang bikin saya mikir, dia butuh teman diskusi yang mengarahkannya untuk bisa membaca banyak hal dengan berimbang.

Saya jadi mikir, terus kalau saya melepasnya di luar sana, ketika Kakak punya pertanyaan-pertanyaan out of the box anak seusianya, siapa yang akan meladeninya diskusi.

Waktu pandemi kemarin, ia menonton hampir semua video Mardigu Wowiek, kemudian lahirlah aneka pertanyaan seperti soal uang kertas, benarkah ada elit global di luar sana, benarkah ini, dan itu.

Dia beneran lagi di masa-masa cari tahu tentang how the world works.

Saya jadi tambah sadar, di usianya sekarang, ia jadi tambah kritis memroses stimulus. Apa pun bisa jadi bahan diskusi kami.

Nah, rasanya saya ingin saat-saat seperti itu, saya tetap ada di dekatnya untuk jadi teman diskusi. Saya nggak bisa bayangin, kalau dia berdiskusi dengan orang lain yang justru akan mematikan rasa ingin tahunya, atau malah menyulut hal lain yang kurang positif.

Lalu saya pun mikir, 7 tahun kedua ini masa akil baligh, saya kok pengin masa transisi ini, ia ditemani ayah-ibunya ya. Saya ingin bisa membersamai momen-momen pentingnya tak terkendala jarak.

Semoga dimudahkan membersamai dalam menjaga kebiasaan baik yang sudah diterapkan selama di SD.

Kami sadar masih banyak kekurangan dalam ilmu agama, namun InsyaAllah untuk menjaga hapalan, shalat, adab-adab harian, kami akan berupaya bersama agar anaknya tetap on the track.

Bagaimana pun, menjaga ibadah dan pertumbuhan spiritual anak bukan semata-mata tanggung jawab sekolah, kan.

Dengan memilih sekolah negeri, saya berharap Kakak punya waktu lebih longgar untuk mengeksplor minatnya yang lain. Misalnya melanjutkan latihan Wushu-nya atau seenggaknya jika sejak kelas empat ia seringnya setelah jam 5 baru di rumah, saat SMP nanti kami punya lebih banyak waktu menjalankan proyek keluarga terkait home education.


Semoga ini menjawab pertanyaan temen-temen kemarin, ya.

Oke, sekarang kita bahas cara daftar PPDB Online Kota Semarang 2020 ini, ya.


Ternyata caranya nggak seribet yang dibayangkan, kok. Jadi begitu bagi rapot dan dinyatakan lulus, Kakak akan mendapatkan kartu NISN dari sekolah. Kartu NISN inilah yang nanti akan digunakan untuk mendaftar PPDB Online.

Caranya tinggal buka website PPDB Online di https://ppd.semarangkota.go.id/smp

Pendaftaran online PPDB Kota Semarang dibuka tanggal 21 Juni. Kalau nggak salah itu hari Minggu.

Siangnya kami lagi ada foto produk di sebuah kafe yang lokasinya agak jauh dari kota. Kalau pas ada kerjaan wiken, biasanya kita sekeluarga ikut pergi. Kebetulan Pak Suami juga yang meng-handle pembuatan logo kafe dan produknya. Sengaja kami bawa anak-anak agar mereka mulai paham apa yang Ayah-Ibunya kerjakan, dan sedikit-sedikit belajar tentang kewirausahaan dari rekan-rekan kami.

Di tengah-tengah waktu, Pak Suami iseng buka web-nya, ternyata pendaftaran sudah dibuka. Langsung deh, masukin nomer kartu keluarga dan NISN, nama siswa berikut nilainya langsung muncul. Kemudian diberikan 4 pilihan sekolah, pilihan 1 dan 2 di zona 1, sementara pilihan 3 dan 4 bisa di zona 2.

Kaget juga waktu ternyata salah satu pilihan SMPN kami nggak berada di zona 1. Dan yang didapati justru beberapa SMPN yang belum kita survei sebelumnya.

Saya yang lagi asyik jalan-jalan di seputar kafe sambil nidurin anak bayi langsung dipanggil buat diskusi. "Ini kayaknya kita mesti survey lagi deh, ada perubahan sama pilihan 1 dan 2 -nya.

Btw, sebelum kita klik simpan formulir pendaftaran, isian atau pilihan sekolahnya masih bisa diubah-ubah. Waktu itu, kita juga belum sreg karena nilai prestasi Kakak kok belum keluar secara otomatis di web. Padahal beberapa hari sebelumnya sudah didaftarkan lewat web Sang Juara oleh pihak sekolah.

Jadi segala bentuk hasil prestasi memang harus dilegalisir dan dimasukkan ke web Sang Juara agar kredibel yah.

Jadi, sambil nunggu instruksi dari walas, hari itu kita sekalian survey sekolah juga. Survei fisik dan lokasi doang. Selebihnya, Kakak sendiri yang kemudian browsing di dunia maya tentang calon-calon sekolahnya.

Hari Senin baru beneran bisa daftar, itu pun nilai prestasinya belum nongol. Cek dan ricek ke sekolah ternyata karena admin sekolah salah masukin tahun lahir. Akhirnya, Pak Suami ngurus ulang, dan masukin nilai prestasi secara mandiri ke sekolah yang dituju. Begitu diurus, otomatis nilai di web PPDB ikut ke-update semua.

BTW, kenapa kita masukin juga nilai prestasinya, karena ya, sayang aja kalau nggak. Tiga tahun ikutan kompetisi yang berjenjang itu kan makan waktu dan energi. Untuk menghargai kerja keras anaknya juga.

Alhamdulillah, setelah nilai prestasinya masuk, yang tadinya Kakak berada di urutan ke-300 sekian, langsung ke boost ke urutan 30-an. Yang tadinya nggak bakal masuk ke pilihan 1 karena daya tampungnya cuma 200-an sekian terbantu dengan adanya nilai prestasi.

Perhitungan nilai akhir PPDB gimana?


1. Pertama, masing-masing anak punya jatah 4 pilihan. Pilihan 1 dan 2 sesuai dengan zonasinya.

Dilihatnya dari alamat rumah, ya.

Pilihan 3 dan 4 bisa di luar zonasi, tapi nanti nilainya tentu akan berkurang, ya. Kalau sesuai zona, Nilai Jarak Tempat Tinggal (NZ) : 50.

2. Selanjutnya ada nilai lingkungan (NL). Untuk yang ini, Kakak nggak memiliki poin. Atau nggak menggunakan nilai lingkungannya.

3. Yang ketiga ada nilai Rerata dan Jumlah Nilai Rapor SD atau Bentuk lain Sederajat.

Keterangan : Nilai Rapor (NR) adalah nilai rapor SD atau bentuk lain yang sederajat kelas 4, 5 semester 1, 2 dan kelas 6 semester 1

Ini nilai Kakak,



4. Yang Keempat, Nilai Prestasi.

Kakak dapat poin 1,5 karena ikut kompetisi yang sifatnya berjenjang. Sebenarnya ada beberapa prestasi lainnya, tapi yang diambil yang nilai dan jenjangnya paling tinggi. Misal ada yang juara 1 tingkat kota, bakal kalah sama yang juara 1 tingkat nasional.

5. Total nilai
Nilai Akhir Peringkat (NAP) : 100/69 (NZ + 1/150 NR + NP + NL)

Hasilnya,
NAP Pilihan 1 : 86.07
NAP Pilihan 2 : 86.07
NAP Pilihan 3 : 71.57
NAP Pilihan 4 : 86.07

Dari hasil perhitungan tersebut, Alhamdulillah Kakak masuk di pilihan pertama.

Selama memantau PPDB Online, saya melihat sisi lain dari Kakak yang selama ini mungkin belum saya sadari. Anaknya bisa stress juga, sampai terbawa asam lambungnya jadi naik.

Untuk meredakan kecemasan, ia tipe yang bener-bener mencari pijakan. Satu per satu nama anak-anak yang masuk di daftar urutan dicek. Dilihat NR dan NP-nya. Kemudian dia bikin semacam mind map.

Baca juga : Cara membuat anak menyukai proses belajar dengan mind mapping. 


Lalu ia pun berdiskusi dengan saya.

Bun, kayaknya bener kata Bunda, kita nggak boleh cuma mengandalkan nilai pelajaran. Harus punya skill dan berprestasi di bidang lain. Ini sebagian besar anak di area zona kita semuanya punya prestasi macem-macem. Kita nggak boleh jadi katak dalam tempurung.

Ini beneran anaknya bukain satu-satu data anak-anak yang ada di daftar lho, senilai-nilainya, sampe detail cek lokasi asal sekolah hingga bisa protes kenapa ada anak sekolah di Gunung Pati bisa daftar di zona kita ya, Bun, misalnya.

Oh mungkin, alamat rumahnya malah di zonasi 1, gitu jawab saya.

Terus dia juga cari tahu kenapa di nama beberapa anak ada tanda asteriksnya, ohh ini jalur afirmasi. Dan anaknya googling jalur afirmasi itu apa.

Saya aja nggak setelaten itu deh.

Ia juga kemudian ngepoin seluruh info yang bisa didapatkan dari laman atau sosmed calon sekolahnya. Membuat daftar pros dan cons, dan bikin kesimpulan sendiri.

Sekolah A tuh, terkenal sama prestasi seni dan budayanya, Bun. Sering dilibatin acara pemerintah. Sekolah B, pendidikan agama Islamnya bagus Bun, ada shalat dzuhur dan ashar berjamaah, ada dhuha pas pelajaran agama.

I am gonna missed Dhuha Prayer time.

Iya Kak, nanti selama sekolahnya masih di rumah,  kita Dhuha bareng.

Baru kali itu saya lihat sisi detail Si Kakak, bikin hati jadi maknyes, dia sudah bertumbuh, kognisinya berkembang, bentang afeksinya makin luas, makin berwarna.

And I am proud of his social skill.

Izinkan Bunda tetap jadi sahabat yang membersamai bentang hidup Kakak, ya.

Sebagai guru, Bunda jauh dari sempurna. InsyaAllah, akan ada guru-guru terbaik dan guru kreatif lain yang akan hadir di kehidupan Kakak ke depannya.

Jangan letih belajar, Kak. Ingat nasehat Imam Syafi'i


Semoga Allah mempertemukan Kakak dengan guru-guru hebat di setiap pijakan tangga kehidupan yang baru.

Selamat jadi anak SMP, Kak.

No comments

Powered by Blogger.