Alasan Kenapa Resolusi Awal Tahunmu Selalu Gagal dan Kenapa Harus Mencoba Tantangan Berubah Dalam 21 Hari

Alasan Kenapa Resolusi Awal Tahunmu Selalu Gagal dan Kenapa Harus Mencoba Tantangan Berubah Dalam 21 Hari

Awal tahun menjadi momen bagi kebanyakan orang untuk me-restart hidupnya. Biasanya diawali dengan membuat resolusi. Aroma optimisme selalu tercium setiap awal tahun, namun tidak semua resolusi yang ditulis bisa diwujudkan sepanjang tahun. Ini beberapa alasan kenapa resolusi awal tahun yang kita buat lebih sering gagal ketimbang berhasil. Dan kenapa kita harus menantang diri sendiri untuk bisa berubah dalam waktu 21 hari.


Sebelum memulai lebih jauh, sudah tahu dong, apa arti kata dari 'resolusi'? Kalau ditangkap sekilas, makna resolusi bisa berarti membuat kembali sebuah solusi. Untuk apa? Ya, untuk permasalahan-permasalahan yang kita jalani dalam hidup. Setiap tahunnya kita pasti menghadapi isu yang berbeda-beda, bukan? Kalau tahunnya sudah berganti, resolusinya mengikuti. Meskipun isinya bisa jadi sama, atau malah yang tahun sebelumnya belum terwujud.

Apa itu resolusi

Kalau mengikuti KBBI, arti kata 'resolusi' seperti yang dijelaskan pada gambar di atas. Intinya, resolusi itu berisi tuntutan tentang suatu hal. Jadi, kalau kita menulis 'Resolusi 2019' artinya kita sedang membuat daftar tuntutan untuk diri sendiri yang harus dilakukan selama tahun 2019.

Dari penjelasan di atas saja sebenarnya sudah dapat dikira-kira apa yang membuat kita sering gagal mewujudkan resolusi yang dibuat di awal tahun.

Alasan Kenapa Resolusi Awal Tahunmu Selalu Gagal dan Kenapa Harus Mencoba Tantangan Berubah Dalam 21 Hari.


empat alasan kenapa resolusi awal tahunmu selalu gagal


Tuntutan Dibuat Oleh Diri Sendiri, Diharapkan Dapat Dilakukan Sendiri, Kemudian Dilanggar Sendiri.

Masalah pertama yang menyebabkan mengapa kita gagal 'menuntut' diri sendiri adalah karena kita membuat daftar tersebut tanpa tendensi yang serius.

Ibaratnya gini, siapa juga yang 'mengharuskan' kita membuat daftar tersebut? Sebenernya, nggak membuat resolusi awal tahun pun nggak bakal gimana-gimana, kan? Jadi, ketika sudah menuliskannya, perkara nanti mau mewujudkan resolusi itu atau tidak ya, terserah, dong.

Coba kalau yang menuntut kita orang lain atau keadaan, kita mungkin bakal lebih serius menyikapi daftar tuntutan tersebut. Jadi, sebelum mulai menuliskan apa saja tuntutannya. Tulis atau buatlah daftar tuntutan atau resolusi yang menuntut untuk segera diwujudkan.

Tidak Ada Urgensinya.

Yang kebanyakan terjadi saat menuliskan resolusi adalah kita menuliskan hal-hal yang tidak ada nilai urgensinya. Contohnya begini, di resolusi 2019 ini, misalnya kita menuliskan ingin ganti mobil baru.

Oke, bentar jangan nyinyir dulu mengatakan saya kok, ngurusin resolusinya orang. Kan suka-suka dia kalau mau punya mobil baru.

Yang mau saya bahas di sini adalah kalimat 'Ingin punya mobil baru.'

Kalau kita bedah artinya, dari kalimat tersebut berarti yang bersangkutan sudah punya mobil dan ingin ganti yang baru.

Bedakan dengan resolusi yang ini : Ingin segera punya mobil karena dibutuhkan untuk mengangkut pesanan kue dalam skala yang lebih besar. Saat ini masih mengandalkan OJOL untuk membantu pengiriman.

Atau ini : Mau ganti mobil karena mobil yang lama sudah sering banget minta servis, biayanya sudah melebihi dana darurat yang disiapkan untuk servis. Biaya servis lebih baik dikumpulkan untuk membantu bayar cicilan mobil yang baru.

Sama-sama ingin punya mobil, tetapi yang satu hanya ingin mobil baru, yang satu lagi ingin punya mobil baru karena ada kebutuhan penting yang cukup mendesak, bukan sekadar keinginan semata.

Ketika ada nilai urgensi di dalam sebuah tujuan kita akan mengerahkan fokus dan energi untuk mewujudkan hal tersebut.

Saat Menuliskan Sebuah Resolusi, Kita Hanya Menuliskan Hasil Akhirnya Saja. 

Kebanyakan yang kita tulis dalam resolusi adalah hasil akhirnya, bukan proses atau langkah-langkahnya. Misalkan isi resolusinya begini : 'Menuju langsing 2019' atau '2019 ganti berat badan'.

Kalimat tersebut, di otak kita hanya akan terdengar sebagai sebuah judul belaka, bukan sebuah instruksi. Padahal otak kita akan lebih merespon kalimat semacam ini : Saya harus berolahraga minimal tiga kali dalam seminggu, memperbanyak asupan air putih, dan mengurangi asupan karbohidrat serta tidak makan malam setelah pukul tujuh malam.

menuju langsing 2019
Jangan cuma menuliskan hasil akhir saja, tetapi tuliskan juga langkah-langkah atau proses untuk mencapai hasil akhir tersebut. Contohnya, seperti gambar di atas.

Jika yang kita tulis adalah langkah-langkah maka sebenarnya sejak awal otak akan mendorong perubahan perilaku yang kemudian, jika konsisten dilakukan, akan membuat kita bisa mewujudkan hasil akhir, yaitu berat badan turun dan tubuh lebih langsing.

Daftar resolusi seringkali gagal dilakukan karena yang kita tulis selalu soal hasil, bukan prosesnya. Hati-hati juga lho, dalam menuliskan hasil akhir karena bisa saja hasil akhirnya tercapai, tetapi dengan cara yang tidak menyenangkan, misalnya turun berat badan dan jadi langsing karena mengalami sakit.

Tidak Time Bound.

Setelah menurunkan tujuan akhir ke dalam langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan, selanjutnya adalah membuat batasan waktu agar resolusi itu memiliki nilai motivasi. Seringnya setiap kali membuat sebuah resolusi, kita tidak menggunakan batasan waktu yang jelas.

Misalnya ingin menguasai software editing video agar bisa memproduksi konten video sendiri. Tapi kemudian selain tidak menuliskan langkah-langkah pembelajarannya apa, juga tidak menyertakan berapa lama kita ingin menguasai keterampilan tersebut.

Atau misalnya ingin bisa bicara Bahasa Jepang dengan lancar sehingga suatu hari saat ke Jepang bisa ngomong Bahasa Jepang. Resolusi seperti itu makin tidak jelas lagi. Kapan mau bisa Bahasa Jepangnya, dan kapan mau ke Jepangnya?

Berbeda dengan begini, dalam waktu tiga bulan saya harus sudah menguasai 1000 kosa kata Bahasa Jepang dan menerapkannya dalam sebuah konteks pembicaraan. Untuk itu, saya harus mulai kursus Bahasa Jepang dari Bulan Januari hingga April secara intensif.

mengubah kebiasaan dalam 21 hari

Ada juga penelitian ilmiah yang mengatakan bahwa kita bisa menantang diri sendiri untuk berubah dalam waktu 21 hari. Memang, 21 hari atau tiga minggu adalah waktu terpendek yang bisa kita gunakan untuk mengubah sebuah kebiasaan.

Setelah 21 hari, seseorang bisa memanjangkan waktunya hingga satu bulan, kemudian tiga bulan, dan seterusnya hingga kebiasaan baru mulai menetap. Untuk memulai sebuah kebiasaan baru, kita memang harus konsisten melakukannya dalam kurun waktu tertentu. Dua puluh satu hari sebenarnya adalah waktu minimal, namun agar perubahan perilaku lebih melekat butuh sekitar tiga bulanan.

Resolusi Personal di 2019.


Oke, sekarang saya ingin mempraktekkan hal tersebut terhadap beberapa resolusi yang dirumuskan untuk tahun 2019 ini. Ini sebagian dari resolusi personal yang saya buat :

resolusi personal 2019

Resolusi pertama yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang digeluti saat ini, yaitu sebagai content writer dan content creator untuk sebuah usaha di bidang digital marketing creative. Resolusi saya terkait dengan hal tersebut adalah ingin mengembangkan usaha dengan optimal dan lebih produktif.

Untuk itu, saya harus meningkatkan skill dan pengetahuan di bidang digital marketing. Jangka waktu yang harus dicapai adalah tiga bulan. Jadi, selama tiga bulan tersebut saya harus belajar beberapa hal terkait digital marketing.

Menyelami dunia digital marketing ibarat melacak lokasi harta karun yang tersembunyi dengan mengikuti satu petunjuk yang mengarah ke petunjuk yang lainnya. Setelah menggelutinya selama setahun terakhir ini, saya menyadari kalau mulai membutuhkan mentor.

Mulanya karena belajar secara otodidak, saya merasa seperti sedang memecahkan teka-teki untuk keluar dari sebuah labirin. Dapat satu petunjuk, jalan lagi untuk memeroleh petunjuk berikutnya.

Jadi, ketika sudah memahami satu aspek tertentu, misalnya copy writing, ternyata kemudian dari sana masih harus mendalami keterampilan lainnya lagi, misalnya social media advertisingcontent marketing, SEO dan SEM, dan seterusnya.

Di era digital ini tentu saja saya bisa belajar dari berbagai sumber, salah satunya internet. Beberapa kali saya juga belajar melalui kanal Youtube, namun lagi-lagi karena proses belajarnya kurang sistematis, saya malah seringnya merasa tersesat dalam labirin dunia digital marketing.

Menemukan Mentor Belajar Digital Marketing Dengan Dumet School. 

Kemudian, saya menemukan Dumet School. Awalnya masih meraba-raba, Dumet School tuh, apa sih? Kemudian ketika saya meluangkan waktu untuk mempelajari isi lamannya, saya mulai mendapatkan pencerahan. AHA! Ini nih, yang saya butuhkan.

Dumet School ini merupakan sebuah tempat kursus yang menyediakan pelatihan intensif seputar dunia digital, mulai dari belajar membuat web design dari nol, digital marketing, belajar desain grafis, sampai belajar membuat aplikasi untuk Android.

Kalau melihat portofolionya, Dumet School ini sangat kredibel. Muridnya saja sudah ada sekitar 8000-an, kemudian yang pernah diberikan pembelajaran bukan cuma perorangan tapi juga instansi pemerintah dan perusahaan swasta ternama.

Saya mencoba menelusuri program-programnya juga, ternyata ada beberapa kelebihan, seperti jadwal belajar yang bisa dipilih sesuai waktu luang sehingga tidak mengganggu aktivitas utama. Apalagi sebagai seorang Ibu, tentu saja harus bisa mengatur 24 jam yang dimiliki, bukan hanya untuk pribadi tetapi juga untuk anak dan keluarga.

Kelebihan lainnya adalah kelas bersifat semi private sehingga bisa lebih intensif dan cepat menguasai karena interaksi yang leluasa. Periode kursus juga tidak dibatasi, jadi kita bisa mendapat jaminan untuk menguasai materi sampai bisa. Yang terakhir, adanya dukungan belajar dari para pengajar sampai kapan pun. Jadi, bisa berkonsultasi meski periode kursus sudah berakhir.

Waktu baru pertama kali buka lamannya saja, saya langsung ditanya 'apa paket kursus yang saya butuhkan?'. Begitu lihat ada kata 'digital marketing, saya langsung menaruh harapan. Asyik nih, ada tempat buat menimba ilmu.



Selanjutnya saya langsung klik bagian yang tertulis 'Digital Marketing', dan yang pertama saya simak adalah video testimoninya. Sebuah video bisa menyampaikan pesan lebih banyak, konon satu menit video terdiri dari 1,8 juta kata. 




Kelebihan yang ditawarkan oleh Dumet School sangat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh saya saat ini. Terutama ketika mempelajari tentang teknik SEO. Beberapa kali bertukar pikiran dengan praktisi SEO yang mengatakan bahwa faktor untuk bisa membuat sebuah konten nangkring di halaman satunya mesin pencari itu banyak sekali dan terus berkembang mengikuti algoritma mesin pencari.

Nah, dengan belajar bersama Dumet School, saya memiliki jaminan untuk bisa mengonsultasikan perkembangan di dunia SEO yang sangat pesat tersebut. Jadi, sewaktu-waktu ada perkembangan atau perubahan pola saya masih bisa berkonsultasi.

Nantinya ilmu yang sudah didapat akan saya terapkan bukan hanya untuk mengelola website pribadi, tetapi juga untuk website dan konten-konten milik klien-klien di perusahaan yang saya rintis, yang kebanyakan adalah UMKM dan UKM. Saya sangat berharap ilmu yang saya miliki bisa membantu mengoptimalkan usaha mereka.

Apalagi di era digital saat ini, pemasaran akan jauh lebih efektif jika mengikuti perkembangan perilaku konsumen yang sudah bergeser ke 'pasar digital'.



Dumet School bisa menjadi salah satu langkah atau strategi yang bisa saya pilih untuk mencapai resolusi yang pertama. Bukan untuk resolusi yang pertama saja sih, karena sepertinya saya juga perlu meningkatkan skill di bidang video editing.

Kebutuhan itu bermula ketika perilaku anak-anak saya mulai bergeser, dari yang tadinya meluangkan waktu bermain atau menonton televisi yang cuma dibatasi dua jam sehari, berubah dengan menonton Youtube.

Masalahnya, saya sering gregetan kalau ikut menyimak konten-konten di Youtube yang diperuntukkan bagi anak-anak. Kadang kontennya kurang mendidik atau malah mendorong konsumerisme. Sejak itu, kepikiran untuk mengajak anak-anak membuat konten, bukan hanya menjadi penonton saja.

Setelah berhasil membuat saluran sendiri di Youtube, kemudian giliran PR berikutnya, yaitu mengisi konten. Rupanya setelah membuat konten beberapa kali, jadi makin terasa kebutuhan untuk belajar proses editing video. Untuk bisa mengedit video dengan lebih ciamik dan variatif, nggak bisa cuma mengandalkan software editing dari ponsel saja.

Saya juga harus belajar After Effect atau Adobe Illustrator. Di Dumet School, juga ada kursus untuk video editing. Dalam rencana saya, jika sudah mahir atau berhasil mencapai resolusi yang pertama dalam jangka waktu tiga bulan, saya juga ingin berinvestasi untuk mempelajari teknik-teknik video editing.

Tentunya dengan harapan, konten Youtube yang saya buat bersama anak-anak bisa menghasilkan tayangan yang bermanfaat. Selain juga untuk melatih anak-anak menjadi 'creator', bukan sekadar penonton atau follower.

Menuliskan sebuah resolusi juga harus diiringi dengan manfaat-manfaat apa saja yang bisa kita bagi untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Dengan begitu, 'tuntutan' tersebut semakin terasa penting untuk segera diwujudkan.

Setidaknya tiga dari resolusi personal 2019 yang saya buat telah memiliki langkah-langkah praktis yang bisa mulai dijalankan saat ini, salah satunya adalah dengan mencoba mengikuti kursus. Untuk teman-teman yang memiliki resolusi yang sama, dan telah menyusun langkah-langkahnya, tidak ada salahnya menjadikan Dumet School sebagai mentor yang bisa membantu mewujudkan resolusi 2019.



2 comments:

  1. Baca tulisan Mbak Nia ini ada sebagian resolusiku yang kubenahi. Ya, karena memang hanya konsen di hasli akhir. Nggak ada urgensi dan time boundnya.

    ReplyDelete
  2. Ah, berarti emang harus lebih spesifik lagi ya mba biar lebih terpacu. Nice, bisa buat meralat resolusi yang udah aku buat nih.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.