Cerita PPDB SMAN Jateng 2023

Cerita PPDB SMAN Jateng 2023

Jreng-jreng, setelah melalui pengalaman PPDB SMPN, baru beberapa minggu lalu lepas dari dag-dig- dug-nya mendaftar secara daring untuk jenjang SMA. Supaya ada catatan, mari kita ingat kembali prosesnya dengan menuliskan apa saja yang sudah dialami selama proses PPDB SMAN Jateng, sampai akhirnya bisa diterima di sekolah yang diinginkan.

Saat masih duduk di kelas 2 SMP, saya dan Si Sulung sebenarnya sudah melakukan proses survei dan mencari tahu kelak mau melanjutkan jenjang SMA ke sekolah mana. Selain opsi sekolah negeri, ada beberapa pesantren, sekolah kejuruan, dan sekolah swasta yang sudah kami survei. 

Pilihan mau melanjutkan kemana tentunya nggak semudah saat masih SMP, karena pemilihan ini akan menjadi stepping stone untuk tahap yang lebih lanjut, yaitu tahap universitas. 

Saya nggak ingin, kelak Si Sulung merasa salah jurusan kuliah dan berakhir dengan kuliah hanya untuk mendapatkan gelar. 

Alhamdulillah, saya dan Pak Suami tidak termasuk yang merasa salah ambil jurusan saat kuliah. Namun, pembelajaran yang sama-sama kami rasakan : ada hal-hal terkait minat yang tidak cukup terfasilitasi ketika kami muda dulu, ehm ((muda)). 

Karena tidak ingin mengulang kesalahan yang menurut kami terlambat untuk diperbaiki, maka proses pemilihan sekolah kali ini benar-benar kami obrolkan bersama, seperti yang saya tulis dalam cerita 'Parents as Coach'. 

Dari hasil obrolan dan survei, kami kemudian setuju ketika jenjang yang dipilih adalah sekolah menengah atas negeri, bukan swasta, bukan sekolah menengah kejuruan, dan tidak jadi mondok. 

Kami juga mempertimbangkan core values yang sudah disusun untuk periode 7 tahun ketiga sehingga bisa menjembatani Kakak agar lebih mantap menjalankan visi-misinya, yang tentunya harus selaras dengan visi-misi keluarga. 

Core Values anak di tahap 7 tahun ketiga


Apa saja persiapan yang dilakukan agar bisa tembus PPDB SMAN Jateng 2023 kali ini?

Selain tentunya mempersiapkan sejak awal agar bisa meraih nilai mata pelajaran dengan batas tertentu, yang alhamdulillah dari 7 pelajaran, Kakak bisa mendapatkan poin total nilai 58,58 yang diakumulasi dari nilai rapor kelas 7 semester 1 hingga kelas 9 semester 1.

Awalnya memang kami ingin berikhtiar di jalur prestasi karena itu selain berupaya meraih nilai akademis yang bagus, Kakak juga mengikuti kompetisi basket untuk mendongkrak nilai jika nantinya akan menggunakan jalur prestasi. 

Sayangnya, nilai kejuaraan basket yang didapat hanya menambah poin sebesar 0,25 saja karena bukan kompetisi berjenjang, dan pada saat pendaftaran, di sistem, poin kejuaraan itu juga tidak bisa ditambahkan karena periode kompetisinya belum ada 6 bulan. 

Oke, berarti jalur prestasi tidak bisa dipakai. Belum lagi melihat peserta lainnya yang memiliki poin dari nilai kejuaraan yang tinggi-tinggi, sehingga mendongkrak nilai keseluruhan meski nilai akademisnya kurang lebih sama dengan Kakak.

Tidak berhasilnya menggunakan jalur prestasi menjadi sebuah pembelajaran tersendiri. Kakak sendiri merasa sudah 'membuang' dua tahun masa SMP-nya dengan keterlenaan sistem pembelajaran jarak jauh. 

"Aku merasa kayak nggak ngapa-ngapain, dua tahun itu. Mau ikut kegiatan ekstra juga kayak udah telat, tinggal sisa setahun harus konsen ngejar nilai." katanya saat itu. 

Akhirnya kami memilih jalur zonasi untuk bisa mendaftar di sekolah yang dipilih. 

Hari pertama pembukaan pendaftaran PPDB 2023, kami mempersiapkan berkas-berkas verifikasi di sekolah yang dituju. Berkas-berkas diverifikasi di sekolah tujuan secara langsung ya, bukan online. Yang dibawa tentu saja rapot, surat kelulusan, akta kelahiran dan kartu kelurga asli. 

Jika tahap verifikasi sudah selesai dan semua sudah sesuai secara administratif, maka calon peserta didik akan mendapatkan token yang dapat digunakan untuk verifikasi akun pendaftaran yang sudah dibuat secara daring. 

Setelah itu, peserta bisa memasukkan nomer induk siswa, nilai, dan kelengkapan lainnya secara daring. 

Nah, di sinilah kecemasan demi kecemasan dimulai. 

Waktu memasukkan data awal, nama Kakak berada di urutan 107 dari total sekitar 300 kuota peserta. Selama 3 hari namanya masih bertahan di sekolah pilihan pertama, dan tepat di hari ketiga juga, namanya terdepak hampir di urutan ketiga dari bawah. Sebenarnya saat itu masih ada dua orang d bawah Kakak dengan jarak rumah yang lebih jauh. Tapi tidak lama kemudian, namanya hilang dari daftar. 

Posisi kami memang sedang nggak di rumah, karena sehabis verifikasi data ke sekolah kami sekeluarga sedang keluar kota. Berusaha nggak panik, karena sudah ada backing-up plan, yaitu sekolah pilihan kedua. Kami langsung mencabut berkas pendaftaran di sekolah A dan pindah ke sekolah B. Hasilnya posisi Kakak menjadi relatif lebih aman. 

Namun mules belum berakhir karena dari posisi tersebut kami harus menunggu sekitar 12 jam untuk memastikan posisi Kakak benar-benar aman. 

Sepanjang perjalanan, kami bolak-balik mengecek ponsel dan melihat situs PPDB untuk melihat apakah ada perubahan posisi. Alhamdulillah tidak ada penurunan posisi yang berarti, artinya InsyaAllah sampai jam ditutupnya pendaftaran posisi Kakak masih aman. 

Ketika akhirnya pendaftaran ditutup, alhamdulillah, sakit-sakit perutnya mereda juga. Kami berdoa yang terbaik, dan yakin sekolah inilah yang dipilihkan Allah untuk menjadi stepping stone Kakak ke tahap berikutnya. 

Hmmm, sejujurnya kalau mau menyoroti banyak hal kurang menyenangkan dari sistem zonasi ini sih, banyak. Contohnya fenomena pindah Kartu Keluarga agar jarak rumah dan sekolah lebih dekat, dan fenomena 'titip kursi' lainnya. Tapi malaslah, bahasnya, menguras energi juga. 

Saya bilang sama Kakak, kita mulai dengan cara yang lebih berkah dengan tidak mencederai hak orang lain ya. Karena di momen-momen akhir pendaftaran itu, bisa saja Kakak kembali mendaftar ke sekolah asal dan mendepak tiga atau dua peserta di bawahnya karena jarak rumah kami lebih dekat. 

"Tapi, nggak lah, kasian tiga orang itu, kalau mendadak kita pindah, dan mereka di last minute terdepak lalu nggak bisa daftar ke sekolah pilihan lainnya karena waktu yang sudah mepet, mereka pasti bingung cari sekolah."

Lalu kami sama-sama tersenyum ketika selesai mendengarkan khutbah Idul Adha yang mengatakan hal yang senada dengan apa yang kami alami sehari sebelumnya : jangan sampai pengorbanan kita adalah dengan mengorbankan hak-hak orang lain. 

Setelah dipikirkan matang-matang, toh masa SMA selama tiga tahun ini bakal jadi batu loncatan ke tahap selanjutnya, dan perjuangan belum selesai sampai di sini saja. Masih panjang. 

Perjalanan mendampingi anak2


Peer Kakak dan kami masih panjang, Bismillah semoga dilancarkan ya Kak, dan masa-masa SMA jadi masa paling mengesankan, penuh kebaikan, berkah dari arah, dan InsyaAllah bertabur kesempatan baik lainnya. 





No comments

Powered by Blogger.