Terhipnotis Oleh Pesona Petungkriyono : Surga Tropis Tersembunyi Di Atas Awan

Mengawali Penjelajahan Dengan Menyusuri Hutan Sokokembang. 


Landmark Kawasan Petungkriyono

Langit terlihat cerah ketika kami tiba di gerbang masuk bertuliskan 'Petungkriyono National Nature Heritage'. Dua orang penari dengan gaun berwarna hitam dan perak sudah bersiap menyambut para penjelajah dari berbagai daerah di Indonesia yang pagi itu akan memulai penjelajahannya di Petungkriyono. 

Irama musik yang rancak diputar untuk mengiringi gerak gemulai kedua penari. Tarian tersebut menjadi simbolisasi telah dimulainya acara Amazing Petung National Explorer 2017

Beberapa saat sebelum irama musik yang rancak tadi memecah kesunyian atmosfer Hutan Sokokembang, saya bisa mendengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin, juga suara derikan serangga penghuni hutan yang khas. Rasanya jadi tak sabar untuk segera menjelajahi bagian dalam hutan. 

Saat sedang mengambil beberapa objek foto dan menikmati atraksi tarian, aroma kopi yang khas, hangat dan menggugah menguar di tengah kesejukan udara pegunungan. Saya pun berjalan menuju deretan warung yang ada di samping pintu masuk untuk mencari sumber aroma tadi. Rupanya pemilik warung sedang menyeduh kopi khas Petung. 

Aroma kopi semakin tercium ketika saya berada di dalam warung. Tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengenal lebih dekat salah satu hasil hutan dari Petungkriyono, saya pun mencicipi kopi tersebut. Rasa manis-pahitnya terasa ringan di lidah, namun tetap dapat membangunkan syaraf untuk memulai petualangan.



Salah satu peserta fotografer yang sedang menikmati Kopi Petung.

Ketika prosesi penyambutan dengan tarian sudah selesai, pandangan saya mulai menyisir setiap bagian di area seputaran gerbang masuk.

Daun-daun pakis raksasa tumbuh di tepian dinding tebing, lumut-lumut hijau yang tebal menutupi bebatuan dan dinding tebing, sementara vegetasi lainnya terlihat begitu hijau dan rimbun.

Sambil menyesap kopi yang tadi saya dapatkan dari warung, saya pun mengintip ke balik landmark tulisan 'Petungkriyono Natural National Heritage', dari atas tampak hamparan hutan dengan pohon-pohon yang begitu rimbun. Tidak sabar rasanya untuk segera mengisi ulang paru-paru dengan asupan oksigen yang masih murni dan tidak terpolusi.

Penunjuk arah di area gerbang masuk.

Tak lama setelahnya, saat menengadah ke langit, saya terperanjat ketika melihat seekor Elang Jawa dengan sayapnya yang membentang berputar-putar di langit Petungkriyono. Elang itu seolah memberikan sambutan sekaligus izin kepada kami untuk menjelajahi pesona Petungkriyono yang tersembunyi.

Anggun Paris

Para penjelajah pun kembali menaiki 'Anggun Paris' atau Angkutan Gunung Pariwisata. Sebuah singkatan yang cukup unik untuk menyebutkan nama sebuah kendaraan bak terbuka dengan bangku memanjang di masing-masing sisinya. Angkutan ini juga beratapkan terpal sehingga tidak perlu khawatir dengan sengatan panas matahari saat menaikinya.

'Anggun Paris' merupakan salah satu moda yang dapat dipilih untuk menjelajahi Petungkriyono selain dengan menggunakan mobil pribadi, motor, atau pun ojek. 'Anggun Paris' dapat ditumpangi secara rombongan, maksimal hingga dua belas orang dengan biaya sewa sekaligus supir sebesar 500.000 rupiah.

Angkutan ini akan mengantarkan dan menunggu para pengunjung ke setiap titik tempat wisata yang ada di dalam Petungkriyono.

Waktu menunjukkan pukul sebelas pagi lewat sekian menit saat para penjelajah memulai kembali perjalanan untuk membelah lereng Petungkriyono.

Dari atas kendaraan semilir angin dan kesejukan udara di dalam hutan menerpa wajah kami. Pemandangan yang ada di kiri dan kanan jalan semakin menguak kelestarian serta keperawanan Hutan Sokokembang.

Vegetasi yang begitu rapat dengan beragam gradasi warna hijau, bunga-bunga liar berwarna ungu atau merah yang terlihat kontras menyembul dari balik latar hijau yang pekat, pohon-pohon purba yang sudah berdiri tegak sejak ratusan tahun yang lalu, tanaman pakis raksasa, dan aneka flora langka yang belum terkuak nama serta jenisnya. Semua itulah yang menjadikan Hutan Sokokembang sebagai salah satu hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Jawa. Sebuah tempat dimana aliran oksigennya mampu menjadikan tarikan napas di pagi-pagi hari kita terasa menyegarkan.

Itulah Hutan Sokokembang, paru-parunya Pulau Jawa. Sebuah tempat yang masih memiliki keseimbangan Ekologi. Tempat seperti itu bukan hanya akan memberikan energi positif bagi manusia yang bertamu ke dalamnya, namun juga akan membukakan kesadaran bagi manusia yang datang untuk tetap menjaga keseimbangan di dalamnya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika paru-parunya Pulau Jawa ini sakit atau teracuni polusi udara?

Sebenarnya bukan cuma aneka flora langka dan beberapa anggrek hutan yang memberi warna pada kawasan ini, Hutan Sokokembang juga menjadi rumah bagi 250 jenis spesies fauna, diantaranya adalah sejumlah satwa langka, seperti Macan, Elang Jawa, Owa Jawa, dan Burung Rangkong.

Saat bertamu ke dalam hutan, para penjelajah maupun pengunjung bisa saja akan bertemu dengan salah satu penghuninya, misalnya Owa Jawa.

Sayangnya, hari itu kami sampai di Hutan Sokokembang sudah terlalu siang sehingga belum bisa bertemu dengan sejenis primata yang sekilas tampak seperti kera kecil berbulu kelabu.

Pemandu Wisata yang juga ikut menaiki 'Anggun Paris' yang kami tumpangi bercerita bahwa jika kami datang lebih pagi, sekitar jam setengah tujuh, maka suara-suara Owa Jawa dari dalam hutan akan terdengar. Mereka biasanya mencari makanan berupa buah-buahan hutan dan dedaunan yang tumbuh di dalam hutan saat pagi hari.

Rasa penasaran terhadap hewan primata tersebut membuat mata saya beberapa kali menelisik di antara rimbunnya dedaunan di hutan, namun sosok mungil itu tidak terlihat.

Saya pun mengalihkan pandangan pada hamparan hutan tropis seluas 5.000 Ha yang menjadi salah satu lokasi technoforestry sehingga menarik para peneliti di dalam dan luar negeri untuk menjelajahi hutan dan melakukan penelitian.

Hutan tersebut juga menjadi salah satu lokasi bagi Sokokembang Eco Adventure, yaitu spot wisata yang mengajak pengunjung menikmati keindahan alam di Kampung Kopi Sokokembang sekaligus belajar mengenai konservasi dan pelestarian alam.

'Anggun Paris' yang kami tumpangi semakin masuk jauh ke dalam hutan. Dari kejauhan, di kedalaman hutan tampak pucuk-pucuk pinus berdaun jarum, pohon-pohon purba yang menjulang, dan ujung-ujung pohon bambu yang melengkung.

Atmosfer hutan yang magis sekaligus menenangkan menghipnotis syaraf-syaraf para penjelajah yang kaku dan terbiasa bergerak serba cepat menjadi lebih santai dan tenang.

Menghilangkan Kantuk Di Curug Sibedug. 



Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit dari spot pertama, kami pun sampai di Curug Sibedug.

Dari atas 'Anggun Paris' suara gemericik air yang beradu dengan bebatuan kali sudah terdengar jelas. Beberapa penjelajah yang sebelumnya terkantuk-kantuk selama perjalanan berubah antusias dan ingin cepat-cepat turun untuk menelusuri air terjun yang memiliki ketinggian sekitar 20 meter tersebut.

Akses menuju ke Curug Sibedug ini sangat mudah karena berada tepat di pinggir jalan, tepatnya di Dusun Sokokembang, Desa Kayupuring.

Pengunjung juga tidak perlu berjalan jauh untuk bisa menyaksikan keindahan curug yang berada di tengah hutan nan asri ini.



Bebatuan besar berwarna kekuningan menutupi sebagian besar permukaan aliran air yang berasal dari air terjun. Curahan air yang tidak terlalu deras membuat pengunjung bisa melihat dari dekat curug ini tanpa takut pakaiannya kebasahan.

Nama 'Sibedug' konon diberikan pada curug ini karena pada malam hari, beberapa orang dengan indera keenam yang terbuka dapat mendengar alunan suara gamelan juga iringan suara 'Dug-dug-dug' di lokasi tempat air terjun ini berada.

Untuk sebuah permulaan penjelajahan, Curug Sibedug semakin membuat saya penasaran dengan objek-objek wisata lain di bagian dalam Petungkriyono.

Menurut cerita dari para pemandu wisata, sebenarnya ada banyak sekali air terjun yang bisa dijelajahi di area Petungkriyono. Antara lain, Curug Muncar, Curug Telu, Curug Jepang, Kedung Pitu, Curug Bajing, Curug Lawe, dan Curug Welo. Masing-masing air terjun juga memiliki ciri khas dan kelebihannya sendiri. Misalnya Curug Muncar yang mempunyai tujuh aliran air terjun dan ada sumber air hangatnya atau Curug Lawe yang tinggi air terjunnya sampai 100 meter.

Dengan banyaknya air terjun di dalam kawasan Petungkriyono bisa disimpulkan bahwa hutan di area tersebut juga telah mengonservasi sumber mata air yang menjadi salah satu nadi yang menghidupkan kawasan Petungkriyono.

Sepanjang penjelajahan, saya beberapa kali melihat aliran-aliran sungai yang masih jernih membelah bebatuan, hutan, atau semak belukar. Jika dilihat dari kejauhan dan hijaunya hutan, aliran sungai-sungai itu tampak seperti garis perak kecil. Serupa kalung perak yang membelit hutan hijau di kawasan Petungkriyono. Dan dengan apik menjaga keseimbangan alam serta suplai air di Jawa Tengah.

Kalau seperti itu, masihkah ada keinginan untuk mengganggu keseimbangan alamnya? Tentu tidak, bukan. Jadi, kalau berkunjung ke kawasan ini, buanglah sampah pada tempat yang sudah disiapkan pengelola dan jangan merusak apapun, apalagi mencoret-coret bebatuan atau batang pohon.

Mengendurkan Syaraf Di Jembatan Sipingit. 
Breathtaking View

Lepas dari Curug Sibedug, kami tiba di spot wisata Jembatan Sipingit. Saat baru saja turun dari 'Anggun Paris' mata saya langsung teralihkan oleh pemandangan yang membuat setiap orang yang melihatnya ingin menarik napas dalam-dalam.

Hamparan sawah nan hijau dengan lanskap yang berundak berpadu dengan latar belakang bukit dan pegunungan yang berdiri dengan kokoh. Gradasi warna hijau saling bertumpuk membentuk siluet-siluet lukisan pegunungan.

Di titik ini, saya menyadari bahwa kawasan Petungkriyono memang dikelilingi oleh gunung dan perbukitan. Saya pun menghampiri pemandu wisata untuk menanyakan perihal tersebut.

Dari salah satu pemandu wisata dijelaskan bahwa kawasan Petungkriyono memang dikelilingi oleh banyak gunung, antara lain Kendalisodo, Sikeru, Perbota, Geni, dan Kukusan. Kondisi itu menjelaskan mengapa pemandangan di kawasan ini mampu membuat syaraf yang tegang akibat perjalanan menyusuri jalanan di lereng Petungkriyono yang tidak selalu mulus, seketika  terasa mengendur.


Berjalan sedikit ke bawah dari area persawahan, ada sebuah jembatan yang dikenal dengan nama 'Jembatan Sipingit'. Untuk bisa melihat dengan jelas bentuk dan karakter jembatan ini, pengunjung bisa turun ke area sungai dengan bebatuan yang besar. Dari sana, karakter jembatan yang kokoh dan indah dapat terlihat jelas.

Di bawah jembatan mengalir Sungai Welo yang alirannya meliuk-liuk membelah bebatuan besar. Airnya begitu jernih sehingga mengundang para penjelajah untuk turun dan mencelupkan tangan atau kakinya ke air.

Berdasarkan penjelasan pemandu wisata, Kecamatan Petungkriyono sendiri memang menjadi hulu bagi tiga sungai besar, yaitu Sungai Wola, Kali Sengkarang, dan Sungai Kupang atau Kali Pekalongan.

Mendinginkan Suhu Tubuh Di Sungai Welo. 


Aliran Sungai Welo

Tidak lama setelah para penjelajah menelusuri area seputaran Jembatan Sipingit, perjalanan pun berlanjut ke area Wisata Air Sungai Welo yang terletak di Desa Kayupuring.

Di spot ini, para penjelajah atau wisatawan yang menyukai jenis wisata untuk memacu adrenalin dapat mencoba berbagai jenis wisata air seperti river tubing, river tracking, dan body rafting.

Di Welo saya mengobrol dengan Mas Slamet, salah satu pemandu wisata yang memiliki pembawaan yang ramah dan sangat informatif. Ia menjelaskan pada saya bahwa di lokasi ini ada beberapa titik sungai yang jadi destinasi utama, yaitu Kedung Gede dan Kedung Sipingit.

Destinasi tersebut bahkan dikenal sebagai Black Canyon-nya Kabupaten Pekalongan. Untuk bisa melihat Black Canyon pengunjung bisa mencoba paket rafting yang disiapkan oleh pengelola.

Namun karena membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk bisa mengarungi sungai dan jeram-jeram dari Sungai Welo, saya pun memutuskan untuk hanya menjelajahi area di sekitar kawasan Sungai Welo.

Pohon Purba

Salah satu yang menarik perhatian adalah sebuah pohon yang tampak menjulang di antara pepohonan dan vegetasi lainnya. Bagian batang dan dahan pohon tersebut ditumbuhi lumut berwarna kecoklatan yang seolah tampak seperti bulu-bulu halus. Pohon purba tersebut terlihat seperti mahluk raksasa yang menjadi 'raja' bagi pepohonan dan penghuni  di kawasan Sungai Welo.

Di atas pohon tersebut juga sudah disiapkan tangga sehingga pengunjung bisa naik sampai ke bagian atasnya. Bentuk pohonnya yang terkesan mengangkang menambah keunikan dan daya tarik magis kawasan hutan tersebut.

Entah kenapa, saya lebih memilih untuk naik ke gardu pandang yang sudah disiapkan oleh pengelola area wisata. Di atas gardu pandang yang dibangun dengan bantuan konstruksi dua batang pohon, sedang ada salah satu fotografer yang asyik berburu gambar.

Pemandangan dari Gardu Pandang.

Dari atas gardu pandang, pemandangan yang ada memang terlihat sangat indah. Aliran sungai yang membelah bebatuan besar tampak mengalir ke bagian yang lebih rendah, menuju ke bagian hutan yang tampak tersembunyi dari pandangan mata.

Ketika kami sedang sama-sama menikmati pemandangan dari gardu pandang tersebut, dari atas sebuah pohon di kejauhan terlihat ada sesuatu yang bergerak-gerak. Tampaknya sesosok primata berbulu hitam sedang bergelantungan dari satu dahan pohon ke pohon lainnya.

Rupanya memang ada sekelompok lutung yang sedang bermain-main di pepohonan. 'Akhirnya, berjumpa juga dengan salah satu penghuni kawasan Petungkriyono ini', batin saya.

Bermeditasi Di Curug Bajing. 


Curug Bajing

Dari kawasan Sungai Welo, kami kembali menaiki angkutan dan melanjutkan perjalanan. Kali ini mobil bak terbuka, atau yang sering disebut masyarakat setempat dengan sebutan doplak, menempuh rute yang relatif lebih jauh dari perjalanan sebelumnya.

Jalanan semakin menanjak, terkadang menuruni turunan yang cukup terjal atau melewati kelokan-kelokan. Tidak semua bagian jalan beraspal mulus sehingga beberapa kali tubuh kami seolah dihentak-hentakkan. Sesekali angkutan kami berpapasan dengan doplak yang mengangkut hasil pertanian penduduk setempat, seperti daun selong atau daun bawang sehingga mobil harus berhenti untuk bergantian lewat.

Negeri Di Atas Awan

Sepanjang perjalanan yang terasa cukup melelahkan itu, saya memutuskan untuk menikmati pemandangan sekitar. Rumah-rumah penduduk yang berada di lereng perbukitan berpadu dengan area perkebunan sayuran. Semakin lama udara terasa semakin dingin dan tipis. Kawasan Petungkriyono memang berada di ketinggian sekitar 600-2100 meter dari atas permukaan laut sehingga suhu udara di bulan-bulan tertentu bisa mencapai 12 sampai 10 derajat celsius.

Petungkriyono juga sering diperbincangkan sebagai Negeri Di Atas Awan. Sebagian dari wilayahnya merupakan bagian dari dataran tinggi Pegunungan Serayu Selatan, sementara di sebelah selatannya merupakan bagian dari Kawasan Dataran Tinggi Dieng.

Menurut pemandu kami, jarak antara kawasan Petungkriyono dengan Dataran Tinggi Dieng, kira-kira sekitar 40 km, dan dapat dicapai dari Kabupaten Banjarnegara melewati jalur Sibebek-Gumelem.

Sementara itu, jalanan yang sedang kami lewati merupakan jalanan yang membelah lereng Gunung Rogojembangan.

Setiap kali memandangi hamparan hutan alam yang dikelilingi oleh pegunungan, aura magis dari kawasan ini begitu terasa. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bupati Kab. Pekalongan, Bapak H. Asip Kholbihi  pada saat menjamu para penjelajah di Pendopo Kabupaten Kajen sebelum kami bertolak ke Petungkriyono. Beliau mengatakan bahwa kawasan Petungkriyono merupakan sebuah Mystery Land karena banyak sekali situs peninggalan raja-raja pada zaman Syailendra. Hal tersebut juga dibuktikan dengan adanya situs peninggalan sejarah, seperti Situs Gedong dan Situs Nogopertolo. Dengan adanya situs-situs tersebut, Petungkriyono juga menjadi salah satu jujugan bagi penggemar wisata sejarah.

Tujuan dari perjalanan kami masih terasa jauh. Sebenarnya, saat itu, jarak kami sudah dekat dengan spot wisata berikutnya, yaitu Curug Lawe. Namun, angkutan yang kami tumpangi terus bergerak, melanjutkan perjalanannya ke Curug Bajing. Setelah itu, kami baru akan kembali ke Curug Lawe yang akan menjadi tempat acara penutupan APNE 2017 berlangsung.

Setelah melalui perjalanan dengan medan yang tidak terlalu mulus, Anggun Paris kami memasuki kawasan wisata Curug Bajing.

Di sini, beberapa penjelajah beristirahat sejenak di rest area yang sudah disiapkan atau menunaikan kewajibannya. Area musholla yang disediakan di lokasi ini cukup bersih dan memadai, begitupun dengan toiletnya.

Spot selfie berbentuk hati.

Spot selfie dengan kupu-kupu

Di kawasan ini ada beberapa spot selfie yang bisa digunakan sebelum melanjutkan perjalanan ke bawah, tempat Curug Bajing berada. Latar belakang pemandangan di kawasan ini tidak kalah cantik dengan spot wisata sebelumnya. Di salah satu spot selfie, terdapat latar pemandangan berupa perbukitan padas yang terkesan kokoh namun tetap hijau, juga pemandangan kaki gunung yang hijau seluas mata memandang.

Curug Bajing terletak di Dusun Kembangan, Desa Tlogopakis. Akses berjalan kaki menuju air terjun ini cukup mudah. Dari area warung-warung yang ada di lokasi cukup berjalan turun sekitar 300an meter.

Jembatan Bambu Di Depan Air Terjun

Di dekat air terjun ada sebuah jembatan, dimana pengunjung bisa menikmati panorama air terjun setinggi 75 meter lebih dekat.

Saat berdiri di depannya mata saya dimanjakan oleh kucuran air serupa kapas yang meluncur turun di tengah-tengah dua lereng tebing hijau yang mengapitnya. Aliran air tersebut bergerak turun melewati batu-batuan yang tersusun bertingkat membentuk perosotan air.

Curug Bajing juga memiliki beberapa spot berfoto selfie, yaitu di Pohon Selfie dan panggung berbentuk hati.

Di Curug Bajing, saya tergoda untuk membuka sepatu dan mencelupkan kaki, juga mencuci muka di aliran airnya. Maka setelah berjalan turun melewati jalur bebatuan, saya pun mencelupkan kaki di salah satu aliran sungainya yang begitu sejuk.

Suara gemericik air terasa sangat menenangkan seperti sedang bermeditasi. Rasanya ingin sekali berlama-lama main air. Sayangnya, kami harus segera kembali ke spot sebelumnya, yaitu Curug Lawe karena hari sudah beranjak sore. 

Penutupan Penjelajahan Petungkriyono Di Area Hutan Pinus Curug Lawe. 


Tarian Sambutan

Sesampainya di gerbang masuk menuju ke Curug Lawe kami disambut oleh atraksi kesenian yang dibawakan oleh anak-anak muda setempat. Mereka bernyanyi, menari secara beramai-ramai dengan iringan musik yang meriah.

Suasana tersebut memecah kesunyian hutan pinus yang terhampar di hadapan kami. Curug Lawe sendiri berada di Dusun Cokrowati, Desa Kasimpar dan memiliki ketinggian air terjun sekitar 100 meter.

Sayangnya, untuk bisa mencapai curug ini, kami harus berjalan menyusuri hutan lindung selama kurang lebih 1 jam. Sementara hari sudah terlalu sore dan waktu penjelajahan yang hampir habis tidak memungkinkan bagi kami untuk melihat keindahan Curug Lawe.

Area Hutan Pinus Curug Lawe

Saya pun harus puas dengan hanya menikmati pemandangan di area seputaran hutan pinus, bersantai sebentar di hammock, dan mengobrol dengan Pak Tasuri, seorang penggiat pariwisata yang memiliki pengetahuan tentang kopi yang cukup luas.

Oleh-oleh dari Petungkriyono : Gula Semut.

Menurutnya, tanaman kopi  di Petungkriyono merupakan tanaman peninggalan Belanda yang ditanam sekitar tahun 1885. Saat ini, para penduduk setempat sudah dapat memanfaatkan hasil bumi berupa kopi untuk dijual. Ada banyak jenis kopi organik hasil olahan penduduk, seperti Kopi Petung atau Kopi Owa. Kopi Owa merupakan salah satu bentuk usaha pelestarian bagi hewan primata di sana. Agar tidak lagi berburu Owa maka penduduk diajarkan untuk mengolah kopi untuk dijual. Selain itu, ada juga olahan hasil bumi lain, yaitu gula semut yang berasal dari pohon aren. Keduanya menjadi salah satu oleh-oleh khas Petungkriyono.

Sebelum hari semakin gelap, kami pun dipersilakan oleh para penduduk setempat yang juga mengelola warung-warung makan di sepanjang jalan masuk untuk menikmati hidangan khas Petungkriyono.


Sepiring nasi hitam yang terbuat dari beras hitam lokal atau nasi jagung berwarna putih dengan tekstur yang khas disajikan bersama dengan lauk pauk berupa ayam goreng dan semur telur. Tidak lupa juga sayur pucuk labu dan urapan sebagai pelengkapnya.

Menyantap hidangan di tengah-tengah hutan pinus yang rimbun dan memiliki udara yang sejuk menjadi pengalaman yang sangat tak terlupakan. Makanan yang kami santap terasa berkali-kali lipat lebih lezat.

Sambil menghabiskan santapan, kami pun disuguhi hiburan berupa alunan lagu 'Kemesraan'. Tidak lama kemudian, tibalah saatnya Ibu Ir. Hj. Arini Harimurti selaku Wakil Bupati Kab. Pekalongan memberikan pidatonya sebagai bagian dari prosesi penutupan kegiatan APNE 2017.

Rasanya masih belum ingin berpisah dengan Petungkriyono. Masih banyak keindahan dan misteri yang belum kami jelajahi, namun matahari sudah semakin menepi. Kelak kami akan kembali untuk menikmati keindahan dan keajaiban Petungkriyono.

Berpetualang Di Petungkriyono Bagi Wisatawan. 


Infografis Pesona Petungkriyono

Bagi yang ingin melakukan wisata penjelajahan seperti yang kami lakukan, berikut ini adalah beberapa panduan untuk berwisata ke kawasan Petungkriyono.

Bagaimana Menuju Kesana : 
Dari Kota Pekalongan, wisatawan bisa menempuh perjalanan menuju ke Kab. Pekalongan, tepatnya ke kota Kajen (Ibukota Kabupaten Pekalongan).

Petungkriyono berada di sebelah selatan dengan jarak kurang lebih 30 km dan dapat dicapai dengan kendaraan umum maupun pribadi yang melewati Kecamatan Doro. Perjalanan dari Pekalongan menuju Kajen dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 45 menit. Sementara dari Kajen menuju Kecamatan Doro sekitar 1 jam 30 menitan.

Angkutan wisata yang bisa digunakan menuju kawasan Petungkriyono, antara lan adalah Anggun Paris (Angkutan Gunung Pariwisata) yang bisa membawa rombongan sekitar 10-12 orang. Jasa sewa.dan supirnya sebesar 500.000,-rupiah. Angkutan ini dikemudikan oleh supir yang sudah berpengalaman dengan medan di Petungkriyono. Kendaraan ini sudah teruji mampu melewati medan pegunungan Petungkriyono dan penumpang juga bisa bersentuhan langsung dengan suasana alam di hutan.

Selain itu, wisatawan juga bisa menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan motor atau menyewa ojek motor dengan tarif kurang lebih 75.000 per motor.

Aktivitas Wisata Yang Bisa Dilakukan:
Wisatawan tidak perlu khawatir dengan fasilitas penunjang wisata yang ada di Petungkriyono karena di Komplek Terminal Doro dan Komplek Kantor Kecamatan Petungkriyono sudah terdapat informasi mengenai objek-objek wisata maupun paket wisata yang ada.

Secara umum aktivitas wisata yang ditawarkan di kawasan Petungkriyono antara lain, wisata pendidikan, wisata alam, wisata sejarah, dan wisata petualangan.

Wisata pendidikan terletak di Kawasan Hutan Sokokembang. Di tempat ini terdapat Sokokembang EcoAdventure, wahana menikmati keindahan alam Kampung Kopi Sokokembang sekaligus belajar mengenai konservasi dan pelestarian alam. Para peneliti, pelajar, serta mahasiswa dapat memanfaatkan kawasan ini sebagai sarana menbah wawasan.

Untuk wisata alam, pengunjung bisa datang ke Wisata Air Terjun Sibedug, Air Terjun Curug Bajing, dan Air Terjun Curug Muncar.

Wisata sejarah dapat dilakukan di Situs Gedong dan Situs Nogopertolo sebagai peninggalan zaman Mataram Hindu di Petungkriyono.

Sementara itu, wisata petualangan dapat berupa pendakian menuju Gunung Kendalisodo yang terkenal dengan golden sunrise-nya serta Gunung Rogojembangan sebagai puncaknya Pekalongan. Ada juga wisata petualangan untuk memacu adrenalin dengan rafting atau river tubing di Sungai Welo.

Akomodasi Dan Prasarana Wisata: Pengunjung yang ingin bermalam di Petungkriyono bisa memilih untuk menginap di Dusun Cokrowati dan Dusun Kasimud Desa Kasimpar, Dusun Mudal Desa Yosorejo, dan di Objek Wisata Curug Muncar.

Di area Petungkriyono juga sudah banyak terdapat warung yang menjual makanan dan minuman dengan harga yang terjangkau. Berbagai fasilitas penunjang seperti toilet dan musholla juga sudah dipersiapkan dengan baik oleh pihak pengelola pariwisata.

Budget Wisata : 
Tiket masuk ke setiap area wisata di kawasan Petungkriyono terhitung sangat terjangkau, yaitu antara Rp. 3000-5000 rupiah saja.
Biaya untuk melakukan rafting atau river tubing berkisar antara 75.000-100.000,-

Jika memilih untuk berwisata secara berombongan dengan menggunakan Anggun Paris, siapkan dana sekitar 500.000 rupiah untuk jasa sewa amgkutan. Anggun Paris bisa ditumpangi oleh rombongan maksimal 12 orang.

Jadi, tunggu apa lagi? Siapkan akhir pekan atau hari libur kalian untuk menelusuri kawasan wisata Petungkriyono dan bersiap-siap terhipnotis dengan keindahannya.

40 comments:

  1. Wah lengkap nih infonya. Bisa jadi referensi untuk alternatif lokasi event2 dan piknik. Banyak sungai dan curuuugg!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa...curugnya bagus2 semuaa...pingin eksplor satu2

      Delete
  2. Serasa ikutan eksploring Petung Kriyononya nih.
    Detail banget & informatif.

    Good day from East Lombok ^_^

    ReplyDelete
  3. Yuuuk kita balik sana lagi Nia. Klo lebih pagi kita bisa nyampe curug lawe dan muncar ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa penasaran yaa sama kedua curug itu. Nanti pas ada acara nge-camp aku mau aah

      Delete
  4. Akhirnya dapat info yang komplit tentang Petung Kriyono. Penasaran karena dari tahun kemarin pengen kesana gagal terus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Must visit place ya, Mba Wati. Aku pun pingin mengulang lagi ekspedisi yg kmrn itu, tapi bener2 lebih lama eksplorenya

      Delete
  5. Keren bingit... Keknya cocok buat anak-anakku deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa Mba. Klo ngajak anak2 pasti pada seneng. Apalagi sesi main airnya.

      Delete
  6. Pasukan belum bisa move on dari petungkriyono mbaaa ni, huhu

    Hawa hawa dingin dan bau bau tumbuhan nya masih berasa ampe sekarangg..

    Tulisan mba nia ini lebih lengkap info nya dari yg aku dapat dari mas lokal guide nya malahh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Samaaa, aku juga blm bisa mupon, Isul. Bau getah pinusnya masih berasaa yaa

      Delete
  7. Penasaran gimana caranya mba Nia dapat informasi selengkap ini dan bisa mengemasnya dengan tulisan seindah ini *eaaaa..
    Ayok mba balik lagi ke petung aku penasaran sama spot-spot lainnya yang belum sempat kita explore kemaren :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pindah2 pas naik Anggun Paris, salah satunya Nuzhaa
      ..hehehe jd bisa denger cerita dr pemandu yg beda2

      Delete
  8. mau dong ke curug muncar.. huaa penasaran banget pingin balik. masih pingin lihat owa jawa juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa, sama. Penasaran bgt. Curug Lawe aja blm kesampean yaa

      Delete
  9. Komplit banget Mbak ulasannya. Mantap!
    Sama kaya Mbak Nia, aku juga penasaran sama situs-situs yang diduga peninggalan jaman Mataram Kuno di Petungkriyono. Pasti banyak cerita yang didapat dari tempat-tempat tersebut. Terus Curug Lawe juga belum lihat, nggak bisa bayangin tingginya 100 meter. Orang Curug Bajing yang "cuma" 75 meter aja segitu tinggi dan besarnya.

    Mau banget deh kalau ada yang ngajak ke Petungkriyono, apalagi sampe nginep di sana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, curug bajing aja masih amazed aku liatnya, ya Mas.

      Sdh ada yg mengulas ttg situs2 sejarah ini apa blm ya?

      Delete
  10. sayangnya situs yang kita lewati itu ngga dibuka buat sembarang orang, harus ijin dulu ke juru kunci, ya karena kesakralan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semakin bikin penasaran kan dgn penjelasan Mba Nay...makin ditutup makin bikin penasaran

      Delete
  11. Seru ya mbak nia, aku ya baru tau dari baca postingan ini 😊😄

    ReplyDelete
  12. Tempatnya lebih dari sekedar menarik ya mba nia jadi pengen ke tkp tp apa harus ada pemandu nya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngga harus pake pemandu kok, bisa dtg lsg ke spot yg pingin dikunjungi. Di sana udah banyak petunjuk ttg aktivitas wisata dll

      Delete
  13. Ceritanya panjang tapi ngga bosen dibacanya menarik dan bikin pengen ke sana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah baca artikelnya. Iya tempatnya mmg menarik dan ngga bikin bosen

      Delete
  14. Ahh mupeng pengen jelajah petung kriyono jugaa...semoga genpi mau piknik ke sana hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yuk diagendakan piknik bareng Genpi, pasti seru yaa.

      Delete
  15. Bedug kalo dalam bahasa Pekalongan itu artinya waktu sholat Shuhur ^^v

    ReplyDelete
  16. Pengen, keliatan asri dan masih sejuk gitu

    ReplyDelete

Powered by Blogger.