Gadis Kembang Api

cerpen gadis kembang api

"Tepat setahun lalu aku ketempelan arwahnya Van De Bosch karena menatap terlalu lama lukisan fotonya yang dipajang di Lawang Sewu," begitu katamu ketika memulai percakapan denganku setelah bertahun-tahun tidak bertemu. 

Dahiku mengernyit, "Van De Bosch?"



"Dia salah satu Gubernur yang memprakarsai pembangunan jalur kereta api pertama antara Samarang-Tanggung," jawabnya sambil terus mengoceh, pamer ingatan soal sejarah. Sementara aku terus berjalan menyusuri koridor Lawang Sewu dengan deretan pintu-pintu yang membuka keluar, tanpa memedulikan langkahnya yang berubah cepat untuk menyusulku.

"Itu yang membuatku harus berkeliling ke berbagai penjuru tempat di Indonesia, bahkan dunia," sambungnya lagi.

Kebanyakan tempat yang ada hutan belantaranya. Arwah yang menempel padaku ini minta dipulangkan. Entah dia mau pulang ke tempat yang seperti apa. Tapi setiap kali masuk ke dalam hutan belantara, pegal-pegal di punggung dan leherku hilang," lanjutnya sambil berusaha menyamai langkahku. 

"Sekarang sudah nggak menempeli kamu lagi kan," kataku menanggapi sekadarnya.

Sejak duduk di bangku kuliah, aku tahu dia suka guyonan yang nyeleneh. Tidak ada satupun guyonannya yang kuanggap serius.

"Kamu sekarang jadi dingin dan pragmatis, ujarnya. Pasti gara-gara pekerjaanmu." selorohnya, sambil meletakkan satu tangannya di bahuku.

"Apa sih," balasku, mencoba menjauhkan tangannya, sementara aku mengarahkan lensa kamera ke kaca jendela patri di Lawang Sewu. Sinar matahari sore yang memantul di kaca jendela membuat warna-warni kaca patri berkilau bak permata.

"Aku sudah dengar soal pekerjaanmu dari beberapa rekan. Kamu direkrut oleh...." ia berjalan ke depan dan menutupi lensaku dengan keberadaannya. Matanya dipenuhi rasa ingin tahu.

Aku menatapnya dengan sorot mata bertanya-tanya dan pasang mimik geli. 

"Serius Bi," katanya lagi sambil menarik lenganku. Dia menatap mataku dalam-dalam. Tatapan yang tidak asing bagiku, sebelas tahun lalu.

Kamu sudah nggak boleh menatapku seperti itu lagi. Batinku.

Kemudian sorot matanya berubah tidak lagi seramah sebelas tahun lalu, dan tangannya mencengkeram semakin kuat. 

"Apaan sih," Kukibaskan tangannya, lalu berjalan menjauh.

"Aku sudah baca beberapa tulisanmu. Membosankan," pancingnya. Kamu sudah nggak pernah menulis hal-hal yang butuh perenungan lagi. Semua super-fi-sial, ledeknya.
Kamu berubah banyak," tambahnya lagi. 

"Memang apa yang kamu harapkan? Aku nggak mungkin sama seperti dua puluh tahun atau sebelas tahun lalu. Kamu juga berubah. Caramu berpakaian contohnya. Dan sekarang kamu pakai parfum," tambahku, mencoba menepis ingatan tentang aroma tembakau yang sering tertinggal di ujung kuku dan kemejanya. 

Salah satu cara untuk bisa bertahan hidup di duniaku saat ini adalah dengan bersikap praktis Bre. Praktis dan mengandalkan logika. Kalau aku bersikap terlalu manis seperti dulu, bakal banyak yang akan memangsaku. Aku harus belajar menjaga jarak, membuat sekat-sekat.

"Aku bertemu dengan banyak orang tahun-tahun belakangan ini, Bre. Aku berubah banyak karenanya." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.

Aku masih ingat kamu pernah berkata: 'Jangan bersikap terlalu manis pada semua orang. Jangan jadi gadis kembang api, membakar dirinya sendiri untuk menerangi orang lain.' "Bukankah kamu yang juga ikut mengajariku untuk lebih mengerahkan logika ketimbang perasaan?" 

"Tapi ada sesuatu yang membuatmu tidak jadi 'kamu', balasnya lagi.

Maaf kalau aku harus bilang, aku merindukan bagian itu dari dirimu. Bias yang selalu terpesona dengan apa saja. Seolah kamu ini anak dua tahun yang baru pertama kali makan jeruk atau melihat pelangi.

Aku rindu sisi anak-anak yang terjebak pada tubuh dewasamu. Aku menyukai pikiran-pikiran kekanak-kanakanmu yang murni, dan kamu selalu bicara seolah tidak peduli orang lain akan beranggapan apa tentang dirimu. Aku pernah sangat mengenalmu, Bi."

Aku berjalan menjauhinya, berusaha menunjukkan sebuah sudut di Lawang Sewu. "Di sinikah kamu kemasukan sesuatu," kataku mengalihkan rasa grogi yang mulai menjalariku ketika menaiki tangga ke lantai paling atas Lawang Sewu. Kuharap ini bukan karena aura tempat tersebut yang membuat jantungku berdetak kacau. 

Ia berjalan mendekat dan mencengkeram lenganku. Jangan mengalihkan pembicaraan. Tatapannya mengatakan itu. Seketika perutku terasa mulas. Ia baru saja mencoba meruntuhkan pertahanan diri yang selalu kugunakan ketika berhadapan dengannya. 

"Kenapa kamu pergi dan  nggak pernah menemuiku lagi," kata-kata itu meluncur begitu saja ketika menatap sorot matanya yang keras, namun selalu mengundang rasa penasaran.

Saat ini semua sudah sangat terlambat untuk apapun itu. Jangan coba-coba memulai lagi sesuatu yang sudah kamu tutup. Kalau kamu memintaku untuk mengikuti alur permainanmu. Maafkan, aku sudah nggak minat." Dari sekian banyak pilihan kalimat, entah kenapa yang kupilih justru bagian itu. 

"Wanita cantik di luar banyak, Bi. Tidak ada yang bisa sepertimu. Sebagian besar yang diinginkan mereka dariku adalah apa yang terlihat dan menempel di tubuhku. Apa yang kubawa, perusahaan yang sedang kupimpin. Tidak ada yang menginginkan jiwaku seperti kamu dulu."

"Kuberitahu ya, kalau kamu bertanya padaku sekarang, mungkin apa yang kuinginkan darimu juga sama seperti perempuan kebanyakan itu. Aku berubah seiring waktu, Bre. Aku nggak lagi membaca buku-bukunya Foucault seperti dulu. Kamu bisa tengok rak bukuku sekarang. Panduan Berkebun Organik Untuk Kaum Urban. Kalau kamu tahu seperti apa aku saat ini, kamu pasti akan sangat membenciku."

Bre tersenyum dan justru beranjak semakin mendekat ke arahku.

"Masih ada sesuatu yang tertinggal di sorot matamu. Dan aku nggak pernah salah soal itu. Kamu nggak  nyaman dengan hidupmu saat ini. Kamu bukan perempuan kebanyakan. Kalau aku boleh jujur, aku menjalani kehidupan yang membosankan tujuh tahun belakangan."

"Kehidupan membosankan itu yang memberimu kemewahan hidup saat ini. Anak-anakmu sekolah di tempat yang bagus. Kamu bahkan bisa bepergian ke beberapa negara untuk berlibur. Menurutku kamu bukan bosan, tapi sedang jadi orang yang nggak pandai bersyukur." 

"Apa yang harus kusyukuri kalau setiap kali pulang ke rumah, istriku bercerita tentang bagaimana ia baru saja memenangkan arisan, atau sepatu yang baru dikenakannya. Semakin hari dia semakin pandai membelanjakan uangku. 

Aku ingat bagaimana kamu dulu mengajar anak-anak les bahasa Inggris, kamu mengarang cerita sendiri yang kamu buat di buku gambar. Kamu mengajarkan bacaan Al Fatihah kepada mereka. Katamu untuk tabungan hari akhir. Kupikir, waktu meninggalkanmu demi dia, aku akan mendapatkan seseorang serupa kamu."


"Hentikan Bre. Percakapan ini nggak akan berujung kemana-mana. Kamu tahu itu. Aku sudah merasa nyaman dengan keadaanku saat ini. Aku sudah pernah belajar bahwa pria-pria sepertimu, yang hidupnya mapan, hanya mencari pelarian sesaat. Aku benci diperalat orang-orang seperti itu. Mereka bilang kesepian, tidak diperhatikan oleh istrinya, dan menganggap perempuan yang baru beberapa minggu ditemuinya adalah semangat hidupnya. Jadi pelarian itu lebih buruk rasanya ketimbang jadi pelacur atau pelakor."

"Kok ngomongmu begitu?" Bre terlihat gusar mendapati nada suaraku yang meninggi.

"Pelacur mendapat kompensasi atas pelayanan yang dia berikan. Pelakor setidaknya bisa hidup dengan orang yang ia rebut. Pelarian? Hanya punya arti saat yang bersangkutan butuh tempat pelarian. Sesaat dan menyakitkan. Ketika sudah mendapatkan apa yang diinginkan, jangankan perhatian, kebersamaan hanya punya arti jika ia mendapatkan apa yang dibutuhkan."

"Kamu jadi geram gitu sih. Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Kamu tahu aku sudah memangkas semua keinginanku yang aneh-aneh. Aku mau hidup normal seperti kebanyakan perempuan di muka bumi ini."

"Tapi pekerjaanmu nggak normal. Aku tahu ini saat rekanku di kantor menunjukkan fotomu kepadaku. Dia tahu apa yang kamu kerjakan sekarang? Berapa lama kamu akan menyimpan peran ganda ini. Kamu harus didampingi seseorang yang tepat untuk bisa melalui semua ini. Aku menawarkan diri," ujarmu dengan nada percaya diri. Terlalu percaya diri malah. 

"Buat?" 

"Menjadi pendamping sisi nggak normal dari hidupmu. Kamu bisa bercerita apa saja padaku. Aku jamin tidak akan ada setetes rahasia yang akan bocor dari pori-poriku sekalipun."

"Pekerjaan yang sedang kujalani itu cuma rumor. Yang kulakukan sekarang masih sama seperti dulu, riset menulis, mengajukan proposal penelitian, kadang-kadang mengajar, dan bepergian ke beberapa tempat. 

Bre tersenyum sinis. "Kupikir, orang seperti Leo tidak akan menyia-nyiakan bakatmu begitu saja. Makanya aku percaya dengan rumor itu. Sekali lagi, aku pernah mengenal baik dirimu. Bakat seperti itu, saat tidak kau gunakan, akan mengubahmu jadi seperti macan yang tinggal di kebun binatang. Tidak lagi memiliki gairah untuk menerkam kehidupan. Kamu terbiasa berburu, bukan disiapkan makanan."

"Seandainya aku memang mau menerimamu. Aku tetap tidak bisa, Bre. Aku sudah memiliki batasan-batasan yang aku buat sendiri. Jika orang lain yang menempatkan batasan, aku mungkin saja dengan mudah melanggarnya, tapi batasan yang kubuat sendiri, rasanya tidak."

"Aku sedang tidak menawarkan diri untuk membuatmu jadi tempat pelarian dari apa pun, Bi. Aku menawarkan diri untuk menjadi rekanmu. Kita berada di satu kubu yang sama. Segalanya akan lebih mudah. Aku akan memberi kemudahan-kemudahan yang kamu butuhkan. Sebaliknya, semua yang....,"

"Tidak," aku tidak paham arah pembicaraanmu, Bre. Kita sudahi saja pertemuan ini." Aku berbalik untuk menuruni tangga. 

"Kamu akan menyesal," katanya sambil menjatuhkan tas ransel yang menyampir di pundaknya. Suara berdebum, membuatku berbalik.

"Aku harus memberimu ini," kata Bre sambil mengulurkan bungkusan berwarna coklat yang tampak seperti sebuah amplop tebal.

Sebelum kamu menutup semua tawaranku, bukalah bungkusan ini."

"Apa itu?" tanyaku gusar. Kulirik arloji yang kukenakan. Percakapan ini sudah berlangsung hampir dua puluh menit, dan belum ada informasi penting yang keluar dari mulut Bre. Mungkinkah informasi ada di dalam bungkusan itu? 

"Bukti bahwa kamu tidak bersama rekan kerja yang tepat," jawabnya ringan.

"Bre, aku nggak suka main-main. Apa ini? Jelaskan saja. Aku tidak akan membukanya, sebelum kamu menjelaskan kepadaku kenapa kau jauh-jauh datang menemuiku setelah bertahun-tahun," pancingku. Yang kubutuhkan adalah bukti percakapan. Aku garis mendesaknya agar mengungkapkan tujuan sebenarnya ia menemuiku. 

"Yakin tidak ingin membukanya?" tatapannya berusaha meyakinkan bahwa bungkusan itulah yang kucari.

"Tidak akan." Aku harus memimpin permainan. Butuh waktu lima menit bagi tim untuk sampai di lokasi. Aku memasukkan tanganku ke saku blazer. Mencoba menekan sebuah tombol kecil. 

"Baikah. Maka akan kukatakan kalau kamu adalah gadis korek api. Kamu membakar hidupmu sendiri untuk menjadi penerang bagi orang lain yang kau anggap kawan."

Aku tidak suka cerita gadis korek api ini. Kata-katanya membuatku resah. Tapi aku tetap tidak ingin membuka bungkusan itu. 

"Ini penting untuk menentukan langkah hidupmu ke dapan. Ada atau tidak ada aku, suatu saat kau akan tahu apa yang ada di dalam amplop coklat ini. Kurasa kau lebih baik mengintipnya sedikit, lalu membatalkan misi yang saat ini sedang kaujalani dengan membuang GPS dan alat perekam suara itu ke selokan. Ia menatap tajam saku blazerku. 

Aku terhenyak. Ia tahu. Beberapa saat aku berusaha menutupi kekagetanku. "Lalu?"

"Pergilah denganku. Akan kujelaskan kenapa kau berdiri di pihak yang salah, Bi. Berapa sisa waktu yang kamu miliki? Kau sudah mematikan alat perekamnya bukan?"

Sudah. Tentu saja sudah. "Entahlah, aku tidak yakin kau ikut bagian dari semua ini?"

Aku mulai kehilangan kendali. Logika, Bias. Ingat mainkan logika jangan gunakan perasaanmu lagi.

"Aku sengaja membuat diriku hadir lagi, Bi. Aku sengaja membuat akun Instagram dan mengunggah foto-foto buku yang kausukai untuk memancingmu keluar. Aku tahu kau pasti akan mengomentarinya. Percakapan akan dimulai dari itu. Ketika ditugaskan untuk mencarimu, aku mengalami kesulitan. Tetapi aku yakin hari ini akan tiba.

Bergabunglah denganku, Bi. Kau lebih dari sekadar kembang api. Mereka sengaja membakarmu untuk menarik perhatian. Semua dijelaskan dalam dokumen di amplop coklat itu."

Aroma tua yang langu, lembab, dan debu yang terperangkap udara tercium dari dinding Lawang Sewu.

Aku mengaduk-aduk otakku, mencoba mengumpulkan kepingan puzzle yang tak berpasangan. Empat menit. Waktuku cuma empat menit untuk menyusun kepingan dan membuat keputusan.



Denah Lawang Sewu tergambar jelas di depan mataku. Seperti peta hologram yang mendadak muncul. Ada tiga jalan keluar yang bisa kupilih untuk membawa Bre keluar dari gedung tua ini tanpa ada keributan.

Aku akan membawanya ke tempat yang aman untuk memastikan posisinya terlebih dahulu. Tetapi itu berarti aku menyia-nyiakan lima tahun membangun skenario untuk memancingnya memberikan informasi yang dibutuhkan Leo. Dan bisa jadi amplop coklat tebal itu berisi semua hal yang Leo butuhkan.

"Ikut denganku," pekikku menarik tangan Bre menuruni tangga.

Pastikan semua yang kau katakan tadi benar, atau kau akan ikut terbakar bersamaku."

Sambil berlari menyusuri koridor Lawang Sewu, aku menemukan satu lagi pasangan dari kepingan puzzle yang hilang. Kini, aku tahu siapa yang seharusnya dibakar untuk menarik perhatian orang yang membiayai organisasi yang dipimpin Leo.

Bersambung.















7 comments:

  1. Aduduuu...aku hampir pingsan karena.penasaran iniii..haha.. Mba, pintar sekali kau merangkai kisah.. Jempol deh..

    ReplyDelete
  2. Agak bingung memahaminya. Tapi kepo dengan bre ini. Lha kok ujunge bersambung. Makin geregetan....nih leponya

    ReplyDelete
  3. Aduhduuuh Nia bikin penasaran, lanjutkaaaan
    Gemes sama Bre, tapi juga kepo apa sih niatnya pada Bi, hihiihii

    ReplyDelete
  4. O..o..kok jadi inget dengan suasana saat kuliah di sastra dulu..aroma idealis, oportunis dan juga is..is..yang lain jadi penasaran

    ReplyDelete
  5. Lanjutannya manaa, bikin penasaran deh..

    ReplyDelete
  6. Menunggu kelanjutannya. Kayaknya bakalan seru nih, haha

    ReplyDelete

Powered by Blogger.