Kuning Penuh Luka: Bagaimana Van Gogh 'Menyembuhkan' Kegelapan Batin Lewat Goresan 'Bunga Matahari'?
Dalam dunia masa kini di mana pengakuan instan adalah mata uang, sungguh miris jika mengingat kisah Vincent Van Gogh: seorang pelukis jenius yang menghasilkan lebih dari 2.000 karya seni, tetapi tidak pernah merasakan pengakuan. Meninggal dalam keadaan memercayai bahwa dirinya adalah kegagalan; tanpa pernah tahu bagaimana perjalanan lukisannya menemukan jalan menuju hati banyak orang di masa kini.
Melalui, Gabriel Surya Ortega(1) seorang kolektor seni dan kurator galeri di The Meridian House, sebuah galeri seni dan tea room di Mayfair London(2). The Meridian House juga terhubung dengan The Silk Road Gallery, Seoul dan The Archipelago Collective, di Jakarta (3). Kita akan dibawa menaiki mesin waktu untuk memetik kelopak-kelopak kisah(4) mengenai Vincent Van Gogh dan karya lukisan yang dihasilkannya dan pembelajaran apa yang bisa kita dapatkan di era modern ini.
***
Gabriel tidak sendirian. Baru-baru ini seorang pegawai baru di The Meridian House sedang membuatnya frustasi lantaran kegigihannya untuk meloloskan satu karya seniman muda Afrika agar dapat dipamerkan di The Meridian House.
"Bayangkan menjalani seluruh hidup Anda, berjuang dengan keras di atas kanvas, hanya untuk menjual satu lukisan saja. Ini seperti kenyataan pahit yang dihadapi oleh Vincent Van Gogh. Maestro yang ironisnya baru dikenal setelah kematiannya. Rasanya itu tidak perlu terjadi di dunia modern seperti sekarang!" ujar Laras kepada Gabriel dengan nada ketus.
Wajah Laras yang biasanya memancarkan kehangatan tiba-tiba terlihat dingin.
Namanya Laras Candela, salah satu pegawai yang paling terlihat kontras dibandingkan orang-orang di The Meridian House.
Wajahnya dibingkai garis rahang yang lembut, tetapi hidungnya sedikit mancung. Matanya adalah fitur yang paling menonjol: berbentuk almond, berwarna cokelat madu gelap, dan seringkali memancarkan rasa ingin tahu yang tajam—mata seorang seniman.
Kulitnya cokelat sawo matang yang halus, cukup terang untuk standar Indonesia, tetapi cukup kecoklatan untuk standar London, warisan dari ibunya yang Jawa. Rambutnya tebal, hitam pekat, bergelombang alami, dan biasanya dibiarkan tergerai panjang melewati bahu atau diikat longgar dengan elegan, menunjukkan kesederhanaan.
Ia memiliki postur tubuh yang luwes dan dinamis, sedikit di atas rata-rata tinggi perempuan Indonesia. Gerak-geriknya tenang dan penuh perhitungan saat berada di depan karya seni, menunjukkan rasa hormat dan pemahaman.
Laras jarang memakai perhiasan mahal, tetapi selalu membawa syal atau selendang tipis dari kain Batik atau Wastra Indonesia yang diikatkan secara artistik di lehernya atau di tasnya. Ini adalah penghormatan halus terhadap warisan kakeknya.
Gabriel tergelitik dengan opini Laras tentang Vincent Van Gogh. Ia mencoba mengalihkan rasa kesal Laras, merespon dengan maksud menyetujui.
"Vincent Van Gogh bukan seniman gagal. Ia pengingat menyakitkan bahwa tidak semua kejeniusan diakui tepat pada waktunya."
Sorot mata Laras kembali menghangat, "justru itu yang saya maksud. Jika kita membiarkan karya Lethabo tidak ikut dipamerkan bulan depan, dan membiarkan karyanya dipamerkan di galeri lain, kita akan kehilangan kesempatan untuk menjadi yang pertama mengakui kejeniusannya." balas Laras mencoba meyakinkan bahwa kehadiran karya Lethabo akan menaikkan citra The Meridian House.
Gabriel terdiam. Ia berpikir bahwa sebagai pegawai yang belum terlalu lama bergabung di The Meridian House, Laras sangat proaktif. Bagi mata tertentu ia akan dianggap terlalu berani menyuarakan pendapatnya. Dan itu bisa mengundang kecemburuan dan ketidaksukaan.
Gabriel juga masih menimbang motif apa yang melatarbelakangi kegigihan Laras. Sudah sejak lama ia ingin ngobrol santai dengan Laras, namun belum menemukan momen yang tepat.
"Aku sedang merencanakan bagian pendahuluan untuk pameran triwulanan kita tahun depan—yang akan fokus pada The Underrated Geniuses—dan Van Gogh adalah titik awal yang sempurna. Juga mungkin karya Lethabo bisa kita pertimbangkan untuk pameran triwulan."
"Kedengarannya luar biasa, Pak." Laras memilih untuk mengikuti alur yang disiapkan Gabriel yang tampaknya tetap berkeras bahwa karya Lethabo tidak akan dipamerkan bulan depan.
Gabriel menangkap sorot ketidakpuasan di wajah Laras. "Nah, ini intinya. Aku tahu kakekmu adalah pelukis yang sangat dihormati. Aku tertarik dengan perspektif seniman keturunan seniman sepertimu, terutama tentang bagaimana rasanya menciptakan tanpa pengakuan instan. Aku perlu mendiskusikan angle sejarah ini dengan detail."
"Tentu. Saya senang sekali membahasnya. Kapan kita bisa bertemu?"
"Bagaimana kalau besok? Aku harus ke Whitechapel untuk rapat sebentar di pagi hari. Tapi setelah itu, aku berencana untuk duduk di sebuah kedai kopi tua di Notting Hill yang sunyi. Mereka punya cahaya alami yang sempurna untuk berpikir."
"Kedai kopi tua? Boleh."
"Bagus. Kita bisa bertemu sekitar jam 1 siang. Kita hanya akan butuh waktu satu jam, fokus pada surat-surat Van Gogh kepada Theo tentang kegagalan finansialnya. Ini murni untuk mendapatkan 'roh' pameran, Laras. Pandanganmu sebagai seniman muda akan sangat berharga.
"Saya mengerti. Tentu, Pak. Sampai besok. Saya akan membawa buku catatan saya."
Ini murni untuk mendapatkan 'roh' pameran. Kalimat itu bergaung terus di kepala Laras. Ini pertama kalinya Gabriel memintanya bertemu di luar kantor.
Laras tidak merasakan gejolak spesial, ia hanya merasa sedikit bersemangat karena akhirnya ia bisa menemukan suasana baru, dan kesempatan untuk memperjuangkan sesuatu.
Keduanya adalah hal yang sempat ditakutinya. Keluar dari zona nyaman dan berjuang untuk sesuatu yang baik, yang bahkan ia sendiri tak tahu hasil akhirnya.
"Sempurna. Sampai besok, Laras. Terima kasih atas bantuanmu." ucap Gabriel memecah lamunan Laras.
Laras mengangguk tipis dan meninggalkan ruangan Gabriel. Sambil berjalan menyusuri koridor ia menyapukan pandangan ke seluruh area galeri.
Laras masih sulit mempercayai bahwa saat ini sedang berada di London setelah semua badai yang ia terjang.
Ia berada di sebuah tempat yang bahkan belum pernah terlintas di benaknya.
The Meridian House, sebuah rumah kota Georgian bergaya abad ke-18, yang besar dan megah. Dulunya merupakan kediaman seorang baronet atau diplomat Inggris. Eksteriornya terbuat dari batu bata merah atau batu Portland yang elegan.
Galeri ini mempertahankan banyak fitur arsitektur aslinya—lantai kayu yang berderit lembut, tangga spiral yang mewah, dan perapian marmer. Langit-langitnya yang tinggi memungkinkan masuknya cahaya alami, tetapi jendela-jendela telah dipasang kaca anti-UV khusus untuk melindungi koleksi. Berada di jalan yang relatif tenang, jauh dari keramaian utama, memberikan suasana eksklusif dan penuh sejarah.
Di lantai dasarnya, terdapat tea room kecil yang menyajikan perpaduan teh tradisional Inggris dan kopi spesial dari Indonesia dan Korea Selatan.
![]() |
| Ilustrasi The Meridian House |
Galeri ini adalah tempat berlindungnya. Di tea room orang-orang dari berbagai penjuru dunia datang dan pergi, namun tidak ada satupun yang mengenali Laras dan ingin menariknya kembali ke dunia yang lama.
Laras merasa tenang di tempat ini. Kali ini yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang adalah pertemuannya dengan Gabriel besok.
Bukan soal Gabriel-nya, tetapi tempat baru selain Meridian House dan apartemennya adalah tempat asing yang membuatnya harus memasang topeng berlapis.
Ah bukan itu saja, batin Laras.
Ia harus mencari tahu terlebih dahulu situasi dan kondisi tempat pertemuannya. Oh ya, juga tempat rapat Gabriel, dan kemungkinan orang-orang yang akan ditemuinya sebelum bertemu dengan dirinya.
Laras membuka ponselnya dan melihat nama tempat pertemuan yang sudah dikirimkan Gabriel kepadanya.
The Conservatory Brew. Kedai kopi ini terletak di jalan samping yang tenang di Notting Hill, jauh dari keramaian Portobello Road. Terletak di sebuah jalan berderet rumah townhouse berwarna pastel yang khas. Dulunya kedai itu adalah rumah kaca (konservatori) di belakang sebuah rumah besar bergaya Victoria, yang kemudian diubah menjadi kedai kopi.
![]() |
| Ilustrasi Kedai Kopi The Conservatory Brew |
Tidak ada informasi mengenai pemilik kedai, pikir Laras. Tapi mengingat kedai ini menggunakan bekas rumah kaca, maka bisa dipastikan pemiliknya bukanlah pendatang.
Bisa dibilang kedai ini statusnya aman.
Laras lanjut mengecek tempat dimana Gabriel rapat.
Whitechapel Gallery adalah sebuah galeri seni publik yang bersejarah di East London, yang dikenal karena menampilkan karya-karya modern dan kontemporer. Institusi itu didirikan pada tahun 1901. Bangunannya memiliki eksterior Edwardian yang kokoh, dengan batu bata merah dan jendela-jendela tinggi yang besar.
Tidak ada yang mencurigakan. Kemungkinan besar Gabriel hanya akan bertemu kolega-koleganya, membahas karya seni dari sudut pandang kuratorial.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Laras mencoba menenangkan diri dan mulai memikirkan beberapa materi rapatnya besok.
***
Laras sampai di kedai kopi lebih cepat. Ia langsung menjalankan protokol keamanan untuk memastikan ia tidak melewatkan kemungkinan blind spot yang akan menggiringnya pada masalah.
Ia menarik napas lega ketika semua hal sudah berada dalam kendali. Laras mencoba menikmati kehadirannya di tempat baru. Kedai ini memancarkan aura keheningan yang elegan dan memiliki bau campuran kertas tua, kulit, dan biji kopi yang baru digiling.
Benar apa kata Gabriel, pencahayaan alami memang menjadi daya tarik utamanya. Sebagian besar atap dan salah satu dindingnya terbuat dari kaca, menciptakan ruangan yang terang benderang.
Cahaya lembut difusi yang masuk, terutama saat siang hari menciptakan suasana hangat, bebas bayangan keras, dan ideal untuk membaca atau berpikir mendalam.
Interiornya memadukan elemen rustic dan vintage. Lantainya adalah ubin keramik hitam-putih bermotif era Victoria. Dindingnya dicat dengan warna sage green pucat.
Meja-meja kecil bundar dari kayu pinus tua dipasangkan dengan kursi-kursi kayu yang nyaman, beberapa di antaranya dilapisi bantal beludru. Ada beberapa rak buku kayu penuh dengan buku-buku seni yang sudah usang dan jurnal.
Mengingat sejarahnya sebagai rumah kaca, banyak tanaman indoor hijau menjuntai dan merambat di sudut-sudut ruangan, memberikan kesan sejuk dan hidup.
Sekitar pukul 13.15. Gabriel datang ke kedai, ia berjalan menuju tempat duduk Laras bersamaan dengan terpaan cahaya alami yang masuk dengan lembut dari atap kaca.
Laras baru benar-benar menyadari bahwa Gabriel adalah sosok yang disukai banyak wanita setelah melihat beberapa pramusaji langsung kasak-kusuk sambil ujung matanya tidak lepas dari Gabriel.
Wajah Gabriel memancarkan perpaduan yang menarik dari warisan Asia Tenggara, Inggris, dan Spanyol. Ia memiliki rahang yang terstruktur kuat, namun dengan tulang pipi yang sedikit tinggi dan mata berbentuk almond yang dalam.
Matanya berwarna cokelat gelap yang intens dan tajam, selalu tampak menganalisis dan menghargai keindahan di sekitarnya—sebuah tatapan yang sesuai untuk seorang kurator.
Alisnya rapi, dan ia seringkali memiliki sedikit senyum tulus yang tersembunyi di sudut bibirnya. Rambutnya hitam pekat, tebal, dan ditata sedikit ke belakang dengan sentuhan modern.
Kulitnya memiliki rona zaitun hangat yang khas, yang menunjukkan perpaduan antara paparan sinar matahari Mediterania dan Asia. Postur tubuhnya tinggi dan ramping, sekitar 180 cm, tetapi tidak terlalu berotot; ia memiliki ketenangan dan keanggunan seorang pria yang menghabiskan waktu di ruangan sunyi yang dipenuhi karya seni.
Gayanya klasik dan berkelas, mencerminkan selera seorang kolektor. Ia jarang terlihat tanpa setelan bespoke (tailored) yang dibuat dengan sangat baik, biasanya dalam warna-warna gelap yang netral seperti abu-abu arang, biru tua, atau cokelat tua.
Pilihan pakaiannya yang cermat diperlihatkan melalui detail: ia sering mengenakan dasi sutra Italia dengan pola abstrak yang menarik atau syal kasmir tipis di sekitar lehernya. Ia mungkin menyematkan bros kecil bergaya antik di kerah jasnya atau mengenakan jam tangan klasik dengan tali kulit yang mewah—semuanya memberikan kesan profesional yang canggih dan tidak berlebihan.
Secara keseluruhan, Gabriel memancarkan aura kepercayaan diri yang tenang, perpaduan budaya yang elegan, dan kecerdasan visual yang membuatnya menjadi figur yang menonjol dan berwibawa di dunia seni Inggris.
Laras mencoba tetap memandang Gabriel dengan tatapan objektif seperti saat ia menilai sebuah lukisan di galeri.
Gabriel dan Laras memilih duduk di meja kecil dekat tanaman pakis, di atas meja mereka ada dua cangkir kopi, selembar kertas cetak berisi kutipan surat Van Gogh, dan buku catatan Laras.
Gabriel tampak mencoba mengendurkan situasi agar tidak terlalu formal dengan menyesap kopinya perlahan. Ia kemudian meletakkan cangkirnya dan berujar, "kopi di sini selalu sempurna. Sama seperti atmosfer yang kubutuhkan untuk membahas tragedi ini."
Laras membuka buku catatannya. "Ya, tempat ini tenang sekali. Saya sudah membaca ulang beberapa kutipan surat Van Gogh kepada Theo tentang penjualan. Salah satunya di tahun 1888: 'Saya tidak dapat menahan perasaan bahwa saya akan menjadi orang yang gagal.'
Gabriel mendorong kertas kutipan ke tengah meja. "Itu dia. Inti dari pameran kita. Kita melihat Van Gogh hari ini sebagai ikon $100 juta, tapi ia melihat dirinya sebagai nol. Laras, sebagai seorang seniman, bagaimana perasaanmu membaca pengakuan kegagalan yang begitu tulus dari seorang yang kita kenal sebagai seorang jenius?"
Laras nengambil pena dan tampak merenung sejenak. "Itu... menghantui, Pak. Bagi seorang seniman, kegagalan bukan hanya berarti lukisan tidak laku. Itu berarti kegagalan komunikasi. Dia menciptakan bahasa visual baru, warna yang meledak-ledak, dan tidak ada yang mau mendengarkannya."
"Kegagalan komunikasi. Itu perspektif yang bagus. Menurutmu, apa yang paling menyakitkan bagi Van Gogh: kemiskinan, atau kurangnya apresiasi terhadap kebenaran artistiknya?"
"Saya rasa, keduanya saling berkaitan. Lukisan itu adalah satu-satunya cara dia berinteraksi dengan dunia, tapi dunia menolaknya. Lihat lukisan 'The Red Vineyard'—yang katanya satu-satunya yang pernah terjual. Laras menunjuk pada lukisan kecil yang dicetak di buku catatan. Bahkan itu pun tidak memberikan dia rasa aman. Ini bukan tentang uang; ini tentang validasi bahwa hidupnya berharga. Kegagalan finansialnya menegaskan ketidakberhargaan dirinya."
"Validasi. Jadi, warna kuning khas Van Gogh—yang sangat intens dalam 'Sunflowers'—menurutmu itu adalah ekspresi kebahagiaan, atau justru jeritan kerinduan akan validasi yang tidak pernah datang? Mengingat kuning sering diasosiasikan dengan penyakit dan kegilaannya juga."
Laras menarik nafas dalam. "Mungkin keduanya. Dalam konteks sejarah hidupnya, kuning itu adalah luka yang berpura-pura bahagia. Dia melukis bunga matahari yang penuh energi, vitalitas, dan harapan. Tapi di bawah lapisan itu, ada intensitas yang mencekik. Dia melawan rasa gagalnya dengan warna yang paling keras. Dia berteriak dengan warna kuning agar dilihat.
'Luka yang berpura-pura bahagia.' kata Gabriel. "Aku suka sekali istilah itu. Itu menangkap esensi Van Gogh. Ini adalah angle yang harus kita gunakan di press release dan kuratorial. Kita tidak hanya memamerkan lukisannya, kita memamerkan sejarah luka yang membentuk kejeniusannya."
"Dan itu relevan, Pak. Bahkan hari ini, di era media sosial, seniman masih berjuang antara kebutuhan validasi yang cepat dan kebenaran karya. Van Gogh adalah cerminan abadi dari pertanyaan itu.
Laras hendak menyisipkan topik tentang Lethabo tapi kemudian Gabriel mencoba menarik kembali perhatian Laras ke kutipan surat. "Tadi kita bicara tentang validasi dan luka yang dibalut warna kuning. 'Sunflowers' adalah studi terbaik untuk ini. Laras, apa alasan spesifik Van Gogh melukis bunga matahari dengan obsesif? Ini lebih dari sekadar objek, bukan?"
"Ya, jauh lebih dalam. Lukisan Sunflowers (Bunga Matahari) yang terkenal itu lahir dari harapan besar. Van Gogh melukisnya di Arles, Prancis Selatan, pada tahun 1888. Alasan utamanya adalah persahabatan.
Dia sedang mendekorasi "Yellow House" miliknya untuk menyambut kedatangan Paul Gauguin, seorang seniman yang sangat ia kagumi dan harapkan dapat membentuk komunitas seniman bersamanya.
Bunga Matahari adalah simbol rasa syukur, keramahan, dan harapan. Dia ingin Gauguin melihatnya sebagai seniman yang serius dan dihargai melalui karya-karya ini. Bunga-bunga itu adalah simbol kebahagiaan yang diidam-idamkan—sebuah upaya untuk menciptakan surga artistik."
Gabriel menimpali. "Itu berarti seluruh harapan artistik dan pribadinya dipertaruhkan pada Gauguin. Dan kita tahu bagaimana itu berakhir."
"Tepat. Begitu Gauguin tiba, ketegangan mulai muncul. Mereka memiliki pandangan seni yang sangat berbeda—Van Gogh melukis apa yang ia lihat, Gauguin lebih suka melukis dari ingatan (synthétisme). Namun, yang paling merusak adalah perselisihan filosofis dan pribadi mereka yang intens."
"Pertengkaran mereka bukan hanya sekadar konflik seniman biasa, ya?" tanya Gabriel.
"Bukan. Itu adalah pukulan terakhir bagi harga diri Van Gogh sebagai seniman dan sebagai sahabat. Gauguin hanya tinggal selama dua bulan, tetapi dua bulan itu adalah katalis.
Pertengkaran memuncak pada tanggal 23 Desember 1888. Setelah perdebatan sengit, Gauguin memutuskan untuk pergi.
Keputusan Gauguin untuk pergi adalah konfirmasi paling pahit dari rasa gagalnya—kegagalan membangun komunitas, kegagalan mempertahankan persahabatan, dan kegagalan mendapatkan pengakuan dari rekan yang paling ia hargai.
Kegagalan persahabatan ini yang membuatnya melakukan tindakan yang paling terkenal..."mata Gabriel tampak menerawang.
Laras bisa menangkap bahwa Gabriel tidak sedang adu pengetahuan dengannya, dan bukan mengetes pengetahuannya tentang sejarah seni. Ada sesuatu yang bergerak dalam diri Gabriel yang belum bisa diterjemahkan oleh Laras.
"Ya. Dalam keputusasaan yang ekstrem, karena ditinggalkan dan merasa seluruh mimpinya hancur, Van Gogh memotong sebagian telinganya. Tindakan itu melambangkan perusakan diri akibat penolakan dan isolasi yang ia rasakan sepanjang hidupnya, diperparah oleh kepergian Gauguin. Itu adalah titik balik yang membawanya ke rumah sakit jiwa di Saint-Rémy."
Gabriel tampak membereskan catatan Van Gogh di hadapannya, tetapi Laras memanfaatkan jeda ini untuk mengangkat topik Lethabo.
Laras mendorong sedikit buku catatannya. "Pak, sebelum kita benar-benar selesai, diskusi tentang 'luka yang berpura-pura bahagia' milik Van Gogh ini mengingatkan pada satu seniman yang sedang saya upayakan.
"Oh, ya? Maksudmu seniman muda Lethabo, yang kamu rekomendasikan untuk pameran Asia-Afrika kita bulan depan?"
"Tepat. Karyanya, terutama seri patung multimedia tentang trauma pasca-apartheid, sangat kuat dan... historis." Laras tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menjelaskan kenapa ia ingin karya Lethabo bisa dipamerkan.
Gabriel tersenyum formal, tanpa menatap Laras. "Lethabo. Ya, saya sudah melihat proposal dan portofolionya. Sangat mentah. Penuh emosi."
"Justru itu yang membuatnya relevan dengan Van Gogh. Van Gogh menderita trauma individu, sedangkan karya Lethabo membahas trauma antar generasi. Bagaimana rasa sakit itu diwariskan dalam sebuah komunitas. Bukankah pameran kita, The Meridian House, seharusnya menjadi jembatan antara luka sejarah individu dan kolektif?"
Gabriel mengambil cangkir kopinya yang kosong, memutar-mutarnya perlahan. "Laras, itu adalah pengamatan yang cerdas, dan aku menghargai hasratmu. Tapi ingat, galeri kita di London ini punya audiens yang sangat spesifik. Kita harus memastikan kurasi kita terasa cohesive."
"Tapi bukankah traumanya Gauguin dan Van Gogh di Yellow House bisa dibandingkan dengan konflik di Yellowwoods di Afrika Selatan? Ada benang merahnya."
Gabriel tertawa ringan dengan sopan. "Metaforamu selalu menarik. Namun, secara logistik dan kuratorial, Lethabo terlalu... kontemporer untuk saat ini. Seri patungnya yang berbau performance art membutuhkan ruang dan dukungan yang berbeda. Mungkin, biarkan ia mematangkan karyanya sedikit lagi."
"Saya khawatir jika kita menunda, kita akan mengulangi sejarah Van Gogh—mengabaikan kejeniusan yang ada di depan mata karena terlalu "mentah" atau terlalu berbeda dari yang diharapkan pasar. Lethabo sedang berjuang, dan karyanya perlu dilihat sekarang."
Gabriel meletakkan cangkirnya dengan mantap, menatap Laras dengan mata kurator yang intens. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Laras. Sungguh. Tapi proyek The Underrated Geniuses ini sudah dipetakan dengan rapi. Mari kita selesaikan dulu kisah historis yang sudah kita mulai dengan Van Gogh. Kita akan kembali ke proposal Lethabo, mungkin setelah pameran kita di Jakarta dan Seoul selesai. Aku janjikan itu."
Laras sedikit merasa kesal. Sebelum pertemuan ini, rasanya ia mendapatkan sinyal kalau Gabriel akan memberi kesempatan bagi Lethabo. Tapi mendengar penekanan halus pada "selesaikan dulu" dan "kuratorial," Laras mengerti penolakan halus itu, meskipun rasa kecewanya lebih dominan. "Baik, Pak. Saya akan memoles ulang proposal dan rincian teknis untuk Lethabo.
Gabriel bangkit berdiri. "Bagus. Fokus pada Van Gogh dan Yellow House sekarang. Itu akan jadi mahakarya historis. Sudah satu jam lebih. Waktu berlalu cepat. Aku akan memformulasikan beberapa poin kunci dari obrolan kita. Kamu bisa terus menikmati kedai ini atau kembali ke galeri.
Laras mengangguk. "Saya akan tinggal di sini untuk merapikan beberapa narasi, Pak. Sampai jumpa besok pagi."
Laras membutuhkan waktu untuk menenangkan emosinya yang sempat bergejolak. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan mengenai alasan penolakan halus dari Gabriel.
Bisa jadi Gabriel takut Karya Lethabo tentang trauma antar generasi di Afrika Selatan, dengan intensitas emosionalnya, berisiko mengguncang kolektor tradisional Inggris dan mengancam stabilitas finansial galeri. Gabriel, sebagai penanggung jawab, tidak ingin mengambil risiko yang bisa merusak reputasi galeri yang baru dibangun.
Atau bisa saja Gabriel merasa ia harus menjadi orang yang "menemukan" dan meluncurkan bakat besar berikutnya. Ia khawatir jika karya Lethabo terlalu sukses, hal itu akan mengesankan bahwa Laras, pegawai baru, yang memiliki mata kuratorial lebih tajam, menantang wewenang dan prediksinya mengenai tren pasar seni global.
Laras merasa kedua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Ia belum benar-benar mengenal Gabriel.
Di bawah tatapan lukisan-lukisan tua yang membisu, saat mereka menelusuri jejak luka Van Gogh, Gabriel dan Laras sama-sama memainkan peran ganda yang tak ingin dunia lihat.
Gabriel, kurator yang begitu mahir mengurai narasi seni, menyembunyikan masa lalu keluarganya yang terukir dalam sejarah penindasan suatu bangsa—sebuah beban keangkuhan yang bersembunyi di balik jasnya yang sempurna.
Sementara Laras, dengan darah seniman mengalir di nadinya dan warisan leluhur Jawa yang kuat, menyimpan kerentanan seorang pemberontak yang terpaksa berkompromi dengan dunia yang tak selalu menghargai idealismenya.
Sebuah ketegangan tak terucap kini membayangi mereka, mengisyaratkan bahwa di antara gemerlap artefak dan cerita-cerita yang terpajang, terdapat pula kisah-kisah yang tak pernah tertulis, yang siap meledak seperti palet warna Van Gogh yang penuh gejolak.
******
Itu tadi adalah penggalan Bab 1 dari Novelet yang bisa dibaca di akun Karyakarsa. Sengaja memasukkan potongan cerita dari "Kuning Penuh Luka" untuk menjelaskan sejarah lukisan Sunflower dari Van Gogh supaya pembaca nggak bosan.
Itu juga yang menjadi alasan kenapa pada hari Kesehatan Mental 10 Oktober 2025 kemarin, dipilih tema lukisan Van Gogh dan Bunga Matahari.
Kondisi kesehatan mental Vincent Van Gogh sangat kompleks dan sering diperdebatkan oleh para ahli sejarah dan medis. Konsensus umum menunjukkan bahwa ia menderita gangguan mental yang serius dan kronis yang memuncak pada tahun-tahun terakhir hidupnya.
Meskipun diagnosis pasti tidak dapat diberikan secara anumerta, beberapa gangguan yang paling mungkin diidap Van Gogh, seringkali secara komorbid (terjadi bersamaan), antara lain:
Gangguan Bipolar (Manic Depression): Ini adalah diagnosis yang paling populer dan sesuai dengan pola hidup Van Gogh. Ia mengalami periode aktivitas dan kreativitas yang intens dan bersemangat (mania atau hipomania), diselingi oleh periode depresi parah, kelelahan, dan kecemasan.
Epilepsi Lobus Temporalis: Diagnosis ini sering diajukan, terutama setelah insiden pemotongan telinga. Gejala yang dialaminya—seperti halusinasi, delusi, dan krisis mental berulang—sesuai dengan bentuk epilepsi ini.
Psikosis Akut: Van Gogh mengalami beberapa episode psikotik singkat yang parah, terutama di Arles (sebelum dan sesudah insiden telinga) dan selama ia tinggal di rumah sakit jiwa Saint-Rémy. Dalam kondisi ini, ia kehilangan kontak dengan realitas.
Kecanduan: Ia diketahui mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak, termasuk minuman keras yang mengandung thujone seperti Absinthe. Keracunan ini kemungkinan memperburuk dan memicu serangan psikotiknya.
Karya seni Van Gogh—terutama penggunaan warna yang berani, sapuan kuas yang berputar, dan energi yang intens—sering dilihat sebagai ekspresi visual dari gejolak batin dan perjuangan melawan penyakit mentalnya.
Pembelajaran utama dari kisah Vincent van Gogh adalah tentang nilai ketekunan, validitas ekspresi diri, dan pengakuan yang tertunda, terutama dalam menghadapi tantangan pribadi yang berat.
Keaslian dan Kerentanan adalah sumber kekuatan kreatif yang luar biasa. Van Gogh menggunakan seninya sebagai katarsis dan cara untuk mengatasi penderitaan pribadinya.
Pembelajarannya, jangan takut untuk memasukkan pengalaman hidup yang paling sulit atau emosi yang paling intens ke dalam pekerjaan atau minat Anda. Apa yang terasa pribadi dan rentan sering kali menjadi yang paling universal dan kuat.
Kisah-kisah lanjutan tentang The Underrated Geniuses akan ditulis dalam Novela Kuning Penuh Luka yang bisa dibaca di sini.
Selamat Hari Kesehatan Mental 10 Oktober.











No comments