Satu Kepala

Satu Kepala
Satu Kepala
Seandainya bisa, mari kita buat perjanjian. Di sini, Selasa depan. Itu seminggu lagi. Jangan lupa ransel dan perbekalan. Kita mendaki, untuk pertama kalinya berdua, Rante Mario.



Kita, dua orang, mungkin nanti bisa jadi satu saja.Setelah masing-masing dari kita saling menyamarkan. Oh, bukan. Tapi, menghilangkan. Atau sama-sama menjadi orang yang lain. Maksudku tidak benar-benar lain. Kita masih kita. Tapi kamu yang lain dan aku yang lain.
"Ah. Alter ego." katamu. Tepat itu. Kita di sini, Selasa depan dengan alter ego masing-masing.
"Aku akan membawa mie instant."kataku.
"Aku akan mengajarimu membuat simpul dan membaca kompas." katamu
"Ah. Tidak perlu. Kamu bawa kantung tidur saja. Mungkin nanti kita membutuhkan itu."
"Kamu akan tidur satu kantung denganku?"
"Ya, supaya lebih hangat, kan."
"Aku belum siap untuk itu."
"Tenang saja kita tidak akan melakukan apa-apa."

Kuduga, kita hanya akan berbaring tenang. Pada cuaca yang terang, kita akan menghitung bintang. Kita hanya akan bercerita, sepanjang malam, tentang apa saja.

"Bagaimana dengan mereka?" tanyamu.
"Tidak ada mereka. Kita dua orang yang berbeda kali ini. Jadi lupakan untuk sementara, ya."
"Baiklah sampai jumpa Selasa depan. Aku akan menunggumu di pintu gerbang."
Hari itu sama seperti ramalan cuaca di berita. Matahari teduh, tapi sinarnya tetap hangat. Siang akan sedikit panas, tetapi itu lebih baik dibandingkan hujan.

Kamu menggelar peta. Aku duduk di belakang memandangi punggungmu yang tampan.
Ah, bagaimana bisa punggung terlihat tampan? batinku. Tentu saja, ada hati di tengah-tengah tulang rusuk. Tepat pada lengkungannya. Itu yang membuat siapa saja, jika mau sedikit sabar, bisa membaca perasaan seseorang dari punggungnya.
Aku lalu berjalan ke depan. Punggungku berkata kau sedang memandangi rambutku yang berkibar tertiup muson lembut. Kau lalu memandangi kepalaku. Menimbang-nimbang sekiranya apakah ada bagian lain yang lebih menarik dari kepalaku.

Ah, kepala? Dia wanita, masa yang menarik hanya kepala. Batinmu, lalu terdiam.

Memang kepala. Segala yang sama keluar dari sana, sungguh menakjubkan. Sebelum kau sempat berkata-kata kepala itu sudah tahu apa yang ingin kau katakan. Sebelum melucuti pakaianmu, kepala itu sudah tahu bagaimana lekuk tubuhmu.
Kepala itu memikat. Menggairahkan. Karena itu juga aku ke sini melakukan pendakian.

Kami lalu berjalan bersisian. Tangannya menarik lembut tanganku ke dalam genggamannya.
Sungguh menarik, batinku. Caranya mengandeng tangan. Mantap dan hangat. Beginilah tanda-tanda seseorang yang sudah menguasai medan. Kau sudah paham benar setapak labirin di punggung gunung ini. Kelokannya, tanjakannya, liukannnya. Kau tahu kapan harus melepaskan genggaman tangan.

Kami menyusuri hutan cemara, kadang merunduk menembus semak belukar, kadang melompati bebatuan, kadang bertemu aliran sungai. Sesekali kau harus membabat semak-semak yang tinggi dengan sebilah golok yang nampak berkilau. Kau mungkin sudah mengasahnya sebelum berangkat.

"Kita istirahat dulu," katanya kemudian. Sambil mengangsurkan botol minuman dia menatapku. "Lelah?"
Aku menggeleng. Tidak akan. Wajahmu adalah obatnya, batinku. Kulihat ia telah bercukur. Rahangnya bersih. Semburat biru menghiasi dagu bawahnya.

"Apa yang kamu pikirkan tentang aku?" tanyanya.
"Tidak ada." Kataku berbohong.
"Katakan saja. Bukankah kita dua orang yang lain hari ini."
Aku ragu. Tapi, "Baiklah."
"Kamu jatuh cinta padaku?" tanyanya sebelum aku sempat melanjutkan.
Aku terperanggah. “Alter egoku yang jatuh cinta padamu.”
“Bagaimana jika alter ego itu adalah dirimu yang sebenarnya?”
Aku mengangkat bahu. Aku tahu itu mungkin saja. “Aku tidak keberatan.”
“Baiklah kalau begitu,”
“Aku menyukaimu. Seandainya saja kita memang bukan orang yang sama seperti hari-hari biasa.”
“Dan sekarang adalah hari yang tidak biasa,”
“Baiklah kalau begitu aku memang menyukaimu.”
Dia diam, wajahnya mengeras. Merasa tidak perlu mengatakan apa-apa. Sudah pasti dia juga berpikiran sama denganku. Jika tidak, ia tidak akan datang, dan juga menggenggam tanganku serupa tadi.

Kami terus berjalan, menembus hutan hingga kemudian memutuskan untuk bermalam.

Sama seperti yang sudah diduga. Kami hanya berbaring dan menghitung bintang. Bintang demi bintang meredup selesai diabsen. Suara desis api unggun dan cahayanya menari-nari serupa hiburan. Tidak sadarkan diri tangan kami bersentuhan.Mula-mula hanya ujung jarinya, kemudian jari-jari yang lain hingga akhirnya saling mengenggam. Kemudian seperti yang diduga sebelumnya kami mulai bercerita apa saja. Hingga, tak terduga, akhirnya bibir kami yang bertautan. Dan malam semakin kelam. Desis api unggun tak terdengar lagi. Percik-perciknya padam.

Suasananya begitu tenang yang terasa hanya aliran air, hangat, meleber dari leher menuju bahuku, terus dan terus tak ada habisnya hingga pagi datang.

Menjelang pagi, kau bangun, menguap dan tersenyum. Kau merengangkan badan. Duduk sebentar lalu mengangkat kepalaku, memasukkannya ke dalam ransel. Gelap di dalam.

Satu jam kemudian kudengar gumaman. “Hanya ada satu kepala untuk satu tubuh.” Kau melanjutkan pendakian.

Rante Mario, Desember 2008.

No comments

Powered by Blogger.