Tragedi Kanjuruhan dan Ketergesaan Manusia Menjalani Hari-Hari Selepas Pandemi

Tragedi Kanjuruhan dan Ketergesaan Manusia Menjalani Hari-Hari Selepas Pandemi

Tragedi Kanjuruhan dan Ketergesaan Manusia Menjalani Hari-Hari Selepas Pandemi. Setiap kali berada di tengah keramaian, saya merasa ada sedikit perasaan nggak nyaman, kayak udah terbiasa dengan kondisi saat pandemi dua tahun yang lalu; di jalan nggak banyak papasan sama orang, jarak sosial dengan orang lain yang relatif lebih lapang, jalanan yang nggak terlalu macet, pasar dan mal yang nggak berjubel orang, dan banyak hal lainnya. Saya jadi sadar, mungkin ambang batas saya soal kenyamanan di tengah kerumunan di-restart kembali semenjak pandemi. 

Mungkin sejatinya, saya memang nggak suka-suka amat dengan kerumunan orang yang terlalu banyak, dan lebih suka bergaul dalam lingkaran-lingkaran kecil. Pandemi dua tahun yang lalu membuat saya semakin menyadari hal itu. Lingkaran pertemanan mengecil, memadat, dan jauh lebih berkualitas. 

Inner circle menguat. Orang-orang tersaring kembali, mana yang akhirnya terpental jauh dari lingkaran, mana yang masuk ke lingkaran terdalam. Semua berjalan secara alamiah. Bisa jadi benar, pandemi adalah survival of the fittest yang terkondisikan. 

Ketika pandemi berakhir, meski belum secara offcial, ada aliran ketegangan yang hadir. Kalimat semua akan kembali normal justru terasa horor buat saya. Ada hal-hal baik yang meluntur ketika new normal digaungkan. Mungkin terdengar aneh, tapi saya yakin ada sebagian orang yang juga merasakan hal ini. 

Bagi saya, terlepas dengan semua hal tidak menyenangkan dari pandemi kemarin, ada beberapa perilaku positif yang terinstal dalam perangkat lunak pribadi saya : sikap ikhlas dan mengalir. 

Dan semua terpasang alamiah karena sikap berserah kepadaNya. Sikap tidak memaksakan apapun, bersyukur pada tiap tarikan napas yang dihirup dan dihembuskan tiap pagi. Bersyukur bahwa hari ini telah diberikan hidup, sehari lagi, begitu seterusnya, setiap hari selama lebih dari satu tahun. Tanpa sadar habits pun terbentuk.

Kemudian sepertinya segala sesuatu kembali seperti dulu lagi. 

Ketika jalanan mulai kembali macet, orang-orang mulai melepaskan maskernya, tempat wisata mulai riuh, orang-orang melampiaskan kejenuhannya tinggal di rumah dengan berkumpul di ruang-ruang komunal. 

Tapi saya merasakan ada sesuatu yang memburuk dari keadaan masa kenormalan baru ini.

Tampaknya orang-orang tergesa-gesa untuk pulih. Tampak sekali bahwa sebagian besar dari kita bukan orang rumahan. Berkebun di halaman, memasak untuk keluarga, menghabiskan waktu di alam, bukanlah kita yang sesungguhnya, melainkan pelarian atas keadaan. 

Ketika dihadapkan pada krisis, sejatinya kita sedang mengupas inti diri, namun rupanya ada sebagian dari kita yang justru tidak menginti tapi malah menambahkan aksesori pribadi, untuk tameng bagi ketakutan kita atas keadaan. Bukan menggali ke dalam, kita menambahkan apa yang bukan diri ini sebagai tameng dari berhadapan dengan diri sendiri.

Dan ketika pandemi berakhir, kita lepaskan kembali aksesori itu satu-persatu : Kebun yang ditinggalkan, tanaman hias yang mulai layu dan kekeringan, resep masakan yang pada akhirnya hanya jadi sampah digital yang memenuhi ponsel, makanan penuh gizi buatan rumah yang dilupakan karena resto dan kafe mulai buka kembali, dll.

Begitu cepatnya orang-orang kembali pada kebiasaan lama dengan tergesa-gesa. Tidak dipersiapkan dengan matang. 

Begitu hausnya orang-orang akan kerumunan, sebagai tameng atas rasa takut melihat pribadi barunya di era new normal ini. Apalagi dengan bayang-bayang resesi di depan mata, dan ketakutan lainnya. 

Semua seperti berlomba-lomba menghadirkan kembali kerumunan untuk mengisi kas-kas yang mulai kosong. Konser musik mulai dipenuhi orang, beberapa diperhitungkan dengan baik, beberapa lainnya zonk, seperti konser Westlife baru-baru ini di Prambanan. 

Tidak semua upaya itu buruk. Beberapa upaya dilakukan dengan penuh kesadaran dan mempertimbangkan berbagai unsur kebutuhan hidup manusia. 

Saya pun pernah hadir dalam upaya merayakan kebutuhan manusia sebagai makluk sosial. Dalam sebuah acara yang digelar Kementrian Pendidikan & Kebudayaan. Teramati upaya tersebut berjalan dengan harmonis, pihak penyelenggara memperhitungkan dan mempersiapkan dengan baik, manajemen kerumunan, atau crowd management disiapkan dengan sangat matang dan terkoordinasi. Bahkan di acara tersebut, saya amati para personil yang bertugas menjadi bagian dari crowd management sudah dipilih berdasarkan, salah satunya, skala postur dan wajah, seperti wajah-wajah Mas-Mas Satpam BCA yang selalu tampak ngayomi, ngajeni dan bisa memberikan bantuan. 

Di situasi new normal dimana kita belajar berkerumun kembali, kita butuh sosok ngayomi, ngajeni, dan bisa dijagake saat kita butuh bantuan. 

Dan tidak semua sosok semacam itu hadir di ruang publik, hingga yang terburuk dari upaya memfasilitasi kebutuhan manusia untuk berkumpul adalah, Tragedi Kanjuruhan.

Fakta bahwa tidak semua kerumunan bertujuan mulia untuk membantu umat manusia yang memiliki kebutuhan berkumpul dan bersosialiasi agar tersalurkan dengan baik. 

Mulanya mungkin orang-orang mengira bahwa dalam kerumunan tersebut, anak-anak muda akan belajar tentang serunya kerjasama dan sportivitas, namun ternyata ada fakta yang luput dari pengamatan kita semua, semua terjadi karena ketergesaan : 

1. Penonton over kapasitas di stadion, karena Panpel cetak melebihi kapasitas (dorongan rasa takut akan kas kosong yang membuat orang-orang tergesa-gesa dan menginginkan segalanya lebih banyak lagi dan lagi) yang harusnya 38 ribu jadi 42 ribu. 

2. PT LIB abaikan saran Panpel Arema dan Polres Malang agar laga dimajukan sore hari (Kita semua lupa soal fakta ilmiah atau juga tradisi kearifan lokal yang sejatinya tertanam dalam setiap budaya dan agama, bahwa malam adalah saatnya kita beristirahat) Jadi apa gunanya kita latihan pembatasan aktivitas masyarakat selama pandemi kemarin, kalau pada akhirnya otot kita nggak dilatih untuk istirahat?

3. Adanya penonton Arema yang menginvasi lapangan. Dua tahun belajar mengalah sama virus yang nggak kelihatan ternyata nggak membuat orang-orang jadi terlatih lebih pasrah dan legowo ya?

4.Polisi tembakkan gas air mata. (Balik lagi ke poin, 'Mas-Mas Satpam BCA', *agak nggak tega mau bilang kalau mereka lebih bisa diandalkan, karena nggak semua Mas Isilop nggak bisa diandalkan juga, tapi kita memang sedang kehilangan sosok seperti itu, bukan?) 

Dan yang paling ngeselin, (tim sosmed) Bapak Kapolres Malang masih tega lhoo naikin konten Tiktok tentang aktivitas beliau sebelum kejadian, ketika beliaunya jalan-jalan menyapa penonton di tribun, saya sih kalau jadi tim sosmednya bakal ngundurin diri kalau disuruh naikin konten begitu. Terlepas dari kepsyennya ada kata tanpa mengurangi rasa hormat, endebre, tapi masak sih, masih tega naikin konten pencitraan di tengah konten belasungkawa?

Tapi tampaknya, saya (dan mungkin sebagian besar dari kita) mulai menyadari bahwa kita sedang kehilangan sosok-sosok semacam itu di berbagai lini kehidupan. Rupanya kita yang harus belajar jadi sosok Mas-Mas Satpam BCA, mengayomi diri sendiri, menghargai diri sendiri, bisa membantu diri sendiri, belajar survival untuk diri sendiri di situasi krisis.

Rasa sedih di minggu pagi melihat berita di linimasa, hingga rasa-rasanya hari minggu yang biasanya (Sun-day) cerah penuh limpahan sinar matahari, hari itu terasa redup dan kelam. Sebuah bencana di skala lapangan sepakbola yang rasanya lebih menyedihkan ketimbang pada saat pandemi yang dialami secara global.

Sebuah desir di hati mengingatkan saya satu hal, belajar untuk bertanggung jawab pada diri sendiri, belajar survival skill, belajar mengakses sumber energi terbesar yang nggak pernah habis, yaitu energiNYA. Karena melaluiNYA segala yang tampak terperdaya bisa bangkit kembali, karenaNya kita berdaya. 

“Lā hawla wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi” 

Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi Maha Agung. 

Yuk, pelankan lagi ritmenya, tekan tombol pause sesaat sebelum memulai aktivitas, bukankah pademi mengajari kita hal tersebut? Jangan jadi manusia yang harus remedi karena nggak paham apa yang harusnya kita pelajari selama dua tahun kemarin.


12 comments:

  1. Benar, Mbak Nia. Sekarang kita cuma bisa bertanggung jawab pada diri sendiri, bersabar, dan mengembalikan semua kepada-Nya.

    ReplyDelete
  2. Masya Allah, dalem dan makjleb banget tulisannya. Apalagi epilognya sungguh membuat diri ini introspeksi diri. Terima kasih Mbak Nia atas sharingnya, tulisannya sangat manis dan menyentuh hati.

    ReplyDelete
  3. Ada 4 hal yang nyatanya bisa jadi pembelajaran dari tragedi ini. Semoga bisa diambil hikmahnya dan sepakbola Indonesia bisa lebih baik.

    ReplyDelete
  4. seperti biasa..setiap kali membaca tulisan mba Nia aku seakan diajak untuk bercermin dan melihat ke dalam diri sendiri.. terima kasih mba, tulisan ini menjadi sudut pandang lain dari tragedi kanjuruhan.. sudut pandang yg penuh pembelajaran..

    ReplyDelete
  5. Pandemi selama 2 tahun semua serba dibatasi termasuk aktivitas masyarakat. Setelah kondisi kembali normal, masyarakat saling berlomba-lomba memulai aktivitas yang melibatkan banyak orang. Tidak terkontrol, seperti lepas kendali melampiaskan keinginan ke luar rumah, karena selama 2 tahun merasa terkekang.

    ReplyDelete
  6. Setuju kalo pandemi ternyata belum mengajarkan arti kata pasrah, menerima kekalahan. Dan sedihnya tragedi Kanjuruhan ini memiliki kesalahan tumpang tindih dari berbagai sumber. Ah sedih melihat kejadian ini, apalagi banyak perempuan dan anak-anak ikut jadi korban.

    ReplyDelete
  7. Astaghfirullah... Mengalami di organisasi, banyak yg mulai tak sabar untuk "berlari".
    Bali juga mulai ramai, jalanan mulai macet lagi (yang mungkin juga ditambah faktor musim hujan), tapi Bali rame bikin aku takut dan males mau keluar

    ReplyDelete
  8. Bener mbak, euphoria kebebasan setelah pandemi jadi over banget. Seperti bendungan bocor yg membludak. Semoga jadi pelajaran bagi kita semua, kalau berlebihan itu tidak baik.

    ReplyDelete
  9. Aku yg dari dulu memang ga suka keramaian dan kerumunan menikmati bgt hari2 pandemi kemarin mbak. Meskipun kadang ada bozennya juga ga bisa jalan2 tp selama banyak kegiatan di rumah ya ilang sendiri bosennya. Bener mbak nia kita seperinya tergesa2.memasuki new normal. Alfatihah buat semua korban kanjuruhan

    ReplyDelete
  10. Bold bagian survival skill ini mbak, tapi memang kalau pas panik rasanya semua semuanya langsung ambyar

    ReplyDelete
  11. Iya setuju Nia sekarang sepertinya orang langsung berusaha menebus apa yang terlewat di dua tahun pandemi, penyelenggaraan konsep, pertandingan dan lainnya banyak sekali dengan persiapan yang mepet dan tergesa-gesa, akhirnya banyak konser berganti, banyak calon penonton tertipu calo tiket semua karena tergesa-gesa

    ReplyDelete
  12. Sedih liat tragedi kemarin itu :(. Dan aku jadi semakin takut utk ikutan event yg rame2 sperti itu mba. Jujur juga udah telanjur nyaman dengan kondisi yg ga terlalu crowded, nyaman juga pake masker. Malah aku blm bisa utk ngelepas masker di luar rumah. Masih takut dan ragu.

    Pas traveling ke LN pun, di mana banyak orang udah lepas masker di mana2, aku rasanya ga akan bisa begitu. Biar aja diliatin orang, yg penting aku ttp pake.

    Kemarin itu aku iseng mau ikutan cari tiket so7. Tapi habis kan dlm waktu singkat. Dan pak suami akhirnya bilang, GPP ga dapat. Mungkin itu terbaik buat kita. Drpd hrs desak2an dilautan orang banyak 😅. Pak suami sbnrnya juga tau, kalo aku drdulu pun ga pernah nyaman di tengah keramaian.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.