Mencium Punggung

Mencium Punggung
Kau membalikkan badanmu, sekali lagi. Melihatku yang mematung di belakangmu. Menunggumu menghilang ditelan ujung jalan. Aku tahu kau tahu dan kau tahu aku tahu, kita sama-sama menginginkan sesuatu.



Tapi jarak itu membuatku tak bisa merengkuh kembali lenganmu. Membuatmu tak mungkin menarik masuk kembali kepalaku dalam dekapanmu.

Apa yang akan kau lakukan jika sekarang aku yang membalikkan badan. Hingga hanya lekuk punggungku yang mampu kau indera. Akankah kau berlari kesini dan berkata, “Izinkan aku, setidaknya menciummu. Karena kutahu bahkan perpisahan pun seharusnya memiliki rasa untuk dikenang.”

Tapi tidak. Kau balas punggung dengan punggung. Kau tutup perpisahan kita seperti saat kita bertemu dulu.

Delapan Minggu yang lalu di sebuah toko buku di daerah Jakarta Selatan.

Kamu adalah pria, berkemeja kotak-kotak, bertubuh tinggi, berambut ikal. Kau ada di hadapan rak buku di sisi kanan ruangan yang ditata bergaya modern minimalis. Aku adalah perempuan, bergaun tunik panjang, bertubuh tak terlalu tinggi, dan berambut lurus. Aku ada di hadapan rak buku di sisi kiri ruangan yang memajang replika lukisan Van Gogh.

Pungung kita saling bertatapan. Entah apakah saat itu masing-masing saling mengirimkan getaran. Kita tak tahu, sampai saat kita sama-sama berjalan mundur untuk melihat sebuah buku yang diletakkan di rak teratas dan punggung kita pun beradu. Kita sama-sama menoleh dan berujar, “Maaf...”

Sejak itu.
Delapan minggu sore kita habiskan berdua di tempat yang sama. Membahas buku, hidup yang berjalan terlampau cepat dan apa saja. Sembari sesekali menyeruput lemon tea, minuman favorit kita berdua. Setelah dua jam berlalu kita akan menunggu Kopaja yang akan mengantarkan kita pulang.

Delapan minggu Sore. Buku. Lemon tea. Kopaja. Menyatukan kita.
Tetapi pada minggu kesembilan, punggung dan seruas jalan memisahkan kita.

Kita mulai menyadari bahwa delapan minggu sore yang telah kita lewati itu begitu penuh dengan kepura-puraan, bahwa kita tak saling menginginkan.

Bahwa sebenarnya kita lebih memilih untuk bersembunyi di dalam remang-remangnya gedung bioskop, atau pada makan malam romantis yang diterangi pendar-pendar lilin, atau pada sesaknya Kopaja. Karena di tempat-tempat itu, tangan kita mungkin saja tak sengaja saling bersentuhan dan saling menyapa. Menyalurkan getaran-getaran listriknya yang sudah tak tertahankan. Atau bila memungkinkan, bibir kita mungkin saja bertautan. Mempertemukan dua muara cinta yang telah bergejolak di dalamnya.

Tapi tidak. Kamu tahu aku tahu dan aku tahu kamu tahu. Masing-masing dari kita adalah kunci. Bagaimana bisa sesama kunci bisa saling membuka padahal pintu kita masing-masing telah merekat di sebuah dinding yang selalu menunggu kita sesaat setelah menjejakkan kaki keluar dari Kopaja ?

Masing-masing dari kita adalah punggung. Bagaimana bisa punggung dan punggung saling berpelukan. Bagaimana mungkin punggung dan punggung bisa saling berciuman.
(diposting juga di : ngerumpi.com)

1 comment:

  1. dan akhirnya
    ketakutan terbesar orang yg sudah menikah adalah
    tiba2 menemukan cinta sejatinya
    dan ketakutan terbesar seorang yang belum menikah adalah
    menemukan cinta sejatinya yang terperangkap pada jasad dengan jenis kelamin yg sama dengan dirinya

    maaf kalo oot
    nice (short) story

    ReplyDelete

Powered by Blogger.