Jawaban Yang Tak Terdengar

Jawaban Yang Tak Terdengar Photo : Two windows by Ross Sawyers


sambungan dari cerpen yang ini


Sudah terlambat. Aku sudah tahu, jawabannya tidak ada.
Jadi aku pulang sambil mengigit senyumku dalam-dalam. Aku bisa merasakan kepingan hatiku seperti biscotti yang kebanyakan coklat hitam.



Aku menyelipkan pesan di celah jendela kamarnya sebelum itu:

Aku paham, semua yang membuatku tertawa dan bahagia juga bisa membuatku tersungkur dalam kesedihan, jika aku kehilangan.

Lalu, ingin kutuliskan sebait kalimat lagi di bawah pesan itu tapi kuurungkan niatku : Setidaknya, izinkanlah aku merasakan sebuah perpisahan.

Kamu tahu, kan, bahkan sebuah perpisahan yang menyakitkan sekalipun punya sesuatu untuk dikenang : feromone yang menguar habis dari balik kemejamu, lagu yang samar terdengar, awan mendung tipis yang menggelayut di langit yang ringkih, dan punggungmu yang menatapku lalu hilang.

Tapi semua itu tak ada. Tidak ada aroma yang bisa kuingat, tidak ada lagu yang melatari cerita yang bisa kuputar ulang, tidak ada ciuman selamat tinggal yang membekas di ingatan. Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada apa-apa.

Hanya kebisuan yang terus.

Aku pulang untuk menyampaikan pesan_ atau bagaimana harus kukatakan untuk sesuatu yang bahkan tidak bisa disebut pesan karena memang tak ada apa-apa_padamu dengan sedikit ragu.

Kutatap dirimu dan hanya menggeleng perlahan. Begitu menyesal ketika teringat pertanyaan yang sempat kuutarakan padanya demi dirimu.

"Aku hanya ingin tahu, apakah kata-kata itu, kalimat yang kau rangkai dengan begitu sempurna, indah dan telak mengenai jantungku, apakah itu hanya sebuah kebohongan, salah satu dari keahlianmu dalam menjadikan seseorang sandera hatimu, ataukah itu sebuah kebenaran, yang kau utarakan dari dalam hatimu?

Apakah semua ini, bagian dari permainan, yang sudah begitu lihai kau mainkan. Apakah ini adalah peluru-peluru yang kau tembakkan secara acak untuk membunuh tawananmu?”


Sementara saat ini aku tak membawa jawaban apa-apa. Melihatku kamu cuma diam menatap keluar jendela sampai hujan terakhir tahun ini berhenti lalu angkat bicara,

“Aku sudah tahu. Sejak awal berkata jujur hanya akan memberi kita masalah. Lebih baik, dulu aku mati saja karena kait-kait pertanyaan itu, ketimbang melihatmu pulang gontai tanpa membawa kata-kata.”

“Sudahlah. Tak perlu menyesal, pernah kubilang bertanya tak akan membuatmu mati. Tidak ada jawaban yang malah akan membunuhmu. Kamu baik-baik saja, kan?”

“Tidak. Tapi, kamu juga bakal ikut mati.”

“Iya, kita pasti sama-sama mati. Tapi setidaknya, kamu masih punya aku, kan.”


nb : pengennya ini jadi bagian dari judul besar : DUA PEREMPUAN, sebuah novellette. Tapi, masih belum nemu banyak referensi tentang orang yang hidup dengan dua kepribadian, split personality gitu tapi bisa saling berkomunikasi antara kepribadian satu dengan yang lain. Lagipula, selama ini yang saya tahu, kasus kepribadian ganda selalu tidak diketahui oleh orang yang mengidapnya.

2 comments:

  1. Di sela kesibukanmu sebagai ibu dan mahasiswa (selamat! Aku baru tahu dari sini), kamu masih sempat produktif. Salut.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.