Negative Side Effect of Lebaran in Indonesia
Heyho, gimana lebarannya? Ngga me-lebar, kan? Senin udah berlalu, THR juga udah makin menipis, wkwkw, tapi kok semangat kerja belum keliatan hilalnya, yah. Masih pengin rebahan aja gitu kayak kemarin-kemarin; jadi penonton orang-orang yang mudik, scrolling foto-foto orang bareng keluarganya, lihat orang-orang pada silaturahmi ramean, bahkan ada yang reunian. Eh, ini beneran masih situasi pandemik dan kemarin itu nggak boleh mudik, kan? Terus kalau nonton TV, tempat wisata juga umpel-umpelan gitu lho. Terus nanti kalau abis lebaran kasusnya naik lagi piye? Terus kita ngulang lagi tahapan kayak di awal-awal pandemi gitu? Gitu aja terus sampe anak-anak lulus sekolah. Amit-amit. Negative Side Effect of Lebaran in Indonesia.
Semoga nggak salah bangun nih? Beneran masih tahun 2021 kan? Belum 2022. Meskipun yah, kata beberapa ahli sih, pandemi ini kemungkinan akan berlangsung, like forever. Apalagi kalau ingin mencapai yang namanya herd immunity.
Well, mari lupakan sejenak kalau sedang hidup di tengah pandemi, karena dulu ada yang pernah mengalami yang lebih ngenes lagi.
Buat yang lahir di tahun 1900-an. Pas umur 14 tahun, perang dunia dimulai tahun 1914 dan baru udahan saat usianya 18 tahun. Itu juga korbannya udah 22 juta jiwa. Eh baru aja umur 18 tahun, di 1918 itu pas ada wabah flu Spanyol, yang menewaskan 50 juta jiwa, dan baru berakhir saat usia mereka 20 tahun. Ya Allah.
Well, moral of the story. Kita mesti nyiapin mental anak-anak kita saat ini untuk bisa menghadapi masa depan yang makin nggak pasti. Vuca world.
Tapi sebelum itu, mari mengingat-ingat tahun terbaik lebaran yang pernah kalian alami. Kapan?
Apakah di masa kecil, ketika pulang mudik dompet jadi tebal oleh THR? Ataukah justru saat ini?
Siapa yang merasa bahagia dengan kondisi dilarang mudik? Nggak perlu mempersiapkan mental sekaligus jawaban untuk daftar pertanyaan wajib yang dilontarkan kala kumpul keluarga.
Udah punya pacar? Kapan nikah? Kok belum hamil? Kok nggak nambah anak lagi? Kasih anak cewek dong, biar lengkap. Kerja dimana sekarang? Kamu kerja apa, kok main hape terus? Jangan-jangan ngepet. Gajimu cukup? Anakmu kok kecil? Yang becus dong, ngurus anak. Sekolah dimana? Kok milih negeri? (Tambahin sendiri lah ya)
Saya yakin, ada kelompok yang diam-diam bahagia dengan larangan mudik ini. Udah ngaku aja, hihihi. I feel you kok.
Lebaran kali ini, seenggaknya bisa lebih banyak merenungi beberapa hal.
Biasanya ketika puasa hampir berakhir, udah mulai overwhelmed sama : nanti masak apa aja, beli baju baru, mudik gimana, siapin angpao buat siapa saja, dsb.
Sampai kadang lupa buat menghisab diri sendiri; eh puasa gw kemarin itu, cuma nahan hawa nafsu makan-minum doang, apa gimana?
Dengan larangan mudik. Lebaran kali ini bisa lebih kerasa slow living-nya. Lebih intim sama keluarga intinya. Lebih sederhana.
Saya nggak mengecilkan arti silaturahmi, justru kalau keadaan normal, pengin banget deh ketemu ortu dan keluarga lainnya.
Tapi kadang niat baik menjenguk ortu atau sanak saudara, suka ada negative side effect-nya.
Penyakit yang nggak sembuh-sembuh dari dulu sampai sekarang, dan bisa jadi diderita oleh banyak orang di negara ber-flower ini. Antara lain :
1. Dibanding-bandingkan secara langsung maupun belok-belok dulu. Secara sengaja maupun nggak.
2. Penilaian sukses dari orang lain seringnya lebih dilihat dari hal-hal materiil doang.
3. Pertanyaan-pertanyaan basa-basi yang diulang dan beruntun tiap tahunnya.
Mungkin ada lebih dari tiga penyakit lainnya, coba ditambahi sendiri lah ya.
Tapi dari penyakit-penyakit itu, saya belajar :
1. InsyaAllah bakal belajar untuk nggak banding-bandingin anak, yang satu dengan yang lain. Apalagi sama anaknya saudara atau tetangga.
Karena, coba bayangin kalau gantian anak melakukan hal yang sama kepada kita sebagai ortunya : dibanding-bandingkan dengan orangtua lainnya!
Duh, itu mamah-papahnya Si A tuh sabar banget, rajin banget nemenin anak-anaknya main, sabar banget kalau ngajarin belajar.
Coba Aybun, siap nggak kalau gantian dibanding-bandingkan sama ortu lain oleh anak?
Bukan cuma ortu yang tahu sesuatu hal yang lebih baik. Anak juga lho.
Udahlah, kita ini jadi ortu juga nggak sempurna kan, nggak perlu kasih beban anak dengan bandingin sama anak orang lain.
Itu namanya toxic parents, Aybun.
Kasian anak-anak kita, dia pasti juga berupaya jadi yang terbaik untuk ortunya, dengan versi dan kemampuan mereka. Tapi masih saja dibandingkan dengan orang lain.
2. Yuklah, belajar menghargai hal-hal non materiil dari seseorang. Misalnya, perilakunya yang sopan, on time, ramah dan murah senyum.
Berlatihlah melihat orang nggak cuma dari apa yang dikenakan, atau barang-barangnya, nanti lama-lama terbiasa jadi lebih pintar menilai orang dan nggak tertipu sama penampilan luar.
Lama-lama akan lebih bisa menghargai kualitas non materiil seseorang.
3. Yuklah belajar bikin pertanyaan yang menyenangkan, membuka obrolan yang lebih membahagiakan kedua belah pihak, bukan yang memojokkan.
Kapan mau move on dari penyakit lama kayak gitu, sih? Udah saatnya menyiapkan anak-anak yang sehat mental dan berkarakter baik.
Hal kayak gini memang belum kerasa di ortu yang anaknya masih kecil-kecil, tapi buat ortu yang anaknya udah masuk ke quarter life crisis, yang udah kuliah akhir, yang lagi cari kerja, dan anak-anak yang newlywed, atau udah berkeluarga, mesti berhati-hati jangan sampe kepleset jadi toxic ke mereka.
Jaga mulut, jaga ucapan ya, Aybun. Jangan sampai niat baik anak-anak pulang mudik buat maaf-maafan, balik dari kampung halaman malah menyimpan rasa sakit hati. Grundel.
Iya, kayak sepele lho, obrolan dan pertanyaan toxic kayak gitu itu, tuh. Tapi ternyata dampaknya bisa nyeremin.
Dahlah, gitu dulu, tulisan pemanasannya. Mohon maaf lahir dan batin yah buat teman-teman pembaca blog, maafkan salah-salah kata, katau hal-hal yang menyinggung kalian. Semoga amal ibadah puasa kita diterima oleh Allah SWT, dan dijadikan momen lebaran ini jadi batu pijakan agar kita jadi pribadi yang lebih baik.
No comments