Untukmu Yang Sedang Berduka Perihal Kehilangan Orangtua

Untukmu Yang Sedang Berduka Perihal Kehilangan Orangtua



Untukmu yang sedang berduka perihal kehilangan orangtua, momen ini tidak selalu mudah untuk dilewati. Hampir dipastikan kita tidak pernah berlatih untuk mahir menghadapi situasi ini. 

Meskipun dalam perjalanan hidup mungkin kita sebelumnya sudah pernah mengalami momen kehilangan, namun ketika harus berhadapan lagi dengan situasi tersebut, respon diri akan berbeda tergantung derajat kehilangan yang dirasakan, tingkat kesedihan, dan seberapa dekat atau seberapa berpengaruh orang tersebut bagi kehidupan kita. 

Jika saat ini kamu sedang sangat berduka, hingga membuat sebagian sisi dirimu__semangat, keceriaan, antusiasme__hilang, kalian mungkin membaca tulisan yang tepat. 

Saya menamai momen seperti itu sebagai 'losing sparks'. Tulisan ini tentang bagaimana memaknai kembali rasa duka agar tidak terus memadamkan nyala hidup.

Izinkan saya bercerita sedikit tentang momen kehilangan itu.

Saya mulai menyadari sedang masuk ke momen 'losing sparks' justru ketika sudah berada di fase acceptance dari momen berduka. 

Jum'at 3 Januari 2025 lalu, saya kehilangan Papah. Sosok yang tidak pernah terlintas di pikiran saya akan pergi secepat itu, di usianya yang 69 tahun. 

Beliau adalah sosok yang aktif, an outdoor person, suka olahraga, pola makannya standar bukan yang sehat banget tapi tetap menjaga asupan, dan jarang sekali mengeluh sakit. Tekanan darahnya normal, tidak punya gangguan di kadar gula darah maupun kolesterol, jantungnya pun sehat. Saya selalu menyebutnya Bapak-bapak Penjas atau PJOK (Pendidikan Jasmani dan Olahraga).

Sejak akhir September, Papah mengalami penurunan kesehatan yang drastis. Perubahan kondisi fisiknya sangat dramatis, dilihat dari berat badan yang susut, juga pola aktivitas yang berkurang hebat, plus adanya penurunan fungsi kognitif. 

Rasa sedih melihat perubahan drastisnya sudah terasa. Sejak akhir September lalu, baik saya maupun keluarga, sistem syaraf kolektif kami sudah masuk ke "survival mode." Kami terus waspada memantau kondisi Papah. Sambil mendampingi beliau bolak-balik ke hampir 6 rumah sakit sebelum diagnosa ditegakkan. Saya sering bolak-balik pulang ke Bandung, adik saya yang berbeda benua memilih pulang untuk mendampingi Papah. Intinya prioritas kami semua bergeser untuk mendampingi Papah agar sehat kembali seperti sediakala. 

Bicara mengenai rasa sedih. Rasa itu sudah hadir sejak pertengahan September ketika kami melihat berbagai ketidakwajaran yang terjadi pada Papah. Perasaan sedih yang kadang bercampur dengan kecemasan, takut, dan terkadang rasa marah. 

Meski sedih, percampuran emosi-emosi itu masih memberikan saya (dan kami) energi hidup, yang juga mendorong kami berupaya mencari jalan agar Papah sehat kembali. Kami sepakat dengan ranah ikhtiar medis serta menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.

Pada diri sendiri, saya bertanya, apa yang bisa saya lakukan dalam situasi ini, apa solusinya, dan hasil akhir apa yang saya harapkan. Bersama dengan keluarga kami berupaya menjalani berbagai situasi, memilih berbagai upaya yang menghasilkan solusi dan perubahan ke arah yang baik. 

Awalnya kami teguh dengan bayangan hasil akhir yang diharapkan : Papah kembali sehat seperti sediakala. Bagaimana pun kami akan mendampingi prosesnya meski berat. Kami yakin jika dihadapi bersama-sama, momen badai ini akan kami lalui. Dan hari-hari akan bersama Papah akan kembali seperti sediakala.

Sampai akhirnya pada akhir November diagnosa penyakitnya makin mengerucut. Setelah berganti beberapa dokter, kami memilih satu dokter syaraf senior yang cukup terkemuka di Bandung untuk menegakkan diagnosa akhir. Pada akhirnya diagnosa beliau yang membuat kami sekeluarga mendapatkan kejelasan badai ini akan berakhir seperti apa. Kami ambruk bersama-sama, tetapi berusaha bangun untuk sekaligus menata diri dan energi agar mampu saling menguatkan.

Meski sadar bahwa hari-hari selanjutnya adalah hari dimana kami semestinya belajar untuk melepaskan Papah, namun secara zahirnya saya sendiri justru menolak situasi ini dengan tetap berpegang pada hasil akhir yang menurut kami menggembirakan. 

Ranah kami ikhtiar bukan? Kalau Allah berkehendak Papah sehat kembali. Semua akan dengan mudah Allah kembalikan seperti semula. Tugas kami ikhtiar, dan berdoa terus untuk menawar takdir yang mungkin sudah ditetapkan. 

Percakapan dengan diri batin dan zahir berlangsung setiap harinya. Bagaimana jika misi hidup Papah memang sudah selesai, dan ia sedang menjalankan misi terakhirnya bersama kami anak-anaknya? 

Bagaimana jika ini saat-saat terakhir kami bersamanya? Bagaimana jika akhirnya tidak menggembirakan? Tapi jika menggembirakan, dari sudut pandang siapa?

Untuk kami, menggembirakan adalah bisa melihat Papah kembali seperti dulu. Di masa pensiunnya beliau aktif di masjid, mengajar ngaji orang dewasa, bersih-bersih masjid, olahraga bersama Mama, dan aktif kegiatan di kompleks bersama sahabat-sahabatnya. 

Untuk kami, menggembirakan adalah melihat sosoknya yang selalu ada buat kami, caranya mengekspresikan kasih sayang dengan act of service-nya, senyum dan tawanya, cerita-ceritanya, nasehatnya. 

Sosoknya sebagai seorang ayah, dan opa bagi cucu-cucunya dengan segala kekhasan beliau yang tidak mungkin tergantikan. Saya selalu merasa Papah masih akan hidup sampai melihat cicitnya. 

Tapi sekali lagi, membahagiakan untuk siapa? 

Bagaimana jika misi Papah di dunia sudah selesai dan hal yang paling membahagiakan untuknya adalah berpulang untuk bertemu PenciptaNya? 

Namun melihat sosoknya, yang meski terbaring di tempat tidur, masih begitu kuat, padahal sempat menjalani operasi pembedahan tengkorak kepala, meski berbagai hal menerjangnya, saya selalu optimis, Papah masih bisa melewati berbagai ikhtiar untuk sembuh. 

Dokter mengatakan ini jalan menuju akhir, setiap hari harus melawan 11% penurunan. Jika Papah kuat melewati operasi maka kita lihat selanjutnya seperti apa. Hari operasi tiba, dan setelahnya, saya masih merasakan energi kehidupan di ruas-ruas jarinya. Jarinya masih menggenggam tangan saya dengan erat. 

Kami sekeluarga mengatur energi agar kami tidak ikut tumbang selama mendampingi Papah di ruang isolasi. Banyak bantuan yang hadir yang membuat kami mendapatkan amunisi energi setiap harinya. Sebagai penyeimbang, kami berupaya merayakan kebahagiaan apa pun sekecil mungkin. 

Sampai akhirnya Papah bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap normal kembali. Di titik ini, kami kembali yakin, Papah kuat, dan Allah akan membantu kesembuhan Papah. 

Meski kondisi syaraf kami dalam keadaan survival, namun kami mencoba selalu mencari cara agar punya energi baru setiap harinya untuk bergantian mendampingi Papah. Kami sadar harus tetap makan enak, olahraga dan bergerak, bahkan meluangkan waktu untuk setidaknya tidur dengan nyenyak beberapa jam setiap harinya. 

Kami yakin ini adalah lari maraton jarak jauh, dan kami harus estafet energi agar bisa terus mendampingi Papah. Kami sekeluarga bergantian peran, tetap berusaha menjalankan peran dalam pekerjaan masing-masing, dan saling membantu untuk menjaga Mama, yang kesehatannya saat itu juga kurang baik, plus menjaga dua balita dalam keluarga. 

Sumberdaya manusia di rumah, hanya kami bertiga anak perempuan, dua anak mantu laki-laki ( yang datang dan pulang kembali karena harus bekerja) Pak supir kami yang setiap pagi mengantar kami ke rumah sakit dan menjemput pulang untuk shift berjaga malam, dan bibik yang juga sudah cukup sibuk dengan urusan domestik menggantikan Mama yang juga dalam kondisi kurang sehat. 

Kondisi survival itu berjalan kurang lebih tiga bulan. Setiap hari rasa sedih hadir, kadang bercampur tangis dan cemas, kadang rasa takut yang intens, kesal, dan lelah, kadang kami tertawa terlalu keras untuk menutupi rasa sedih yang kerap merayap saat membayangkan akhir yang menyedihkan. 

Apakah kami siap? Tidak pernah ada kata bersiap karena setiap hari punya kejutan. Setiap hari selalu ada prompt baru yang kami unduh, lakukan ini, putuskan ini, tanda-tangan ini-itu. 

Sampai hadir hari dimana Papah dinyatakan 'boleh pulang.' 

Keputusan dokter ini bagi kami seperti anti klimaks, karena kami harus membawa Papah kami pulang dalam keadaan belum membawa hasil biopsi dan rencana tidak lanjut berikutnya. Salah satu dokter yang menangani hanya mengatakan, jika di rumah Papah akan lebih banyak berinteraksi, dan ini membantu proses penyembuhan. 

Meski masih harus makan-minum dengan NGT dan menggunakan kateter, kami membawa Papah pulang. Ada baiknya juga, karena cucu-cucu yang sebelumnya tidak bisa melihat Papah secara langsung saat di RS jadi bisa melihat kondisi Papah. 

Kami merasakan sedikit cahaya kebahagiaan karena ketika dirawat di rumah, kami bisa lebih dekat dengan Papah. Kami pun berbagi tugas. Saya bertugas menyiapkan makanan cair dan obat yang harus diberikan setiap harinya. Kami saling membantu untuk memandikan dan mengganti pakaiannya. 

Karena tidak lagi harus bolak-balik ke rumah sakit, aktivitas kami jadi lebih lentur dan leluasa. Harapan-harapan bermekaran. Semua terasa jauh lebih mudah ketika Papah kembali ke rumah. 

Emosi yang dirasakan masih sama. Plus ada sedikit harapan yang menumbuhkan keberanian untuk melihat hari esok yang lebih terang. 

Meski kami hidup dengan harapan itu, namun ada juga rasa takut yang terus hadir saat melihat kondisi Papah yang sebenarnya tidak membaik, justru mengalami penurunan.

Kami mulai masuk dalam kondisi robotik. Tugas-tugas mulai dijalankan dengan autopilot. Perasaan-perasaan ditekan sampai tahap numb. Tidak bisa benar-benar merasa sedih, tapi tidak bisa benar-benar merasakan emosi lainnya.

Saya sadar nggak boleh berada di kondisi emosi seperti ini terlalu lama. Tapi semua berjalan begitu saja, seolah ada tombol switch otomatis di otak yang membuat mekanisme pertahanan diri untuk mematikan kontinum emosi yang lain. 

Saya jadi ingat, sebuah penelitian.

dr brene brown


Kami masuk di kondisi menekan emosi dalam-dalam. Tidak tahu lagi kondisi ini akan bermuara ke mana. Tidak mau pasrah dan melepaskan tapi juga tidak kuat lagi melihat Papah dalam keadaan yang terus memburuk. 

Kemudian Mama mulai mengatakan bahwa beliau sudah ikhlas dengan apapun takdir dari Allah. Mama sudah siap jika harus melepas Papah kembali pulang ke pemilikNya. 

Saya ingat hari itu, hanya saya yang belum mau mengucapkan perpisahan. Mama, Suami saya, adik-adik, dan beberapa cucu mengelilingi tempat tidur Papah. 

Sore itu semburat cahaya masuk dari jendela kamar Papah dan membuat ruangan tampak magis. Saya masuk sebentar ke kamar dan keluar kembali karena belum ingin mengucapkan kata perpisahan. 

Saya mendengar Mama meminta maaf kepada Papah, dan berkata bahwa ia sudah ikhlas kalau Papah pergi. Mama bilang jangan khawatir Pah, jangan terus bertahan untuk kita kalau Papah udah nggak kuat. Kami udah ikhlas Pah. 

Mendengar itu, saya memasak lebih banyak stok makanan cair dan membekukannya. Saya menyiapkan stock makanan sampai pertengahan bulan Januari. Saya pergi ke beberapa apotek untuk mencarikan obat penghilang sakit yang sudah habis diresepkan. Saya terus berupaya agar Papah tetap dalam kondisi nyaman sampai luka operasinya membaik dan bisa menjalani kemoterapi atau apapun nanti yang disarankan dokter. 

Ada rasa marah pada dokter yang menyuruh pulang, namun tidak meresepkan obat penghilang sakit yang cukup sampai hari kontrol tiba. Kami juga sudah mengontak ambulan jika nanti saat kontrol tiba, agar memudahkan membawa Papah yang hanya bisa terbaring di tempat tidur. 

Kami yakin hari kontrol akan tiba, luka di kepala Papah akan membaik, dan proses kemo akan berjalan. Papah akan kembali sehat seperti sediakala. 

Kemudian karena pekerjaan saya harus kembali ke Semarang selama beberapa hari. Saya beranikan diri menyelesaikan pekerjaan ini dan meninggalkan Papah karena melihat kondisinya ada perbaikan meski tidak signifikan. 

Pah, tunggu Mba Na pulang lagi ya, Pah. Saya peluk ia dalam tidurnya dan menggenggam tangannya erat-erat. Papah kuat dan pasti bisa melewati semua ini. Nanti Mba Na temenin berjuang lagi ya. 

Ada tetes air mata kecil dari luapan ombak besar di dada yang rasanya hendak menyembur keluar tapi saya tahan. 

Belum saatnya. Kita masih harus berjuang, saya menepuk dada melakukan butterfly hug ringan untuk diri yang masih terus di alam kesadaran peperangan. 

Zahir dan batin bertarung. Tapi dunia batin mengemuka lewat bunga tidur menyampaikan pesan untuk segera belajar melepaskan. Lepas, pasrah, semua akan dicukupkan sebaik-baiknya untuk semua orang dan di waktu yang baik untuk setiap insan. 

Yang terbaik untuk Papah tidak selalu yang menurut zahir kita yang masih hidup baik. 

Yang bahagia bagi mereka yang telah merindukan dan dirindukan kekasihNya adalah secepatnya pulang ke dalam pelukan kekasihNya.

Jadikanlah sebaik-baik hariku adalah saat aku berjumpa denganMu wahai khalik-Ku. 

Ya, di hari yang bagi umat muslim sebagai hari terbaik, yaitu Jumat dan di bulan baik, yaitu Rajab, dengan senyuman khasnya Papah menerima uluran tanganNya untuk pulang, meninggalkan kami dan kembali ke pelukan KhalikNya. 

Bahagiakah kamu ketika orang tersayangmu pulang dengan kondisi yang banyak umat muslim cita-citakan? Diantarkan begitu banyak sahabat hingga masjid pun penuh. Masjid yang selalu menjadi tempat favoritnya dihadiri teman, kerabat, bahkan orang-orang yang biasanya tidak pernah hadir di kegiatan warga. 

"Neng harus bangga sama Papah,  Insyaallah Papah Husnul khatimah, Neng." Begitu banyak kalimat-kalimat baik dari para tetangga. Orang-orang berdatangan, sahabat Papah, rekan kerja, bahkan orang asing yang kami belum pernah temui.

Semua memberikan testimoni yang baik. "Papah kamu dulu ikut bangun masjid di komplek di A di Jakarta, begitu kata seseorang yang mengaku sahabat Papah. Papah kamu dulu yang pontang-panting siapin nikahan saya, kata yang lain. Sahabat terdekatnya bahkan bercerita kalau selama ia bertugas di luar negeri, gajinya dikuasakan ke Papah untuk diserahkan ke keluarganya saat masih bujang dulu. 

Dan banyak lagi kisah tentang Papah. Di setiap sudut tempat yang kami lewati, ada saja orang yang menanyakan kabar Papah, lalu ikut menangis saat sosok Papah kami kabarkan sudah tiada. 

Kadang kami jadi berdebar takut saat keluar rumah. Bahkan marbot masjid mengatakan, satu orang yang pergi tapi suasana kompleks mendadak berubah sepi dan tidak sehidup dulu.

Senyumannya, sosoknya yang selalu aktif, Papah menjadi secercah cahaya di perumahan ini.

Ya, tapi sosok itu tidak lagi ada. Dan rasanya tidak percaya. Pah...Mba Na ikhlas, karena Papah Insya Allah bahagia di sisiNya, tapi Mba Na masih kangen Pah. 

Dan kemudian hari-hari pun masuk ke fase losing sparks'. Just Dunya without you, Pah

Beli kue-kue camilan, baru pilih-pilih ditaruh lagi karena buat siapa, sekarang udah nggak ada Papah yang makan jajanan yang Mba Na beli. Mau beli buah males, mau masak males, just dunya Pah, without you. 

Sudah menerima tapi habis ini mau gimana, Pah. Habis ini harus gimana, Pah. Mau ngerjain kerjaan nggak semangat. Hampir semua hal yang dulunya membuat semangat jadi nggak lagi menarik.

Lalu satu hari saya mencoba duduk diam dengan rasa kehilangan ini. Saya biarkan ia hadir, saya terima, saya dengarkan teriakannya, saya dengarkan tangis dan amarahnya. Sampai suaranya lirih dan hilang.

Perlahan saya mulai mendengar suara lain menggantikan. Saya bisa mendengar suara Papah menarasikan apa yang muncul dari dalam kesadaran. Dengan suara khasnya, ringan, dan senyumnya yang tanpa beban. 

Kamu ya lanjutin hidup yang bener. Masih ada Mas Son, anak-anak, Mamah, ada Kakak sama Adik, jangan bawa kemauan sendiri. Habis ini kan pasti seneng lagi. Papah mah udah seneng di sini, tinggal liat kalian, jangan salah jalan, nanti kita ketemu lagi. Yang akur sekeluarga ya. 

Literally dengan suara dan gaya ngomong Papah, suara itu jelas hadir berbisik di telinga. 

Udah cukup Papah mah, memang gini harus selesainya. Sabar aja apa-apa itu, nanti kalau udah waktunya yang pasti dateng kok apa yang kamu pengin. 

Kalau sedih ya nangis aja. Habis itu malah bisa ketawa kan. Jangan buang-buang waktu ya. Udah sana. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Istirahat, makan, ya. 

Pah, udah nih gitu doang. Nggak ada pelukan? Nggak mau gitu nongol di mimpi bentar. Sekali-kali kek bilang, Papah sayang sama Mba Na, gitu? Pah...Pah....Pah. 

Dan suara itu pun hilang. 

Kemudian saya belajar. Nggak apa-apa masih sedih. Rasa ini pasti tidak akan benar-benar hilang. 

Rasa itu masih terus hadir berbulan-bulan setelahnya. Sampai hari ini ketika saya menulis ini. 

Kemudian saya sadar, normal day is perfect. Betapa rindunya saya akan hari-hari yang dulu saya anggap membosankan. Hari ketika Papah masih ada. 

Begitulah kita, manusia. Selalu hidup dalam paradoks. Yang ada hanya akan terasa berarti saat ia tak lagi ada. 

Kini saya belajar memeluk luka, tidak menyingkirkannya cepat-cepat, tidak memplesternya agar tidak terlihat. Sejauh ini saya belajar banyak dari perasaan duka ini.

Untukmu yang sedang berduka perihal kehilangan orangtua. Momen ini tidak akan mudah, dan waktu juga tidak selalu dapat menyembuhkan. Terkadang, waktu justru semakin menguatkan kenangan dan kerinduan. 

Lalu bagaimana? Belajar menerima dan hidup dengan luka itu. 

Yang dapat dilakukan terhadap luka jiwa


Biar saja, luka itu ada. Mereka yang tetap tinggal bersama luka yang tidak kita sembunyikan adalah mereka yang pantas diperjuangkan untuk selalu ada dalam lingkaran kehidupan kita. 






No comments

Powered by Blogger.