Kiat Menulis
Kisah Perjalanan
Teknologi
Ulasan Produk
Meraih Impian Menjadi Travel Writer Dengan ASUS ZenBook 13 UX331UAL
brama-sole.com Jalan untuk meraih impian menjadi seorang travel writer ternyata tidak semudah yang saya bayangkan. Butuh proses belajar, kemauan keras untuk meningkatkan skill, dan tekad kuat untuk menambah pengalaman. Apa saja yang sudah dilakukan untuk meraih impian itu? Dan apakah saya sudah benar-benar menjadi seorang travel writer seperti yang diharapkan? Lalu kenapa saya ingin ASUS ZenBook 13 UX331UAL menjadi partner untuk meraih impian tersebut? Tulisan ini akan menjawab semua itu.
Apakah Saya Seorang Travel Writer?
Saat ini, meskipun sering menuliskan kisah-kisah perjalanan di laman pribadi, saya belum percaya diri menganggap travel writer sebagai profesi. Alasannya karena karya yang dihasilkan belum mampu membuat orang mengenal saya sebagai seorang travel writer.Itulah kenapa saya masih harus terus berproses hingga bisa mencapai target pribadi yang ditetapkan, misalnya bisa menjadi kontributor untuk majalah pariwisata, menerbitkan buku tentang kisah-kisah perjalanan, dan membuat satu laman pribadi yang dikelola secara profesional, khusus memuat kisah-kisah perjalanan.
Untuk saat ini, saya menilai diri sendiri sebagai seorang 'Apprentice' di ranah travel writer. Sebelum mem-branding diri sendiri dengan satu profesi atau keahlian, saya selalu bertanya kepada diri sendiri; sudah sampai di manakah kemampuan saya jika dibandingkan dengan sosok-sosok yang sudah dikenal sebagai travel writer?
Dua tahun belakangan ini, saya mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk belajar menjadi travel writer. Beberapa kali diundang untuk mengulas tempat-tempat wisata menjadi sarana bagi saya untuk berlatih membuat tulisan tentang kisah perjalanan. Itulah salah satu nilai tambah ketika saya memutuskan untuk menjadikan blogger sebagai profesi.
Bersama dengan teman blogger lainnya, saya juga dipercaya oleh Forum Komunikasi Desa Wisata Jawa Tengah untuk ikut serta mempromosikan desa-desa wisata yang ada di Jawa Tengah melalui tulisan dan media sosial. Kesempatan berkunjung ke banyak desa wisata saya jadikan sarana untuk berlatih membuat tulisan perjalanan.
Agar dapat menilai kemampuan sendiri, saya sering membaca tulisan atau karya dari sosok-sosok yang sudah berpengalaman dalam menulis kisah-kisah perjalanan.
Ada beberapa sosok yang menjadi rujukan saya untuk belajar menjadi seorang travel writer. Tahun 2009 adalah pertama kalinya saya ngobrol langsung dengan Trinity. Pasti tahu dong, buku The Naked Traveler. Saat ini, ia sudah menerbitkan 12 buku best-seller yang berisi kisah-kisahnya selama melakukan penjelajahan ke kurang lebih 78 negara. Saya menulis tentangnya di sini.
Beberapa kali saya merasa cukup beruntung karena bisa jalan-jalan bareng dengan teman-teman travel blogger. Beberapa di antaranya termasuk yang cukup terkenal di ranah tersebut. Dari mereka saya belajar banyak hal, termasuk salah satunya bagaimana menjadi seorang penulis kisah perjalanan yang baik.
Waktu diundang untuk mengulas ecolodge berbentuk kontainer di daerah Citumang, saya berkenalan dengan travel blogger, Irham Faridl. Ia bercerita pengalamannya sebagai pemetik jeruk menggunakan Working Holiday Visa di Australia dengan begitu mengugah sehingga saya seperti ikut merasakan suasana di sana; melihat warna-warna jeruk yang kuning menyala, hingga mencium baunya. Sejak itu saya tahu bahwa untuk menulis kisah perjalanan yang baik adalah dengan melibatkan semua panca indera.
Membaca buku juga menjadi syarat utama untuk bisa mengembangkan dan mengasah kemampuan menulis kisah perjalanan. Untuk itu, saya banyak membaca karya-karya para penulis kisah perjalanan. Beberapa yang karyanya saya jadikan rujukan adalah : Eric Weiner dengan buku-bukunya : The Geography of Bliss, The Geography of Genius, hingga The Geography of Faith, kemudian Alain de Botton yang menulis The Art of Travel.Dari hasil pembelajaran dan pengalaman bertemu dengan sosok-sosok yang sudah lebih dahulu dikenal sebagai travel blogger atau travel writer, saya sadar bahwa modal 'suka jalan-jalan' saja tidak cukup. Untuk bisa menjadikan seseorang travel writer profesional, ada beberapa catatan yang bisa saya simpulkan :
1. Belajar Menulis Dengan Baik dan Benar.
Menulis kisah perjalanan memang harus terasa cair dan renyah untuk dinikmati, namun bukan berarti melupakan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar. Menurut saya, belajar teknik menulis beserta detail-detailnya sangat diperlukan agar bisa menghasilkan tulisan berkualitas. Kesalahan kecil seperti penempatan tanda baca dan typo sudah tidak boleh dilakukan lagi.
2. Banyak Membaca.
Mustahil bisa menulis kisah-kisah perjalanan yang baik tanpa modal membaca. Semakin banyak referensi, akan semakin kaya isi tulisannya. Banyak membaca akan sangat membantu dalam hal menemukan gaya menulis yang sesuai dengan karakter kita sendiri.
Selain itu, banyak membaca juga akan mengasah kemampuan seorang travel writer dalam kedua hal di bawah ini:
3. Tidak Menunda.
Seorang travel writer harus selalu siap dengan buku catatan. Setiap detail informasi sangat berharga untuk direkam agar apa yang sudah didapatkan selama perjalanan tidak menguap begitu saja. Ini juga memudahkan apabila penulis diberi tenggat untuk menyelesaikan tulisannya. Saat memotret pun, kita juga harus selalu siap dengan momen yang ada.
4. Disiplin & Konsisten.
Menjadi seorang travel writer terlihat menyenangkan karena bisa mendapatkan penghasilan dari 'jalan-jalan'. Namun di balik semua itu, ada disiplin yang harus diterapkan. Seorang travel writer harus bisa mengatur waktunya dengan baik agar cukup untuk mengumpulkan materi tulisan. Ia harus tahu kapan saatnya memotret, membuat catatan, atau melakukan wawancara. Untuk bisa mendapatkan 'tempat' sebagai seorang travel writer, ia juga harus konsisten membangun personal branding.
5. Multi Skill & Berjejaring.
Terkadang menjadi travel writer menuntut seseorang untuk menjadi penulis, fotografer, bahkan videografer dalam sekali waktu. Untuk itu, keterampilan lain selain menulis juga harus diasah. Kemampuan memotret dan mengedit foto adalah salah satu yang cukup krusial. Seorang travel writer juga harus pandai berjejaring dan membina komunikasi, baik dengan orang-orang yang ditemuinya di tempat baru maupun dengan komunitas serta pihak yang memberinya pekerjaan.
Menjadi Travel Writer adalah Ikigai Saya.
Terkadang orang-orang bertanya, kenapa saya capek-capek berusaha meraih impian menjadi seorang travel writer, padahal latar belakang ilmu atau pekerjaan sebelumnya tidak berhubungan dengan hal tersebut. Lugasnya begini, "Ngapain kamu capek-capek kuliah S2 kalau ujung-ujungnya cuma mau jadi penulisMungkin jawabannya karena menjadi travel writer adalah passion saya, atau bisa jadi itu adalah seperti yang orang-orang Jepang bilang sebagai 'Ikigai'. Alasan saya bangun di pagi hari; apa yang memotivasi dan menggerakkan hati saya sehingga bersemangat melakukan sesuatu.
Seperti yang digambarkan dalam video ini.
Sebenarnya, impian untuk menjadi travel writer secara tidak langsung sudah jauh tertanam di alam bawah sadar sejak kecil.
Beberapa tahun silam.
Di suatu pagi yang hangat, di ruang kerja sekaligus kamar tidur kakek, selarik sinar matahari menyusup dari kisi jendela kamar. Saya dekatkan telapak tangan pada cahaya tersebut. Di bawah cahaya matahari, telapak tangan jadi tampak kemerahan. "Kung, ini kok, merah tangannya," tanya saya kala itu.
"Cahaya membuat aliran darah di bawah kulitmu jadi kelihatan, Nduk," jawabnya sambil mengajak saya ke rak bukunya. "Kalau nanti sudah lancar membaca, kamu bisa cari tahu tentang tubuhmu di buku ini. Sekarang, kamu lihat-lihat dulu gambarnya. Nanti, Mbahkung ceritakan isinya."
Sejak itu, saya selalu kembali ke kamar kakek untuk melihat-lihat bukunya. Suatu hari saya tertarik pada sebuah buku yang berisikan tulisan tangannya. "Ini buku apa Kung?"
"Ini buku catatan Mbahkung. Kalau habis pergi untuk jualan atau bertemu orang, Mbahkung tulis di sini ceritanya."
"Kemarin Kung pergi ke rumah Pak Haji yang suka kasih aku permen itu kan? Coba bacakan cerita waktu Kung pergi ke rumah Pak Haji itu." pinta saya.
Dan kisah tentang sesorang pria yang menempuh pendidikan jurnalistik di Jerman pun meluncur dari bibirnya. Ketika saya sudah lebih besar, Kakek masih sering menceritakan kisah itu. Saya pun jadi tahu tokoh yang dimaksud dalam kisah tersebut adalah Djamaluddin Adinegoro.
Adinegoro, pelopor penulis perjalanan. Orang Minang yang memakai nama Jawa sebagai nama penanya. Bersekolah di STOVIA, tetapi tertarik pada dunia kepenulisan, kemudian bekerja sebagai pembantu di surat kabar milik Hindia Belanda. Adinegoro kemudian menulis Melawat ke Barat, sebuah buku yang berisi kumpulan kisah perjalanan wartwan Indonesia di luar negeri.
Kakek saya seorang pedagang. Relasinya lumayan luas. Ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat yang suka bercerita tentang sejarah atau tokoh berpengaruh pada masanya. Kakek kemudian berbagi kisah yang didapatnya dengan saya. Kakek juga beberapa kali mengajak saya keluar-masuk desa-desa untuk berdagang dan bertemu banyak orang.
Momen itu membentuk kesukaan saya saat ini: jalan-jalan dan mendengarkan kisah-kisah dari suatu tempat atau orang lain. Ada satu kalimat kakek yang selalu saya ingat:
"Kalau ingin melihat dunia, bacalah buku. Belum bisa pergi jauh, tidak apa, bacalah buku dulu."
Selain pengaruh dari kakek, saya mendapat pengaruh dari Papa. Ia seorang frequent traveler karena pekerjaannya. Setiap kali pulang dari bepergian ia bercerita tentang kota-kota yang disinggahinya; kebiasaan orang-orang yang ia temui, sampai makanan yang beliau cicipi. Mulai dari kisah ketika ia tinggal di sebuah desa kecil di Kansas, sampai kisah-kisah orang besar di Yunani.
"Dibandingkan Philipina, Jakarta masih lebih bagus. Di sana, mereka menjadikan pisang sebagai lauk untuk makan nasi," begitu tuturnya. Atau, "Papa nggak bisa makan di sana, masak Alpukat dicampur sama Bawang Bombay? Di sini kan, dibuat jus dan dikasih susu cokelat."
Itu kan buat salad dressing, Pa. (Tapi dulu saya belum tahu kalau alpukat bisa buat salad dressing, hihihi)
Mendengar kisah-kisahnya, saya lalu ingin merasakan hidup di tempat dengan budaya yang berbeda, dan menjelalah ke berbagai tempat di dunia. Namun Papa mengatakan kalau langkah perempuan itu tidak sepanjang laki-laki karena suatu saat, setelah menikah, harus mengurus anak di rumah. Mendengar itu rasanya seperti patah hati.
Belum tercipta sayap untuk cita-cita, sudah patah duluan.
Sebab itu saya bertekad, sebelum menikah harus bepergian ke tempat yang belum terbayangkan sebelumnya. Hasil dari bepergian itu adalah bahan mentah untuk memasak sebuah novel yang kemudian diterbitkan pada tahun 2010. Bagian ini akan saya ceritakan nanti, ya.
Meskipun berlatar pendidikan Psikologi, tetapi saya justru beberapa kali bekerja di bidang yang berhubungan dengan kepenulisan, salah satunya di sebuah majalah gaya hidup dan majalah bertema pernikahan. Saat itu saya banyak menulis tentang tempat-tempat wisata, kuliner, dan budaya.
Pengalaman itu semakin mengasah dan memperuncing minat saya untuk menjadi travel writer. Apalagi sejak bisa mendapatkan penghasilan dari menulis, saya semakin menikmati aktivitas menulis. Saya merasakan kondisi flow atau mengalir saat menulis.
Mihály Csíkszentmihályi, pakar psikologi positif mengartikan flow sebagai kondisi di mana seseorang sangat hanyut dalam sebuah aktivitas sehingga seakan tidak ada hal lain yang bisa mengganggu perhatiannya. Pengalaman tersebut terasa sangat menyenangkan untuk tetap dilakukan, sehingga seseorang akan tetap melakukannya walaupun tantangannya besar atau berat dan memakan waktu lama.
Kondisi flow itulah yang membuat saya berpikir bahwa menulis, khususnya menulis kisah-kisah perjalanan, adalah Ikigai saya. Untuk bisa menyadari apa Ikigai kita, coba perhatikan lingkaran-lingkaran yang saling bertautan ini.
Kemudian, mulailah menuliskan ini :
1. hal-hal apa saja yang kita sukai;
2. kemudian hal-hal apa saja yang kita mahir melakukannya;
3. lalu hal-hal apa yang dibutuhkan oleh dunia atau lingkungan kita; dan
4. hal-hal apa yang bisa kita lakukan sehingga kita bisa dibayar atau mendapatkan penghasilan.
Irisan dari hal-hal yang kita sukai dan hal-hal yang kita mahir melakukannya disebut dengan 'passion.' Irisan dari hal-hal yang kita mahir untuk melakukannya dan kita dibayar untuk hal itu disebut 'profession'. Lalu irisan dari hal-hal yang kita sukai dan dibutuhkan oleh dunia atau lingkungan disebut 'mission', sementara irisan dari hal-hal yang kita dibayar untuk itu sekaligus dibutuhkan oleh lingkungan disebut 'vocation'.
Menurut kalian, sudahkah menjadi travel writer mencakup keempat irisan tersebut? Jika sudah, maka mungkin benar itu adalah Ikigai saya.
Meraih Impian Menjadi Travel Writer Dengan ASUS ZenBook 13 UX331UAL
Dulu, waktu bertemu Trinity pertama kalinya di tahun 2009, juga saat membaca buku-bukunya, saya belum berani bermimpi untuk melakukan hal yang sama. Saat itu, posisi saya sudah menikah dan memiliki seorang anak yang belum genap berusia dua tahun. Waktu itu, saya juga baru saja resign dari pekerja kantoran, dan memutuskan untuk menulis di rumah serta mengambil pekerjaan lepas sebagai copywriter.Sembari menyelesaikan peer-peer dari kantor, saya menyicil 'memasak' bahan-bahan untuk membuat novel yang sudah terkumpul ketika menjelajah ke beberapa tempat. Kala itu, saya mengumpulkan bahan-bahan dengan mencatat di buku dan memotret. Waktu itu, saya tidak berani membawa laptop selama bepergian jauh.
Alasannya, takut laptop saya rusak selama di perjalanan; tertindih barang lain yang lebih berat hingga layarnya rusak, kena guncangan selama penerbangan, atau tidak tahan dengan suhu yang ekstrem. Selain itu, saya tidak membawa laptop karena ingin meminimalisir berat barang bawaan selama melakukan solo trip.
Untuk menggantikan laptop, saya membawa satu buku untuk catatan, satu buku untuk membuat sketsa, dan kamera saku serta polaroid sebagai alat untuk merekam cerita-cerita perjalanan saya. Sebenarnya, saat itu banyak informasi yang bisa langsung direkam dengan lebih maksimal jika saya membawa laptop.
Sebelumnya, waktu masih bekerja di majalah, peralatan yang saya bawa untuk liputan juga masih sangat sederhana. Hanya recorder, buku catatan, dan kamera saku. Biasanya saya akan menuangkan hasil liputan kalau sudah kembali ke kantor dengan mengetik di PC.
Bahan-bahan mentah yang sudah berhasil didapat selama menjelajahi beberapa tempat tersebut pada akhirnya cuma tersimpan di dalam laci karena belum sempat dipindahkan secara digital. Dengan keterbatasan teknologi yang saya miliki, cukup banyak ide-ide selama perjalanan yang terlewatkan begitu saja. Baru setelah menikah dan kemudian resign dari kantor, saya memutuskan untuk menata kepingan-kepingan data itu menjadi rangkaian cerita.
Saat itu, karena tidak ada kemajuan yang berarti dalam dunia kepenulisan, saya merasa perlu mengembangkan skill menulis. Mendaftarlah saya untuk mengikuti beasiswa bengkel penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Perjalanan Bandung-Jakarta setiap akhir pekan pun saya tempuh demi bisa mengembangkan kemampuan menulis. Setiap akhir pekan selalu ada peer dari para pengajar, mulai dari menyelesaikan daftar bacaan, riset, method writing, hingga membuat cerita pendek.
Untuk memudahkan proses belajar dan berkoordinasi dengan pengajar melalui surat elektronik, saya membawa laptop kemana-mana. Tas ransel disesaki oleh buku-buku bacaan yang biasanya akan dibedah pada saat kelas berlangsung, ditambah lagi laptop model jadul yang terasa berat saat ditenteng. Saat pulang ke rumah saya sering merasakan leher yang kaku atau sakit punggung karena sering membawa beban berlebihan di tas ransel.
Bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, dan juga sedang mengembangkan keterampilan menulisnya membuat saya termotivasi untuk merangkai bahan-bahan yang sudah dikumpulkan menjadi sebuah novel. Satu tahun kemudian, 29 1/2 Hari menjadi novel pertama saya yang diterbitkan oleh Grasindo. Tokoh utama dalam novel itu memiliki pekerjaan sebagai travel writer. Pekerjaan yang secara tidak sadar menjadi impian saya.
Saat proses menulis novel My Cup of Tea yang diterbitkan oleh Gagas Media, laptop selalu on seharian. Untuk mengetik draf dan riset lewat internet. Kadang sampai laptop terasa panas karena kelamaan on. Apalagi waktu itu saya juga sedang mengambil kuliah profesi. Keberadaan laptop benar-benar dioptimalkan untuk menyelesaikan pekerjaan, dari mulai mengerjakan tugas-tugas kuliah, membuat laporan, sampai untuk riset dan mengumpulkan data.
Di masa itu, saya juga sering melakukan presentasi dan mengisi beberapa kelas parenting sehingga laptop yang dapat terhubung ke Wi-Fi adalah salah satu penunjang agar saya dapat mengunduh video-video penunjang agar isi presentasinya lebih menarik. Karena masih jadi mahasiswi dengan penghasilan sebagai freelancer, maka saya lebih sering mengandalkan sambungan Wi-Fi untuk mengunduh data.
Ada pula cerita tentang betapa cerobohnya saya ketika menggunakan laptop yang dipakai untuk membuat draf My Cup of Tea. Ketika sedang ngobrol dengan koki, laptop saya terjatuh karena tas ransel saya digeser ketika ia akan meletakkan bahan-bahan masakan di atas meja dapurnya. Pernah juga ketika sedang mewawancarai mereka, dengan cerobohnya saya menumpahkan minuman ke bagian atas penutup laptop, untungnya dalam keadaan tertutup.
Dengan kecenderungan perilaku ceroboh tersebut, saya memang membutuhkan laptop yang tahan banting. Zaman dulu sih, belum pernah membayangkan bisa memiliki laptop yang tipis tapi tahan banting. Laptop yang tahan banting masih identik dengan bentuk yang bulky.
Di masa sekarang, laptop menjadi benda wajib yang tidak bisa terpisahkan dari keseharian saya. Sayangnya, laptop lama yang sudah menemani saya selama bertahun-tahun tersebut, saat ini memiliki beberapa kendala yang cukup menghambat performa kerja.
Karena kendala-kendala tersebut, sesekali saya pinjam laptop Pak Suami. Tapi karena saya bekerja hampir seharian dengan laptop, kalau meminjam terus ya, nanti gantian Pak Suami yang nggak bisa kerja. Atau karena laptopnya pinjaman, saya sering merasa tidak leluasa membawanya bepergian.
Padahal ketika bepergian, saya sebenarnya sangat membutuhkan laptop untuk menunjang kinerja. Misalnya ketika melakukan peliputan atau pengumpulan data di sebuah desa wisata di Kabupaten Brebes. Waktu itu, lagi-lagi karena alasan laptop jadul yang bulky, berat, dan bermasalah, saya meninggalkannya di rumah.
Dalam hati sudah ngebatin: Ini kan, sedang ada deadline tulisan yang harus dibereskan. Dan waktu itu, saya juga baru ditawari sebuah pekerjaan, lalu diminta untuk membuat proposal. Tapi karena harus meliput ke Brebes, saya menunda membuatnya. Benar saja, malam harinya ketika berada di rumah warga yang dijadikan homestay, saya ditagih proposal tersebut. Akhirnya saya nebeng mengetik di komputer teman agar bisa membuat proposal.
Dalam seminggu, biasanya akan ada tiga sampai empat tulisan yang harus diselesaikan dan dipublikasikan. Tidak jarang, ketika masih bepergian ke suatu tempat, saya dituntut untuk bisa multitasking dengan menyelesaikan tulisan sebelumnya. Misalnya, saat sedang berada di Ciletuh, saya harus sudah mempublikasikan tulisan ketika saya mengulas tempat wisata yang didatangi sebelumnya.
Kejadian yang sama terulang lagi beberapa waktu yang lalu. Saat sedang meliput tempat wisata keluarga di daerah Gunung Pati Semarang, saya diminta untuk menyusun proposal penawaran kerjasama secara
Menurut saya, kalau permasalahan laptop ini tidak segera diatasi, jalan untuk menjadi travel writer bakal terasa semakin terjal. Padahal cukup banyak kesempatan yang bisa menjadi momentum agar saya lebih produktif. Tapi laptop yang dimiliki belum menunjang produktivitas tersebut.
Saya sadar di tiap-tiap fase perjalanan, ketika menjadi penulis, blogger, atau profesi lainnya, selalu dibutuhkan upgrade ilmu, skills, sekaligus tools agar bisa naik ke kelas selanjutnya. Harapannya,
dari seorang 'apprentice travel writer' saya bisa menjadi seorang 'practictioner' lalu naik lagi jadi 'expertise'.
Di bagian tulisan sebelumnya, sudah disinggung skills apa saja yang harus ditingkatkan agar bisa naik kelas. Untuk saat ini, saya berpikir bahwa selain skills, saya juga harus meng-upgrade tools, salah satunya dengan memiliki laptop pribadi yang performanya mumpuni.
Dari pengalaman selama bertahun-tahun, saya menyimpulkan bahwa laptop yang saya butuhkan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Sementara itu, sebagai travel writer, saya berharap dapat :
dari seorang 'apprentice travel writer' saya bisa menjadi seorang 'practictioner' lalu naik lagi jadi 'expertise'.
Di bagian tulisan sebelumnya, sudah disinggung skills apa saja yang harus ditingkatkan agar bisa naik kelas. Untuk saat ini, saya berpikir bahwa selain skills, saya juga harus meng-upgrade tools, salah satunya dengan memiliki laptop pribadi yang performanya mumpuni.
Dari pengalaman selama bertahun-tahun, saya menyimpulkan bahwa laptop yang saya butuhkan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Sementara itu, sebagai travel writer, saya berharap dapat :
Ketika sedang dalam perjalanan, tidak jarang saya menemukan ide-ide, yang kalau tidak segera dituliskan, akan menguap dari ingatan. Tidak jarang ide-ide itu muncul dalam bentuk penggalan kalimat yang berhubungan dengan kisah perjalanan yang sedang ditulis.
Oleh karena itu, saya memang perlu membawa buku catatan kemana-mana. Sayangnya, menulis di buku catatan itu tidak langsung terdigitalkan sehingga ketika nanti mengetik di laptop malah suka kelupaan memasukkan yang ada di catatan.
Beberapa kali mencari tahu kira-kira laptop apa yang sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita saya, lalu menemukan spesifikasi dari ASUS ZenBook 13 seri UX331UAL rasanya langsung ada suara 'klik', seperti orang jatuh hati. Seolah menemukan calon partner yang selama ini dicari-cari.
Berikut ini 'biodatanya' :
Berdasarkan spesifikasi di atas, menurut saya ASUS ZenBook 13 UX331UAL sangat sesuai menjadi partner seorang travel writer. Spesifikasi yang dimiliki ASUS ZenBook 13 UX331UAL setelah dibaca-baca lebih jauh juga sangat selaras dan mendukung seorang travel writer apabila ingin meng-upgrade skills sekaligus tools-nya.
Ini beberapa keterampilan yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh travel writer, serta bagaimana ASUS ZenBook 13 UX331UAL sangat mendukung hal tersebut :
Kemampuan menulis akan sangat didukung oleh adanya keyboard backlit ukuran penuh. Pengguna bisa mengetik dalam segala kondisi pencahayaan. Dengan desain yang sangat ergonomis dan jarak penekanan tombol keyboard 1,4 mm yang dioptimalkan untuk kenyamanan saat mengetik maka kita bisa menulis tanpa typo. Begitupula ketika kita akan membuat desain atau infografis.
Kemampuan presentasi kita nantinya juga akan didukung oleh adanya sistem audio yang tersertifikasi Harman Kardon. Kita bisa menunjukkan materi presentasi dengan performa audio yang imersif dan kencang. Konten berupa video juga bisa ditampilkan dengan lebih apik. Adanya port USB-C, dengan dua port USB 3.1 Gen 1 Tipe-A dan port HDMI, memudahkan kita menampilkan foto dan terhubung ke proyektor tanpa ribet.
Sementara itu, dalam hal pengolahan foto dan video, transfer data dapat dilakukan dengan lebih cepat. Hal yang paling sering saya rasakan ketika memindah file video ke laptop lama untuk diedit adalah KZL menunggu file tersebut ditransfer.
ZenBook 13 dilengkapi dengan port USB Type-C ™ (USB-C ™) untuk membuat perangkat terhubung semudah mungkin. Juga memberikan kecepatan transfer data hingga 10 kali lebih cepat daripada koneksi USB 2.0. Tambahan lagi, dengan adanya sensor sidik jari dan Windows Hello, mengakses laptop pun menjadi lebih cepat dan praktis. Nggak perlu pakai ketik password dulu.
Cukup dengan menghadapkan wajah ke layar atau sentuhan jari di sensor fingerprint maka kita sudah bisa langsung bekerja atau membuka file-file yang dibutuhkan. Ini sangat berguna bagi saya karena kerap bekerja di lapangan dan membutuhkan akses cepat kapanpun dan di manapun.
Soal performa, ASUS termasuk yang tidak mau berkompromi mengorbankan bentuk atau desain dengan kinerjanya. Untuk itu, ZenBook 13 UX331UAL diperkuat dengan prosesor tercepat Intel Core I generasi ke-8. Demi menopang performa tinggi yang ditawarkan, ASUS juga memadankan prosesor tersebut dengan RAM tercepat DDR4 2133MHz serta penyimpanan kecepatan tinggi dan handal, berbasis M.2 SSD.
Adanya Wi-Fi Master juga memudahkan kita untuk terhubung dengan media sosial. Terutama ketika bepergian dan akan mengunggah tulisan serta membagikannya di sosial media. Tahapan ini juga membantu kita dalam membangun personal branding. Koneksi yang baik akan membantu mengarahkan orang-orang untuk menemukan tulisan kita. Sebagai travel writer kita tidak boleh melupakan bahwa "social media is your connection tool-it's not the final destination for your readers."
Selain terkait keterampilan-keterampilan yang disebutkan di atas, ASUS ZenBook 13 UX331UAL merupakan partner yang tepat untuk meraih impian saya menjadi travel writer karena bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dialami laptop saya selama ini. Dengan tambahan kelebihan-kelebihan lainnya, semoga harapan untuk berpartner dengan ASUS ZenBook 13 UX331UAL ini seiring sejalan dengan kemauan dan niat meng-upgrade skills.
Permasalahan laptop yang nggak bisa dibawa kemana-mana karena bulky dan berat teratasi dengan desain paling portabel yang dimiliki ASUS ZenBook 13 UX331UAL. Ketebalannya hanya 13,9 milimeter dan bobot keseluruhan 985 gram saja, kemudian layarnya berukuran 13,3 inci. ASUS ZenBook 13 UX331UAL punya dimensi yang tidak jauh berbeda dengan kertas ukuran A4 sehingga dapat dengan mudah diselipkan ke dalam koper, bacpack bahkan tas jinjing.
Konstruksi yang digunakan adalah magnesium alloy yang sangat ringan. Meski tampilannya terkesan light, namun sudah lolos pengujian berat standar daya tahan military-grade MIL-STD 810G untuk memastikan perangkat dapat dioperasikan di berbagai kondisi lingkungan. Ini sesuai sekali untuk saya yang sering ceroboh ketika menggunakan peralatan elektronik.
Sementara itu solusi untuk masalah baterai juga teratasi karena ASUS ZenBook 13 UX331UAL memiliki baterai yang kuat dan tahan lama, bahkan saat digunakan secara multitasking non-stop.
Aplikasi pengukuran baterai PCMark menunjukkan bahwa baterai pada ZenBook 13
UX331UAL sanggup memasok daya hingga 4 jam 43 menit. Tentunya apabila
penggunaan kita tidak terlalu intensif seperti pengujian benchmark tersebut
baterai tentu sanggaup bertahan lebih lama. Dalam skenario tertentu, ASUS
bahkan mengklaim baterai laptopnya sanggup bertahan hingga 15 jam.
Memiliki laptop ASUS ZenBook 13 UX331UAL pasti bakal bikin saya lebih semangat belajar meningkatkan skills sebagai travel writer. Iya dong, untuk bersanding dengan tools yang keren kita juga harus mengimbanginya dengan skills yang keren. Jika sudah memiliki keduanya maka 'passion' pun dapat diarahkan menjadi 'purpose of life'. Selanjutnya nanti apakah saya kemudian sudah bisa dikatakan sebagai seorang travel writer atau belum, biarlah karya yang berbicara.
Yes! This is My Dream. Being Travel Writer With ASUS ZenBook 13 UX331UAL as a Partner. |
Semoga tahun ini bisa punya #LaptopIdamanSobatTraveler dan #2018PakaiAsusZenBook. Aamiin.
NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #ASUSxTravelerien #2018PakaiZenBook.
Enak banget bacanya mbak nia. Mengalir. Ternyata di ilmu psikologi ada ya ttg hal2 yg kita sukai lebih mudah untuk ditulis. Selama inicuma merasakan aja.
ReplyDeleteBtw warna laptopnya cantik gitu ya 😍
yup, semakin menyukai sesuatu apalagi kita alami sendiri, menulis pun akan terasa lebih galir dan enak. Thanks yaa udah mampir
ReplyDeleteWaah buah jatuh tak jauh dr pohonnya ternyata kakek dan papanya Nia juga traveler yaa
ReplyDeleteNgalirrr aja gitu setiap baca tulisan mbak Nia..semoga bisa menjadi travel blogger yg handal ya mbak..apalagi kalau dibantu dengan perangkat laptop yang mumpuni.
ReplyDeleteMasyaAllah.. Mba Nia idolakuuu... Keren selalu ����
ReplyDeleteSemoga bucket list-nya tercapai ya Mba, biar makin mudah jalan jadi travel writernya
Percakapan dgn Mbahkung nya mengingatkanku pada mbahkungku yg juga meninggalkan buku tulis semacam diary ala ala waktu itu dgn huruf Jawa. Sayang aku tak sempat berinteraksi langsung deh beliau.. Mbak Nia..kereeen banget perjalanan kepenulisannya.. catat aku sebagai fansmu yaa... Semoga sukses selalu dan berjodoh dg ASUS ini yaa...
ReplyDeleteAsik bacanya, seru dan berasa sedang mendengarkan Nia bercerita. Laptop yang ultrathin memang penting banget untuk profesi kita ya. Dibawa kemana saja tanpa membebani bahu dan tulang belakang karena berat. Bobotnya nggak sampe 1 kg yak
ReplyDeleteMembaca tulisan mbak nia makin sini makin enak dibaca, semoga menang ya teh laptopnya, dan aku pun nambah ilmu nih dari tulisan ini tentang travel writer :)
ReplyDeleteSemoga segera menjadi the expert sambil bawa laptop Asus impian yang emang spec-nya bikin ngiler. Amin.
ReplyDeleteMasyaallah, kakek yg inspiratif.
ReplyDeleteBtw, bukannya org minang jg suka makan nasi berlauk buah ya? Hehehe..
Aku setuju banget sama kalimat ini mba nia: "Mustahil bisa menulis kisah-kisah perjalanan yang baik tanpa modal membaca. Semakin banyak referensi, akan semakin kaya isi tulisannya"
ReplyDeletememang ya, we cannot be someone if we never try to read first and learn more
Keren banget ya dengan jadi travel writer wawasan jadi luas dan ngga gampang berprasangka pada orang lain
ReplyDeleteTulisanmu bergizi banget Nia..love it..
ReplyDeleteMbaca tulisan mba nia selalu asik ya, ada ilmu yg bisa dpetik pembaca juga
ReplyDeleteSelalu suka membaca tulisan blog bramasole. Serasa tenggelam dalam cerita dan kisahnya,padat dan bergizi. Btw aku ngekek,knp tiba2 ada tahu bulat digoreng dadakan nongol yak..😂
ReplyDelete