Kenapa Menulis Blog?



Kenapa menulis blog? Adalah jenis pertanyaan yang bisa jadi muncul ketika seseorang baru mulai nge-blog, atau justru sedang dalam kondisi bosan. A friend told me, years ago, bosan itu terjadi kalau kita nggak bertumbuh. Jadi ketika usia blog ini hampir 9 tahun kemudian muncul pertanyaan tersebut, kira-kira saya sedang bosan atau ada hal lain?



Sebenernya sudah pernah menulis alasan kenapa nge-blog di sini dan di sini. Tapi apakah alasan-alasan itu masih relevan untuk saat ini? Well, mari saya cari tahu.

Semalam ketika baru saja akan mengerjakan peer, (katanya konsekuensi menjadi penulis adalah harus mengerjakan peer setiap malam meski sudah nggak lagi duduk di bangku sekolah) duo ET lagi pingin dimanja, pingin berduaan dengan dirimu saja, lagi minta perhatian lebih. Jadi, waktu baru buka laptop untuk menulis draf blog yang seharusnya diunggah dua hari lalu, sebagai salah satu syarat mengikuti 30 days blog challenge yang diadakan oleh Blogger Perempuan Network, saya terpaksa menutup laptop kembali untuk menemani mereka bermain, padahal saat itu sudah hampir jam sembilan malam, jam tidur mereka.

Yang sulung minta ditemani nonton Youtube setengah jam saja, yang kecil meminta saya menyanyikan lagu 'Tik-Tik Bunyi Hujan' sembari dia pura-pura menggebuk drum dengan mengunakan batangan Lego yang dirangkai jadi stik drum. Baiklah, kita ikuti permainannya. Setelah nyanyi berulang kali, suara makin nggak keruan, Si Bungsu mulai bosan dan protes. "Yang bener dooong, Bun..." teriaknya.

"Nyanyi yang lain yuk," ajak saya sambil membuka laptop dan menyetel SID. "Nih, penabuh drumnya keren lho, Kak," begitu iming-iming saya kepada Si Sulung, selain juga supaya ia segera menyudahi nonton Youtube sekaligus berharap adiknya ikut melupakan aktivitas pura-pura menggebuk drum yang bikin frustasi lantaran setiap kali 'stik drumnya' patah, saya mesti menyambung kembali Legonya, KZL kan.

"Tatonya banyak banget, Bun," begitu komentar Si Sulung melihat aksi Jerinx menabuh drum di lagu  'Ketika Senja'. Tumben Bunda sukanya yang tato-tatoan gitu," tambahnya lagi.

"Yang Bunda liat bukan penampilannya, Kak. Tapi karya-karyanya. Lagu yang dibuat, lirik-liriknya, juga performa panggung mereka."

Tiba-tiba jadi ingin bercerita banyak hal kepada dua jiwa-jiwa kecil ini. Meski entah apakah pesannya akan sanggup mereka cacah dan cerna. Hanya berharap, di kemudian hari mereka sanggup mengenang kembali momen ketika saya bercerita untuk mereka.

"Kita tidak selalu bisa melakukan hal besar untuk negara yang kita tinggali ini, Kak. Tapi kita punya banyak kesempatan-kesempatan kecil yang bisa dilakukan untuk Indonesia," begitu saya memulai cerita malam itu. Tangan saya meraih tetikus, mengklik lagu 'Jadilah Legenda' di layar laptop.

Kalau kamu memilih jadi pemain musik, misalnya. Kasih sesuatu untuk Indonesia, misalnya di lagu ini," saya menaikkan sedikit volume ketika liriknya sampai di kalimat :


Untuk Indonesia 
Kita punya semua 
seribu budaya dan kekayaan alam yang takkan terkalahkan 
Untuk Indonesia jadilah legenda 
Kita bisa dan percaya 

Darah Indonesia 
Akulah halilintarmu 
Darah indonesia Menggelegar untuk selamanya 
Darah indonesia 
Walau badai menghadang kau takkan pernah hilang



"Kamu jadi semangat nggak dengernya?" tanya saya kepada Si Sulung, sementara adiknya duduk menatap video klip lagu tersebut dengan antusias.

"Iya, jadi bangga jadi orang Indonesia." jawab Si Sulung.

"Nah, artinya si pemain musik sudah bisa dibilang berhasil dan sukses. Cita-citamu boleh apa saja, tetapi kasih sesuatu yang bisa bermanfaat untuk banyak orang, lebih baik lagi kalau itu bisa menyumbang sesuatu yang positif buat negara ini."

"Aku mau jadi atlit Legend Hero," celetuk Tazka sambil meloncat ke atas kasur.

"Yang asli buatan Indonesia itu Bima, Dek..." balas Ezra nggak mau kalah. "Kan kalau mau jadi animator atau bikin film, harus yang bikin bangga Indonesia ya, Bun. Legend Hero kan buatan Korea."

"Iya, nggak apa-apa. Nanti bisa kok, bikin Legend Hero versi Indonesia. Kita bisa modifikasikan kekuatan mereka sesuai sama cerita-cerita legenda dan budaya di Indonesia."

Singkat cerita, kisah ditutup dengan mengarang cerita tentang kekuatan para superhero yang mungkin dimiliki oleh Indonesia, diiringi alunan 'Kisah Senja'. Lampu kamar saya redupkan, dan keduanya pun perlahan mulai terlelap.

Tinggal saya berdua dengan alunan lagu-lagunya SID. Saatnya mencari tahu apa yang membuat saya bertahan untuk terus menulis di blog atau di mana pun.

Dulu, menulis di blog adalah cara untuk berbicara pada diri sendiri. Atau menyampaikan pesan-pesan yang belum terangkat ke permukaan kesadaran hingga akhirnya bisa disadari dan dipahami oleh diri sendiri.

Perempuan perlu mengeluarkan kata-kata atau berbicara 20.000 kata setiap harinya. Itu karena kadar protein FOXP2 di otak perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Apakah kemudian menulis setara dengan berbicara? Dalam kasus tertentu, bicara terhadap diri sendiri dan mengeluarkan buah pemikiran memiliki tingkat kepuasan yang setara dengan bicara 20.000 kata sehari.

Saya bukan orang yang banyak bicara kepada orang lain. Karenanya menulis jadi semacam terapi untuk menyalurkan 'energi' yang dihasilkan oleh kelebihan protein yang melekat di otak. Meski sejujurnya, berbicara dengan orang yang bisa memahami buah pikiran kita lebih menyenangkan ketimbang ngomong sendirian.

Seiring perjalanan waktu, menulis di blog maupun menjadikannya sebuah buku, menjadi sebuah profesi. Ada kepuasan tersendiri ketika apa yang kita sukai dapat memberikan penghasilan. Tidak dipungkiri bahwa aktivitas nge-blog saat ini sudah bisa dikonverskan dari networking menjadi networthing. Meski belum sampai di tahap puas atau masih di tahap 'don't stop until you proud', namun pelan-pelan mulai ada kebutuhan lain.

Manusia selalu bertumbuh bukan? Tidak ada manusia yang stuck di satu hierarki anak tangga kebutuhan. Maslow bilang kebutuhan tertinggi kita adalah aktualisasi diri. Di puncak tertinggi tangga kebutuhan manusia, ada keinginan kuat untuk menyentuh langit. Saat itulah manusia mulai digelitik dengan kata 'misi'. Pertanyaannya bukan lagi apa tujuan kamu nulis di blog, tetapi apa misimu?

Ketika sedang jenuh, saya mulai merasa kalau alasan menulis yang didiorong oleh 'passion' atau 'profession' tidak lagi cukup memberikan semangat atau suntikan energi. Passion adalah sesuatu yang kita sukai dan bisa atau mahir kita lakukan. Sementara Profession adalah sesuatu yang kita bisa lakukan dan kita mendapatkan penghasilan dari apa yang kita kerjakan tersebut. Mission adalah irisan antara hal apa yang kita sukai dan apa yang dibutuhkan oleh dunia.

Kata 'mission' memang menggelitik kaki untuk menapaki tangga yang lebih tinggi. Bukan karena sifat manusia yang nggak mudah puas, tetapi karena jiwa manusia memang didesain untuk terus bertumbuh menggapai langit.

Hal yang sama juga rasa-rasanya mulai saya rasakan. Terlebih ketika beberapa waktu lalu berdiskusi dengan seorang teman yang berkata begini : "Semua orang sudah pernah menulis tentang sesuatu, misalnya tempat wisata A, dengan cara yang sama, apa itu nggak bikin jenuh yang baca? Aku pengin nulis yang anti-mainstream,

"Ya, itu tantangan buat kita untuk menulis sesuatu yang beda," balas saya, meski di dalam hati. 'Asem ik, ini lho, yang bikin saya dari kemarin ingin belajar menulis feature yang nggak gini-gini aja. Udah mulai jenuh nulis dengan sudut pandang yang gini-gini terus.'

Apa yang dibutuhkan dunia?

Ada lagi peristiwa yang tambah memantik keinginan untuk menapaki tangga mission.

Teman saya, seorang jurnalis, pernah menulis pesan begini? "Oh gini tho, ternyata imbasnya aku blusukan ke pasar dan bikin liputan tentang naiknya harga-harga di pasar, supaya suara-suara pedagang pasar atau malah petani bisa didengar sama pemerintah. Kalau gini aku jadi tahu gunaku jadi wartawan ekonomi. Nggak apalah aku nggak mesti blusukan di tempat elit, yang penting suara-suara kecil ini kedengeran sama yang di atas."

Menusuk banget bacanya.

Lalu saya menulis di blog, misinya apa? Apakah alasan nge-blog yang dulu masih relevan sama yang sekarang?

Ketambahan lagi waktu saya denger (lebih dalam) lirik-liriknya SID, terutama yang ditulis Jerinx. Kok saya makin pengin nangis yaa. Kaki-kaki gatel untuk menapaki tangga mission, tapi saya masih belum tahu apa yang saat ini dunia butuhkan, dan kemudian bisa saya sumbang dari hal-hal kecil yang saya sukai serta bisa saya lakukan.

Eh kenapa ke Jerinx jadinya? Iya karena semakin sering ngikutin berita soal dia, makin sadar kalau dia adalah salah satu contoh pemusik yang punya misi. Bukan sekedar nyanyi karena suka atau untuk ngumpulin materi semata. Ngikutin kan kasusnya dia sama VV, saat lagu Sunset di Tanah Anarki dinyanyikan versi dangdutnya sama VV. Pernyataan Jerinx di Instagram itulah yang semakin membuka mata saya. Simak sendiri deh, unggahannya di Instagram ini:

Mungkin banyak pertanyaan. Kenapa baru sekarang saya sentil VV? Simpel. Karena album SID yg baru saja rilis ini penuh akan lagu potensial yg sangat mungkin dijadikan versi dangdut/koplo nya. Dan jika kami diamkan, bisa jadi VV, atau penyanyi semacam dia akan melakukannya lagi; memperkaya diri memakai karya orang lain sekaligus membunuh ruh dari karya tersebut.  
OK 2013, lagu Sunset di Tanah Anarki kami ikhlaskan, mindset kami saat itu cukup naif; anggap saja membantu struggling musician. Sampai dia bikin DVD segala, dikomersilkan, rapopo

Nah, kekesalan ini muncul setelah melihat transformasi seorang VV. Di mana posisinya saat ini, VV harusnya sudah belajar jadi manusia, jangan bisanya hanya mengambil saja. Selama ini nyanyi SDTA ribuan kali, lirik lagu kami ga ada artinya bagi dia? Setelah sukses, apa yg kamu bisa lakukan utk mengapresiasi karya yg membawamu ke tempat yg lebih baik?

Dengan followers berjuta, minimal berkontribusilah utk gerakan melawan lupa, atau pelurusan sejarah 65, perjuangan Kendeng, dll, ada banyak sekali hal yg bisa VV lakukan tanpa harus keluar duit SID sudah pasti akan bangga jika VV, atau siapapun yg hidup dari karya SID, manfaatkan fame nya utk cinta yg lebih besar. Bukan hanya tuk perkaya diri dan keluarganya.
Ini yg membuat saya marah.

Selama ini nyanyi SDTA apa ya yg ada di dalam kepalanya? Lagu ini pesannya besar, sungguh humanis, pun disampaikan dengan lirik dan video klip yg sangat literal. Wajar saya merasa mereka dengan sadar merendahkan substansi lagu ini atas nama popularitas semata. Itu sangat manipulatif dan menjijikkan Saya ga akan nuntut nominal apapun dari VV atau penyanyi lain yg pernah/masih hidup atas karya SID. Hanya berharap kalian lebih bijak ketika berurusan dengan musik kami. SID bukan cuma band. Kami lebih besar dari hiburan. Uang, fame, rupa, bukanlah segalanya, ada hal yg lebih tinggi bernama INTEGRITAS. Terima kasih, JRX



Nangkep kan ya, maksud saya nulis apa, hahaha? Semoga nggak ngelantur kemana-mana nih. Akhir cerita, saya mau menutup tulisan ini dengan lirik 'Ketika Senja' milik SID. Paling asyik emang baca tulisan ini sambil dengerin lagu-lagunya SID dan ngopi. See you di tema berikutnya, yes.

Ketika senja perlahan mulai tenggelam
Di balik gelap kan datang kemenangan
Tanggalkan sayap dan lepas tanduksetanmu
Yang ada hanya kebenaran semesta.

Dan kita para tentara, para pejuang waktu,
Tanah ini, luka ini demi esok yang lebih bersinar
Terus bersinar, cahaya cinta berpijar,
Dendam bukan mahkota, anggunlah kau bersinar
Kejar dan kejarlah jawaban atas misteri hidup dan
Peristiwa yang kan menggetarkan istana. 

2 comments:

  1. Mantebh...mantabh betul. Kerangkanya sdh sgt urut alurnya. Sukak deh aplikasi lagu or game berkaitan dgn alur cerita...masyuk bgt.
    Pantes bgt Nia sering juara...TOP BGT ginih owk.

    Btw, lbh aware dong ah sm ejaannya 😉

    ReplyDelete
  2. Keren banget mbak. Aku manggut2 mengiyakan tulisan mbak kalau perempuan emang butuh ngeluarin 20ribu kata. Berbobot banget tulisannya. Sukaaak semoga kelak aku bisa nulisnya secerdas ini.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.