Menjaga Imunitas Mental Di Tengah Pandemi Covid-19




Apa yang diam-diam terasa berat di tengah pandemi ini, namun luput kita berikan perhatian? Jawabannya mungkin imunitas mental. Kalau imun tubuh, kita barangkali sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi mental terkadang terabaikan. Padahal mental yang kuat juga dibutuhkan untuk menghadapi masa yang penuh ketidakpastian ini. Berikut ini beberapa cara menjaga imunitas mental di tengah pandemi Covid-19



Masih ingat, dua tahun lalu adalah pertama kalinya saya berkenalan dengan Pak Kafi Kurnia dan mendengarkan cerita beliau tentang bagaimana suatu hari nanti Indonesia akan menyongsong kembali masa kejayaannya.

Ada rasa hangat dan semangat yang mengalir di dada sehabis mendengarkan cerita beliau. Saya pun jadi tergerak untuk membaca kembali sejarah tentang Indonesia, atau Nusantara, di masa kejayaannya. Dari mulai kisah sejarah hingga kulinernya.

Diam-diam, saya pun memupuk harapan dan juga membuat daftar impian dan cita-cita pribadi yang ingin diraih. Momen untuk Indonesia akan datang, dan saya ingin siap ketika waktu itu tiba sehingga bisa memanfaatkan momentum. Impian atau cita-cita bakal lebih mudah diraih kalau momentumnya tepat, bukan?



Namun siapa yang mengira, 2020 kita justru berhadapan dengan pandemi Covid-19. Dalam sekejap beberapa rencana harus berubah.

Di seluruh dunia, hampir semua lini terkena dampak, banyak sendi yang tiba-tiba lumpuh. Tapi saya masih terus berharap agar sendi semangat setiap orang, khususnya Bangsa Indonesia tetap kuat.

Secara individual, ternyata memang butuh ketahanan mental untuk, minimal bisa merasa semangat, menjalani hari-hari kita saat ini. Jangan sampai berada di tahap harus mengembalikan kewarasan.

Selama masa pandemi ini, saya dan anggota keluarga yang terpisah menjadi lebih sering bertukar kabar dan saling mendoakan meski berjauhan.




Saat ini kita harus pintar-pintar mengatur dosis yang tepat untuk segala hal bagi diri sendiri.

Apa saja yang dapat dilakukan untuk menjaga imunitas mental di tengah pandemi ini :


1. Konsumsi berita seperlunya. Batasi berita yang bermuatan negatif dan membuat pesimis.




Ketika sudah di ambang rasa letih menyimak berita yang lalu lalang di linimasa. Ketika otak menjerit meminta fakta-fakta lantaran makin sulit menyimak mana asupan berita yang dibutuhkan untuk waspada, mana yang hanya membuat merana : panik, pesimis akan masa depan, dan makin pesimis lagi melihat tingkah homo sapiens_padahal diri ini juga manusia. Maka lakukanlah social media distancing.

Ambil jarak, pilah berita yang dibutuhkan untuk menjaga level kewaspadaan tanpa menjadi ignorant.

2. Bekali diri dengan pengetahuan dan pelajari hal baru. 




Banyak sekali berita dan wacana yang beredar terkait pandemi Covid-19 ini. Kita juga mungkin berpikir bahwa makin banyak orang yang membagikan ilmunya, juga pendapatnya terkait hal tersebut.

Alih-alih merasa dibombardir dan merasa bingung mengapa seolah banyak 'ahli' baru bermunculan, cobalah belajar active listening kemudian cari tambahan ilmu baru mengenai wacana yang ada.

Ketimbang hanya menunggu waktu untuk ikutan memberikan opini. Latihlah diri menjadi penyimak. Tidak semua hal perlu kita sambut dengan komen atau opini pribadi.



Jangan sesaki pikiran dengan merespon hal yang nggak perlu. Kita nggak perlu jadi ahli komen untuk semua wacana.

Jangan menutup diri dengan ilmu baru, manfaatkan kelas-kelas belajar online sesuai kebutuhan. Pelajari materi yang memiliki keterkaitan dengan apa yang sedang atau akan kita kerjakan di saat ini, atau di masa depan.

Dalam Psikologi Belajar, belajar adalah suatu cara mengarah pada perubahan perilaku. Dengan belajar, stress justru dapat diturunkan kadarnya dan menaikkan kesehatan mental. Hal itu karena pada saat belajar, kadar hormon endorphin di otak kita naik. Hormon tersebut sama seperti natural pain killer yang juga dapat menaikkan imunitas tubuh.


3. Akses kembali suara hati, dengarkan diri sendiri. 


Saat berada di fase kritis, ada satu suara yang bisa memberi kita petunjuk, yaitu suara yang sama yang berkata kita sedang lelah, tetapi memaksakan diri. Suara yang sering bilang langkah itu salah, tetapi masih juga kita jalani.

Di saat-saat ini kembali dengarkan diri sendiri dan kenali kebutuhannya. Tata ulang prioritas berdasarkan kebutuhan tersebut.

Gunakan masa pandemi ini sebagai masa untuk membangun pijakan personal growth yang baru.



Luangkan waktu untuk merenung, meditasi, atau sekadar menyadari napas dengan menghitung tarikan dan hembusan napas dapat mengurangi rasa cemas.

Lari pagi sekalian hiking di tempat yang jauh dari orang-orang bareng anak-anak dan keluarga.


The world has enough speakers, be a game changer. You need to be a listener to your own intuition, a listener for mother of earth, but mostly a listener for what God whisper.

4. Sadari bahwa kita tidak sendirian menghadapi situasi ini. Seluruh dunia, 212 negara terdampak Covid-19. Dan ada 4,1 juta penduduk bumi yang positif. 



Meski tampaknya seolah Indonesia saja yang merespon dengan unik situasi ini, namun kenyataannya hampir semua negara juga tidak sempurna dalam menghadapi krisis ini. Ingat bahwa tidak ada yang pernah berlatih menghadapi pandemi ini sebelumnya.

Alihkan pada hal-hal positif tentang Indonesia ketimbang mencacat hal-hal yang menurut kita tidak ideal. Tetap tumbuhkan rasa bangga bahwa Indonesia pasti bisa melalui semua ini dan bangkit kembali.

Lakukan shifting di berbagai area agar bisa beradaptasi dengan the new normal.


5. Bangun dan pertahankan kebiasaan baik.


Kita sudah dua bulan lebih bekerja dan belajar dari rumah, rutin mencuci tangan dan berganti pakaian sehabis bepergian, memakai masker, juga physical distancing. Kalau dihitung-hitung sebenarnya kita sudah banyak melakukan proses pembelajaran hingga terjadi perubahan perilaku.

Konsumsi buah-buahan

Makan sehat

Berkebun

Kini tidak lagi sulit untuk tetap menjaga imunitas tubuh dengan tetap makan sehat dan berjemur sinar matahari pagi karena semua itu telah menjadi kebiasaan.

6. Latih otot altruisme atau menolong sesama, dimulai dari hal-hal kecil yang mampu kita lakukan.




Menjadi individu yang membantu atau memberi akan melatih mental kita menjadi lebih kuat. 

Saya belajar kondisi tersebut dari seorang penjual nasi goreng di daerah Depok, Semarang yang kebetulan langganan kami. Penjual nasi goreng itu bercerita bahwa di masa pandemi ini dia tetap berusaha berjualan meski hasil berjualannya turun drastis. 

Ia tetap berjualan meski sebenarnya merugi dan hanya bisa membayar karyawannya saja. Baginya lebih baik ia tetap berjualan agar tidak perlu merumahkan karyawannya. Tetap bekerja dan bisa memberi sedikit membuat perasaannya jauh lebih baik ketimbang diam di rumah saja.

Hal tersebut jugalah yang saya coba ajarkan pada anak-anak, bahwa memberi meski sedikit akan membuat perasaan kita jadi lebih baik ketimbang hanya berpangku tangan. Anak-anak pun tahun ini imut menyisihkan uang jajan untuk ikut kami belikan sembako yang nantinya akan dibagi-bagikan.

Itu tadi beberapa hal yang bisa kita latihan untuk menjaga imunitas mental selama masa pandemi ini.

Ceritakan kalau kalian, apa yang dilakukan untuk menjaga imunitas mental?




13 comments:

  1. Iya mba, orang udah mulai perkuat imun mentalitas juga dengan kondisi saat ini yang semakin nggak pasti. Semua kegiatan dibatasi sampai kapan entah belum keliatan ujungnya.

    Tapi alhamdulilah, di Semarang kasusnya udah mulai nglandai. Semoga Semarang segera sembuuh duluan.

    ReplyDelete
  2. Banyak hal yang bisa kita lakukan agar tetap waras di tengah masa pandemi ini ya, mbak. Terima kasih ide2nya.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih tips2nya mba.. Beberapa sdh kulakukan dan yg lain smoga smog kucoba juga. Beradaptasi dg kondisi saat ini, itu PR kita ya..

    ReplyDelete
  4. Menjaga kesehatan mental memang sangat perlu. Kalau saya menghindari orang-orang toxic juga bisa jadi bagian untuk menjaga kesehatan mental

    ReplyDelete
  5. Iya harus selalu berbahagia bagaimanapun situasinya, banyak yang hal yang perlu kita syukuri, mulai dari bisa berkumpul di rumah, semua sehat, makan cukup, Alhamdulillah..semoga segera membaik ya..

    ReplyDelete
  6. Baru tau ada otot altruisme. Ada salah satu teman yg bilang aku seorang altruis. Tp aku ga paham maksudnya. Aku pikir itu maknanta org yg dimanfaatkan org lain,benarkah?

    ReplyDelete
  7. saling menguatkan adalah hal yang kita butuhkan selain saling mengingatkan, kdang kita lupa untuk saling menguatkan bahwa wabah ini bisa kita lalui bersama

    ReplyDelete
  8. Selalu suka dengan tulisan mbak Nia kita nggak sendirian menghadapi pandemi ini. Harus tetap kuat dan mental tetap terjaga ya

    ReplyDelete
  9. Setuju banget dengan semua poin di atas. Menjaga kewarasan merupakan pilihan terbaik saat ini di tengah kegalauan melihat banyak hoax bertebaran dan kian menjamurnya para ignorant yang tak peduli sama sekali dengan kondisi saat ini.

    ReplyDelete
  10. Iya juga, ternyata nggak hanya Indonesia yang warganya berjubel di pasar atau mall. Di Pakistan, dan juga negara lain yang merayakan lebaran, pada kemruyuk beli kebutuhan lebaran, ya Allah.

    Yang bisa kita lakukan hanya menjaga diri dan keluarga, mengingatkan terus setiap hari kalo mereka kelupaan dengan prosedur keamanan dan kebersihan.

    ReplyDelete
  11. Bismillah semoga kiita bisa lewatin ini ya Mba Nia
    masyaAllah anak-anak sudah ditanamkan berbagi sejak dini, barokallah ya Mba meski diri sendiri terbatas akses tetep berusaha membagikan apa yang dipunya.

    ReplyDelete
  12. Setuju banget sama tulisan mb Nia. Untuk menjaga kewarasan mental, sekarang aku mulai membatasai buka-buka sosmed. Sekarang lagi sering2 quality time sama anak-anak dan suami aja. Kadang telpon2an sama orang tersayang juga, hihi. Itu aja bikin bahagiaaa

    ReplyDelete
  13. aku termasuk orang yang menghindari berita berlebihan. karena memang kalau udah liat berita yang agak gimana gitu pasti bawaannya parno sendiri, jadi mending agak ditutup sedikit mata dan telinganya

    ReplyDelete

Powered by Blogger.