Lukisan Boneka Salju

Lukisan Boneka Salju

Kurapatkan lilitan syal di leherku. Mencoba menghalau angin musim gugur yang rasa-rasanya seperti menembus  tenggorokan. Gatal dan membuatku batuk-batuk. Ughh, tidak ada yang mengingatkanku soal berapa batang rokok  yang sudah kuhisap, jengkel sekaligus rindu omelan itu. Geli rasanya menyadari Si Tua ini rindu dicereweti  anak sendiri. Gengsi. Baru bisa kuakui saat sendiri seperti ini.


Tidak ada Sam. Gantinya musim gugur tahun ini, cerewet sekali. Tubuhku diberisiki, tulang-tulang seperti berderit saat aku bergerak. Kepala sering putar-putar juga. Apa jadinya musim dingin sebentar lagi. Tulangku mungkin retak karena beku. Sudah saatnya mempertimbangkan tempat yang lebih hangat.

Meski kutahu, rasa dingin ini bukan sepenuhnya karena cuaca. Tetapi karena Sam pergi membawa  separuh kehangatan yang kumiliki.

Dulu waktu-waktu begini selalu yang terbaik di hidupku. Melihat puluhan lukisan di gantung di dinding koridor belakang rumah, yang memang disiapkan untuk mahasiswaku memajang karya dan mengumpulkan tugas-tugasnya. 

Puluhan kanvas tanpa bingkai. Bagian atasnya masih berpenjepit  besi, digantung di seutas tali yang diikatkan dengan paku yang menancap di dinding.  Aku dan Sam, kadang-kadang ia ikut juga, mengurasinya satu-satu. Tertawa, mengejek, mengumpat, terkagum-kagum bersama-sama sambil menyeruput coklat panas buatan Sam. Aku tak memiliki kesempatan merokok karena sebelum mahasiswa mengumpulkan tugas-tugas, Sam pasti sudah membuang rokokku, atau menyembunyikan pemantiknya.

Tema musim gugur memang selalu menarik perhatian sebagian besar mahasiswa seni di tempatku mengajar. Apa mungkin karena perpaduan warnanya mengingatkan akan kehangatan sekaligus kematian. Atau daun yang mengering dan jatuh punya makna kehidupan yang berakhir sekaligus permulaan sesuatu?

Sehingga dinding untuk memajang karya bertema musim gugur selalu saja di luar kotak perkiraan. Jangan harap ada yang boleh memindahkan pemandangan musim gugur hutan di Bancroft, Ontario, ke kanvas, karena sudah pasti aku akan memintanya mengulang mata kuliahku semester depan. 

Bancroft Ontario
Bancroft Ontario, dokpri


Tetapi tidak banyak yang bisa menerjemahkan tema musim gugur sebaik Sam kecil.

“Ibu, apa campuran warna untuk darah?”

Usianya enam tahun waktu itu. Dia brilian seni sepertiku_kalau aku boleh mengulang apa yang dikatakan orang-orang tentangku_meski kami tak sedarah.

Ivory black, warm orange, alizarin crimson, dan brilliant red, cairkan dengan terpentin agak banyak.”

"Tetapi, oranye yang itu tidak berbau seperti darah, Bu. Aku malah menciumnya seperti selai marmalade yang gosong di panci milik ibu."

"Kadang-kadang bau darah memang seperti itu, Sam. Ada manis-manisnya. Tetapi pahit di akhir. Entahlah, Sam. Coba saja campurkan dulu lalu pulaskan di kanvas. Tidak semua harus sesuai dengan apa yang kau endus, Sam. Biarkan sesekali penciumanmu salah memaknai sesuatu."

Sam punya kelebihan yang tidak dimiliki kebanyakan manusia di muka bumi ini yang mengalami apa yang disebut Sinestesia. 

Sam bisa mencium warna, ia bisa menerjemahkan warna sebagai bau atau aroma yang khas. Sam juga bisa menerjemahkan suara sebagai warna, misalnya suara roda kereta api ia terjemahkan sebagai warna kadru. Selain itu, ia juga punya kosa kata warna dalam berbagai bahasa yang bahkan asing di telinga orang Kanada sepertiku.

Kadru, kapisa, saliwah. Nama-nama warna yang diambil dari bahasa Indonesia. 

Bahasa ibunya adalah Inggris, tetapi di usia enam tahun, ia mulai tertarik sendiri belajar Bahasa Korea, itu bisa dijelaskan dari genetiknya. Tetapi Bahasa Latin, Sansekerta, Melayu, dan baru-baru saja menjelang ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, Sam bisa berbahasa Indonesia. 

Sejak kecil, bahkan secara fisik Sam memang unik. Ketika pertama kali melihatnya di usia kurang dari tiga tahun, Sam adalah balita berbadan gemuk, dengan mata sipit, hidung bangir, warna mata coklat keemasan, dan rambut ikal coklat yang tipis tidak beraturan. Warna kulitnya terlihat berbeda dari kebanyakan bayi lain yang cenderung putih pucat atau hitam. Kulit Sam berbeda, putih segar, dengan semburat pisang atau jeruk nipis yang belum terlalu masak.

Aku mengadopsinya di usia empat tahun kurang bukan karena penampilannya yang memikat, melainkan karena ia satu-satunya anak yang membuat pendampingnya di panti asuhan terpekik ketakutan saat melihat gambar nyentrik yang dibuat Sam. 

Melihat gambarnya itu, aku tahu, Sam brilian seni, dan akan sangat tepat jika aku yang menjadi ibunya. Tetapi lebih dari itu, aku memang benar-benar jatuh hati pada Sam. Mencintainya seperti ia adalah putraku meski tidak melahirkannya sendiri.

Sam pindah ke rumahku, tepat di hari ulang tahun keempatnya. Sore hari selepas memindahkan barang-barang ke kamarnya, Sam sudah merasa betah. Seolah rumahku adalah rumahnya yang lama ditinggalkan, dan aku adalah benar-benar ibunya, yang lama tidak ia temui.

Sore itu, salju turun dan Sam pertama kalinya membuat boneka salju di halaman belakang rumah kami.

Ibu, aku sayang. Kuharap cinta Ibu tidak akan meleleh seperti boneka salju ini.”

“Tidak Sam,” aku menggeleng. “Boneka salju akan meleleh saat musim salju usai. Tetapi cinta ibu tidak terikat musim. Akan terus bersinar sepanjang musim untukmu.

Aku memeluknya. Sambil mengusap rambutnya yang ditutupi serpihan salju. Setiap hari ulang tahunnya, Sam dan aku akan mengulang ritual yang sama. Membuat boneka salju, dan menyeduh coklat panas yang seketika akan membeku ketika kami bawa ke halaman belakang.

Ritual membuat boneka salju menjelang hari ulang tahun itu pun berakhir ketika Sam berusia 13 tahun, berganti dengan ritual melukis boneka salju, tetapi Sam tidak pernah bisa menyelesaikan lukisannya. Sehingga tiap tahun, Sam melanjutkan lukisannya dengan sedikit menambahkan warna yang berbeda pada latar belakang lukisan bergambar boneka salju itu.

Di usianya yang ke 22 tahun, aku baru mengetahui bahwa kemampuan Sinestesia Sam di musim dingin berkurang. Karena itulah ia malas melukis di musim dingin. Sam lebih suka membaca dan belajar bahasa di musim dingin. 

Sejak usia 18 tahun, ia mulai mengajar bahasa di berbagai tempat. Sam juga mulai menjadi penerjemah sejak kelas sepuluh. Sam meminta izin kepadaku agar di liburan musim dingin, ia bisa bekerja paruh waktu menerjemahkan buku. Sam juga banyak mencoba berbagai jenis pekerjaan paruh waktu, agar ia punya kesibukan sendiri dan tidak terus-terusan merecokiku melukis.

Sebagai gantinya, akulah yang melanjutkan lukisan boneka salju, Sam. Tetapi aku juga tidak berniat menyelesaikan lukisan itu karena aku ingin terus mempertahankan ritual yang kami lakukan saat hari ulang tahun Sam.

Setiap ulang tahunnya, lukisan boneka salju itu akan kukeluarkan dari gudang, lalu kutambahkan segores dua gores warna atau menambahi siluet, sambil menunggu Sam menyeduh coklat panas. Kami mengobrol di teras belakang sambil memandangi butiran salju yang turun.

Hidup bersama Sam tidak selalu semanis dan sehangat coklat panas. Ada lubang besar gelap yang tertinggal pada diri Sam, yang bisa mengisap apa pun di sekitarnya, tetapi lubang itu juga membuat Sam seperti seolah selalu mencari kepingan besar yang hilang untuk menambalnya.

Untungnya, Sam bertemu orang yang tepat, yang mengajarinya menambal kekosongan dengan hal-hal kreatif. Sam menguasai banyak hal, yang berkaitan dengan rasa dan warna. Tapi Sam tidak terlalu peka terhadap nada yang tertata. Itulah kenapa ia suka mencoba berbagai jenis pekerjaan. 

Aku pernah membawa Sam kepada Greta, Psikolog. Greta rekanku di kampus juga, kami pernah berkolaborasi saat mengadakan pelatihan Art Theraphy. Aku bertanya pada Greta, apakah ada penelitian yang bisa kubaca tentang bagaimana tumbuh kembang anak-anak yang tadinya adalah bayi yang dibuang orangtuanya. Greta memberiku literatur, yang membuatku bisa bilang : Sam memiliki lubang besar yang harus selalu ditambal seiring perjalanan ia menjadi dewasa.

Belakangan, Greta memberitahuku bahwa kekosongan tentang jati diri Sam yang membuatnya terus ingin mencoba hal baru. 

Sam berbeda sejak awal, dan itu tidak mudah, namun ketika aku memutuskan untuk menjadi ibunya, yang kusiapkan adalah amunisi kasih sayang yang tak terbatas. Karenanya ketika Sam begitu posesif terhadapku, aku tetap merasa nyaman-nyaman saja tidak mengembangkan diriku dengan memiliki pasangan. Lagi pula, Sam nyaris tidak pernah menyukai semua pria yang kukenalkan kepadanya.

Sam selalu awas dengan hal-hal yang berbau akan adanya ancaman perebutan jumlah energi dan kasih sayang yang akan dibagikan kepadanya.

Sam juga sulit untuk menerima orang lain dalam hidupnya. Di usia pubertas, Sam tumbuh jadi lelaki muda dengan keunggulan etnis yang unik. Aku pernah melihat So ji-sub, aktor Korea. Mirip dengan Sam, namun dengan rambut ikal kecoklatan. 

Penampilannya tentu tidak bisa disembunyikan dari mata lawan jenis. Tapi Sam bergeming dan hanya menyukai satu gadis dalam hidupnya. Amanda. Seorang perawat di pusat retreat pemulihan kesehatan mental di Ontario. 

Jika harus menuliskan daftar hal-hal menyebalkan dari Sam, aku mungkin tidak akan menjadi seorang ibu lagi baginya. Karena bagi seorang ibu, seberapa pun banyaknya hal tidak menyenangkan dari seorang anak, yang selalu diingat ketika tidak lagi bersama adalah hal-hal manis dan menyenangkan tentang anak itu

Bagaimana Sam menyiapkan sarapan ketika aku bangun kesiangan karena begadang mengoreksi tumpukan proposal milik mahasiswaku. Bagaimana Sam menyelimutiku ketika aku tertidur di studio. Bagaimana Sam selalu  menyempatkan menelepon di saat ia sibuk bekerja.

"Ibu tahu tidak, apa warna yang harus ibu kuaskan ke kanvas sekarang?"

"Apa, Sam?"

"Jerau, kadru, dan cemani, Bu. Aromanya seperti daging gosong."

"Kamu menggosongkan daging pesanan pelangganmu, Sam?"

"Iya, aku melamun memikirkan ibu dan pameran senimu dua minggu lagi. Tolong simpan rokoknya, angka tiga belas sangat-sangat buruk bagi kesehatanmu, Bu.""

"Tidak Sam, aku baru mengisap dua batang siang ini."

"Ibu bohong. Aku bisa menciumnya dari sini, Bu. Sehatlah untukku. Jika tidak bisa untuk diri ibu sendiri."

Sehatlah untukku. Jika tidak bisa untuk ibu sendiri.

Kalimat itu terus terngiang, bahkan ketika Sam sudah tidak lagi tinggal di rumah bersamaku. Ini sudah hampir satu tahun, beberapa minggu lagi menjelang hari ulang tahunnya yang ke-25.

Aku ingin menyeduh coklat panas di halaman belakang rumah, sambil melihatnya membuat boneka salju.

Semoga Sam, baik-baik saja di Korea, bersama ayah kandungnya.

***

Apa yang akan dipikirkan ibu jika tahu apa yang kukerjakan sekarang.

Namun di saat-saat seperti ini, semua tidak lagi penting.  Aku perlu segera menceklis pekerjaanku yang ke 106 ini, lalu pulang ke rumah. Mandi bersih-bersih kemudian membaca buku untuk me-reset kembali pikiran dan perasaanku.

Tetapi aku lupa, buku terakhir yang sedang kubaca tinggal sekitar delapan halaman lagi. Aku tidak mungkin mampir ke toko buku sepulang dari pekerjaan. Perlu membersihkan diri dulu. Harus sangat-sangat bersih. Aroma yang terbawa dari sini bisa melapukkan kertas-kertas di toko buku.

Aku tidak punya pilihan lain, selain mengambil salah satu buku yang cukup menarik untuk kubaca, dari rak di hadapanku. Sisanya kumasukkan ke kardus bersama barang-barang lain milik penghuni yang apartemennya sedang kubersihkan ini.

Sebelum memasukkan buku itu ke dalam tas plastik, kubersihkan dulu bagian sampul, punggung buku, dan bagian sampingnya, lalu kusimpan di dekat jendela yang terkena sinar matahari.

Selanjutnya, aku membersihkan lemari pendingin.

Udara dingin menguar ketika pintu lemari pendingin kubuka. Aku perlu melepas masker agar bisa mengendus bebauan dengan lebih baik. 

Kupilah semua barang di dalam: selusin minuman kaleng, semangkuk ramyeon yang tidak habis dan kelihatannya akan dihangatkan kembali, sekotak telur, sekotak tomat, dan sekotak coklat yang belum dibuka kardusnya.

Ah kenapa orang ini masih saja menimbun makanan dan minuman untuk seminggu, jika kemarin dia memutuskan untuk mati, sih?

Kubalik kotak coklat itu, dan melihat sebuah kartu ucapan terselip di bagian bawah wadahnya. Aku menarik kartu itu dan membacanya.

Sepertinya sekardus coklat ini akan diberikan pada seseorang yang disukai penghuni rumah ini, namun tidak kesampaian karena ia keburu memutuskan untuk mati. 

Aku bisa melakukan hal semacam itu. Perbuatan begitu tidak melanggar privasi siapa-siapa. Di pekerjaanku yang nomer  98 hingga 106 ini, identitas diriku saja selalu berganti-ganti. Agen yang mengirimku ke sini selalu memberiku identitas baru setiap kali mengunjungi tempat tinggal yang harus kubersihkan.

Aku bisa saja menjadi Sam Si Penata Interior, bisa juga menjadi Broker yang akan menjadi perantara bagi orang yang akan menyewa rumah. Tetapi ketika sudah di dalam, pekerjaanku adalah membersihkan tempat tinggal orang yang sudah meninggal sendirian.

Kasus kematian sendirian di Korsel


Kasus orang meninggal sendirian di Korea Selatan sangat banyak. Umumnya karena kasus bunuh diri. Selepas masa penerimaan pegawai negeri, kematian seperti  ini marak terjadi. Karena itulah ada agen yang menawarkan jasa pembersihan tempat tinggal kepada pemilik gedung atau bangunan yang terkena kasus rumah sewa atau apartemennya baru saja ditinggalkan oleh penyewanya yang bunuh diri atau sakit kemudian meninggal sendirian karena tidak punya kerabat.  

Biasanya pihak yang menyewakan rumah atau pemilik gedung yang akan menghubungi agen pembersih untuk melakukan revitalisasi ulang atas tempat tinggal yang ditinggal mati itu. Aku menjadi salah satu petugas pembersihnya.

Sejak pekerjaan ke 103, aku dinilai sebagai petugas terbaik oleh agenku. Pendapatanku  cukup besar. Rumah yang kubersihkan tidak meninggalkan sedikit pun ‘bau bekas kematian’ hingga penyewa selanjutnya bahkan tidak akan pernah tahu bahwa di tempat yang akan mereka tinggali ini pernah ada orang yang berjuang melawan sakratul maut sendirian.

Petugas 004 sangat handal. 

Aku membersihkan setiap senti dari bagian rumah dengan bantuan penciuman dan pengelihatanku terhadap warna. Kertas pelapis dinding, gorden, saringan air di wastafel. Semua harus bebas dari jejak kematian.

Pada awal mengerjakan pekerjaan ini, aku sering bermimpi buruk. Masuk ke sebuah rumah dan melihat sesosok tubuh yang kaku, lalu menjumputi belatung dan memasukkannya ke dalam tas secara berulang-ulang, namun belatung itu tidak kunjung habis. 

Namun mimpi itu berakhir ketika aku mulai bersikap positif terhadap apa yang kukerjakan.

Apa jadinya jika Tuhan tidak menciptakan orang-orang semacam aku. Bagaimana nasib jasad manusia yang tenggelam di lautan karena sebuah kecelakaan pesawat, lalu keluarganya sangat ingin melihat jasad itu, meski hanya berupa serpihan?

Berterima kasihlah ada petugas safe and rescue yang mau menyelam ke kedalaman lautan untuk mengumpulkan serpihan potongan tubuh agar bisa dikremasi dan dimakamkan dengan layak oleh keluarganya. Kurang lebih seperti itulah. Sejak itu, aku selalu merasa pekerjaanku bukan sebuah mimpi buruk.

Tetapi jika ibu tahu aku melakukan pekerjaan ini, dia pasti akan merasa sedang menjalani sebuah mimpi buruk. 

Bahkan mungkin sejak aku memutuskan untuk mengikuti keinginan ayah kandungku untuk ikut dengannya ke Korea, ibuku sebenarnya sedang menjalani mimpi buruknya.

Tetapi bersabarlah, Bu. Aku akan segara pulang Aku akan meninggalkan Korea tanpa campur tangan pria itu. 

Sebelum musim gugur tahun depan, aku pasti akan kembali. 

Sebenarnya, aku tidak sepenuhnya melakukan pekerjaan ini karena uang. Meski di depan rekan-rekan yang lain aku harus mengatakan sebaliknya.

Aku memilih jalan ini karena ingin lari dari ayahku. Mungkin tidak sepenuhnya tepat jika kusebut ayah, karena dia tidak pernah hadir dalam hidupku bahkan sejak ibu biologisku masih mengandungku. Tetapi karena ingin mengorek lebih banyak sejarah hidupku, aku berpura-pura menaruh hormat dan memanggilnya ayah.

Pria itu memiliki sebuah perusahaan yang bergerak di jaringan pemasaran produk makanan di Korea. Ia cukup kaya dan terpandang di sini. Ia memintaku ikut agar aku bisa belajar bisnis dan melanjutkan usahanya. Ia tidak memiliki pewaris yang merupakan darah dagingnya sendiri. Ia tidak ingin perusahaannya jatuh ke tangan orang lain yang tidak bisa dikendalikan. Singkatnya begitulah motif yang tertangkap ketika aku dibawanya ke kantor untuk bekerja di sana selama kurang dari sebulan.

Tetapi tentu tidak sesederhana itu. Aku mencium banyak ketidaktulusan, namun belum bisa membuktikannya. Jadi kuputuskan untuk keluar dari sana, dan kubilang kalau aku akan menghidupi diriku sendiri selama tinggal di Korea. Kubilang padanya lagi, aku ingin mencari pengalaman hidup di Korea mulai dari titik nol dan akan menemuinya jika sudah berhasil. 

Aku memulai dari pekerjaan sederhana, mengangkut barang di pasar, kemudian menjadi asisten tukang masak, kemudian dipercaya memasak di sebuah kedai. Namun, pria itu kembali menemukanku dan memintaku kembali ke rumah dan bekerja untuknya.

Aku marah besar ketika mendapati kenyataan perlakukan buruknya terhadap ibu kandungku, dan memutuskan pergi diam-diam dari rumahnya. Aku mencari pekerjaan yang tidak mudah ditelusuri oleh radarnya. Pekerjaanku sekarang memungkinkan untuk itu karena identitasku pun disamarkan oleh agen yang mempekerjakanku. Pemilik gedung tak pernah ingin orang lain tahu bahwa ada orang sepertiku yang bertugas untuk menghapus jejak kematian. 

Aku berencana, 106 adalah pekerjaan terakhirku. Setelah itu, aku ingin segera mengurus kelengkapan untuk kembali pulang ke Kanada. 

Mandi dengan bersih, membaca buku, lalu berkemas. 

Namun, dalam perjalanan pulang ke rumah, agen mengirimiku sebuah alamat di luar kota yang harus kudatangi. Pekerjaan 107 yang harus kuselesaikan. Aku diminta datang ke tempat itu lusa.

Pagi yang dingin, begitu pun suasana hati dan lingkungan yang kudatangi. Saliwah dan kinatan adalah warna yang tepat untuk melukiskannya. Bahasa Indonesia memang kaya dan indah. Aku ingin membawa ibu berkunjung ke sana, agar yang ia lukis bukan hanya dewangganya musim gugur. Meski hanya ada dua musim, kudengar negeri tropis itu memiliki warna-warna eksotik. Selain itu udaranya juga hangat. 

실례합니다, sillyehabnida, bisikku sebelum membuka pintu. 

Aku masuk ke dalam sebuah gudang keramik yang memiliki studio seni kecil di lantai atasnya. Aku menekan lift dan sampai di sebuah ruangan yang dikelilingi jendela kaca. Pemandangan dari lantai atas terlihat lebih indah. Pilihan seniman yang menyewa studio ini memang tepat. 

Jendela kaca itu menampilkan pemandangan perbukitan yang di musim gugur pasti akan menampilkan warna yang begitu indah. 

Seniman itu bukan orang asli Korea, dan tidak memiliki kerabat, sehingga akulah yang harus membersihkan dan mengosongkan studionya sebelum disewakan kembali kepada orang lain oleh pemiliknya.

Seniman itu meninggal secara wajar diduga karena sakit, dan jenazahnya sudah dibawa ke rumah sakit, sehari yang lalu untuk diperiksa lebih lanjut serta diurus proses post mortemnya. 

Mendapati kenyataan itu, membuatku merasa sedikit lebih nyaman karena tidak harus berurusan dengan kisah tragis orang lain.

Kubuka pintu studio dan menyalakan semua lampunya, kemudian membuka seluruh jendelanya. Tidak ada bau-bauan yang aneh, meski rasa-rasanya ada aroma yang familiar menguar di dalam studio.

Mataku menyapu seluruh studio untuk memutuskan akan memulai pembersihan dari mana, kemudian membeku di satu titik ketika mataku bertubrukan dengan sesuatu yang bersandar di atas sebuah meja yang ada di samping tempat tidur. Kurasakan jantungku seperti melompat keluar dan berdenyut dengan sangat keras. 

Semua barang-barang bawaaan yang kugenggam di tangan seketika berjatuhan ke lantai, menimbulkan suara gaduh. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya : bekerja dengan tergesa-gesa dan membuat kegaduhan.

Aku mengerjapkan mata mencoba memastikan penglihatanku.

Tidak mungkin. Kenapa lukisan boneka salju itu ada di sini. Bagaimana bisa, siapa yang tinggal di sini? Kakiku gemetar saat melihat goresan-goresan kuas yang khas. 

Aku segera memeriksa data manifest yang dibawakan oleh agenku. Sebelumnya, selama bekerja aku berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan detail-detail tentang siapa yang pernah tinggal di rumah yang sedang kubersihkan. Tetapi kali ini rasa ingin tahuku meledak-ledak.

Saat jelalatan menyapu seluruh ruangan, mataku kembali bertumbukkan dengan benda lain yang akrab dengan ingatanku, sepasang cangkir dengan noda cokelat di pinggirannya. Satu cangkir isinya masih utuh. 

Jantungku semakin memberontak. Tanganku gemetar. Aku melihat jam tangan dan melihat tanggal yang tertera di sana. Hari ulang tahunku. 

****

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel 




13 comments:

  1. terima kasih banyak ya mbak sudah ikutan lombanya, ah senangnya membaca kata-kata fiksi dari mbak nia lagi, dulu pernah baca novelnya hohoho

    ReplyDelete
  2. Wow...aku sama terkejutnya dengan Sam! Mba Nia, keren sekali cerpen ini!!

    ReplyDelete
  3. Nice story sekalipun endingnya sedih. Berarti yang meninggal ibu angkatnya yang mampir ke Korea kan ya?

    ReplyDelete
  4. Jederrrr, endingnya duh miris. Gimana dong, menyadari udah meninggal hiks. Baca cerita mba Nia langsung pikiranku terbang kemana-mana. Terima kasih untuk kisah yang sehangan cokelat, dalam seduhan cangkir mba Nia.

    ReplyDelete
  5. Ya Allah sesak banget bacanya Nia huhu nggak nyangka endingnya setragis ini...

    ReplyDelete
  6. Just wondering, how many writers have a dream of being a painter.
    'Writing' colors through the brush, as they picking words into their writing..

    Anyhow, happy welcoming your birthday (in couple of weeks to come) Sam..
    Would you please say my 'hi' to your mother ^^

    ReplyDelete
  7. Waduh....terkejut aku dengan endingnya, jadi ternyata ibunya datang ke Korea hingga akhirnya meninggal sendirian? Tp menarik nih jenis pekerjaan si anak. Terus sebenarnya jasa pembersih kematian itu beneran ada atau nggak?

    ReplyDelete
  8. Wow. Membaca cerpen ini seperti sedang menonton drakor dengan genre thriller atau detektif gitu. Detil banget mbak. Pilihan diksinya juga istimewa. Jadi seniman yang meninggal itu ibunya ya? Waah, plot twist plus gantung, bikin penasaran kek drakor2 gitu. Kereen euy mbak Nia.

    ReplyDelete
  9. Huwaaa, kaget baca endingnya, Nia. Tapi tokoh si aku ini mengingatkan pada aktor gaek Agro yang juga berprofesi sama menjadi pembersih rumah setelah pemiliknya meninggal di sana

    ReplyDelete
  10. Ceritanya mengalir banget.. Kalau di kehidupan nyata, aku penasaran sama sosok sam.

    ReplyDelete
  11. jadi belajar bahasa korea juga nih aku :D

    ReplyDelete
  12. Ending yang cukup bikin ngilu perasaan. Entah maksudnya gimana ya, apakah ibunya nyusul ke Korea, atau apa? Keren sekali cerpenmu Nia. 4 thumbs up. ;)

    ReplyDelete
  13. Ahhhhh sedihnyaaa... hiks

    Salam kenal ya 😊 selamat atas kemenangam di lomba cerpen gandjelrel, emang keren cerpennnyaaa 🤩🤩

    ReplyDelete

Powered by Blogger.