Menuju Rumah Bebas Sampah Plastik

Menuju Rumah Bebas Sampah Plastik

Sebenarnya kesadaran untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dan meminimalkan sampah keluarga sudah tumbuh sejak kami masih tinggal di Bandung. Kala itu, Bandung sempat mengalami permasalahan krisis sampah yang parah. Sampah rumah tangga tidak tertampung di TPA dan dibiarkan teronggok di pinggir jalan. Tidak terkecuali sampah dari rumah kami yang harus menunggu berminggu-minggu untuk hilang dari pandangan. Dulu kami berpikir masalah sampah hanya soal 'yang penting keluar dari rumah dan hilang dari pandangan'. Untuk bisa bertransformasi menuju keluarga bebas sampah plastik, jalannya panjang.

Belajar Dari Pengalaman Mengolah Sampah. 


Beda dengan di tempat tinggal kami, di rumah orangtua saya di Kabupaten Bandung Barat, warga kompleks memiliki inisiatif untuk mengelola sampah sendiri.

Selain ada petugas yang digaji warga melalui iuran, untuk mengambil sampah di masing-masing rumah, ada tempat pengolahan sampah tersendiri.

Di sana, sampah dipilah, sebagian dibakar, dikompos, dan didaur-ulang. Prosesnya memang belum ideal karena sampah plastik kadang juga masih dibakar hingga mengakibatkan polusi, namun setidaknya sudah ada sebuah solusi untuk mengelola sampah warga.

Untuk bisa menerapkan hal itu di area tempat kami tinggal, tidak mudah, butuh kerjasama dan juga inisiator. Akhirnya, kami pun mulai merenung, dan berpikir untuk memulai dari kami sendiri dulu.

Membayangkan jika sampah milik kita tidak ada yang mengurus, lama-kelamaan rumah pasti akan terkubur sampah kita sendiri. Jadi ironis juga, kita yang menghasilkan sampah sendiri, tapi menuntut orang lain membereskan sampah kita. 

Sejak itu, kami berupaya untuk hati-hati dalam mengkonsumsi apa pun, agar minim sampah yang harus dibuang.

Mikroorganisme lokal dari tape singkong dan gula yang difermentasi, gunanya untuk membantu proses pengomposan sampah organik.
Mikroorganisme lokal dari tape singkong dan gula yang difermentasi, gunanya untuk membantu proses pengomposan sampah organik. 


Kami menggali lubang di halaman untuk membuang sampah organik, kami belajar membuat mikroorganisme lokal untuk membantu mengurai sampah organik.

Kami juga memanfaatkan kulit buah-buahan, seperti jeruk dan nenas untuk diolah menjadi cairan pengepel lantai, atau bahan tambahan untuk pupuk organik cair.



Sementara untuk sampah anorganik, seperti botol plastik, bekas bungkus makanan kami simpan di karung plastik, setiap penuh kami bawa ke pengepul.

Akhirnya di 2013 ketika kami mulai kembali ke Kota Semarang, kebiasaan itu tidak sepenuhnya ditinggalkan. Di Semarang, permasalahan sampah memang tidak terlalu terlihat, namun bukan berarti tidak ada. Saat pergi ke area pesisir seperti Pantai Maron, tumpukan sampah plastik di bibir pantai menjadi bukti bahwa sampah tetap menjadi masalah. Tidak terlihat mata bukan berarti tidak ada masalah sampah.

Itu mungkin hanya sebagian masalah yang berada di radar kita. Sementara permasalahan sampah plastik di Indonesia sebetulnya sudah sangat gawat.

Ini beberapa fakta tentang sampah plastik di Indonesia : 






fakta tentang sampah plastik di Indonesia

Jumlah polusi laut atas sampah plastik


Menuju Rumah Bebas Sampah Plastik Bisakah? 

Sejak awal kami selalu berupaya mempertahankan kebiasaan lama, meski sampah rumah tangga sudah ada yang mengurus. Namun, kami berusaha meminimalkan pengeluaran sampah di rumah.

Zero waste bagi kami bukan berarti mengganti semua perabotan plastik dengan yang kaca, atau benar-benar tidak menghasilkan sampah, tetapi berupaya agar menyadari fungsi akhir sebuah benda dan kebermanfaatannya.

Tentu yang kami lakukan masih jauh dari ideal. Kalau diberi skala, masih di poin 4 dari 10. Akan tetapi sejak awal menempati rumah di Semarang, sudah diniatkan agar bisa menjadi rumah yang ramah lingkungan.

Saat proses renovasi rumah, suami merancang rumah tumbuh yang merespon lingkungan tropis, dan sebisa mungkin ramah lingkungan.

Baca juga : Rumah Kampung Ramah Lingkungan 

Diawali dengan mengurangi area perkerasan, dengan memugar sebagian besar bangunan dan menjadikannya taman. Taman dibiarkan tanpa paving agar dapat menjadi area resapan air hujan.

Pohon mangga hadiah dari Bapak Mertua yang sudah panen dua kali. 

Kami menanam Ketapang Kencana sejak Si Sulung masih bayi, sekarang pohonnya membuat rumah lebih teduh

Kami kemudian menanam dua pohon, sebagai konsekuensi memiliki dua orang anak. Bapak mertua menambahkan satu pohon lagi sebagai hadiah ulang tahun, yang kemudian secara nggak sengaja jadi pohon simbolis untuk anak ketiga.

Sejak memiliki pengalaman sampah yang menumpuk kala tinggal di Bandung, kami berusaha untuk menerapkan pola hidup minimalis menuju zero waste.

Yang sudah kami lakukan untuk menuju rumah bebas sampah plastik :



1. Membawa kantong non plastik saat berbelanja. Kebiasaan ini makin diperkuat dengan kebijakan tidak disediakannya kantong plastik di supermarket.

Setiap tanggal 3 Juli diperingati sebagai Hari Bebas Kantong Plastik Sedunia atau International Plastic Bag Free Day
Setiap tanggal 3 Juli diperingati sebagai Hari Bebas Kantong Plastik Sedunia atau International Plastic Bag Free Day


2. Membawa wadah sendiri untuk tempat belanja ikan, ayam, dan buah-buahan.



3. Membawa tempat bekal dan botol minum sendiri. Tidak memakai sedotan plastik.



4. Memanfaatkan sampah plastik atau botol bekas untuk hal lain sehingga masa pakainya lebih panjang dan tidak langsung dibuang.


5. Mengolah sampah organik sendiri dan menjadikannya pupuk.



6. Menyetorkan sampah plastik ke bank sampah atau pengepul.

Itu tadi enam hal yang sudah kami upayakan untuk mengurangi sampah, terutama plastik dan menjaga lingkungan. Kalau teman-teman, apa yang sudah kalian lakukan?

2 comments:

  1. emang adem sik mba halaman depan itu, kebayang nyore di sana di bawah pohon itu ada meja kursi buat nyeduh kopi susu sambil lapotopan ngerjain DL tulisan hiihii

    Rumah asri bebas sampah apalagi sampah plastik

    ReplyDelete
  2. artikelnya keren mbak, emang semua itu harus dari lingkungan terkecil yaitu rumah

    ReplyDelete

Powered by Blogger.