Disiplin Diri dan Empat Mode Yang Harus Diaktifkan
Selama ini, kamu dibohongi soal definisi disiplin. Disiplin yang sesungguhnya itu sebenarnya nggak susah dan berat, bahkan seharusnya effortless dan nggak perlu energi yang luar biasa untuk memulainya.
Disiplin semacam itu baru bisa didapatkan kalau kita sudah selaras dengan tujuan hidup kita, tahu apa misi dan visi besar dalam menjalani kehidupan ini.
Kalau kamu belum merasakan disiplin semacam itu, artinya tujuan hidup, misi, dan visimu belum clear.
True discipline is effortless. It doesn't take will power. It happens when you are in full alignment with your purpose and have a grand vision for life.
You only rise to the level of competence by force from within. No storm can push you to excel at what you do if you don’t flap your wings and take in the wind.
Permasalahannnya, kita sering nggak se-clear itu dalam membuat tujuan hidup. Apalagi di era seperti saat ini, dimana clarity sulit didapatkan karena hidup kita kebanyakan distraksi.
Alih-alih berjalan masuk ke dalam mendengarkan apa yang dikatakan diri sejati, kita lebih sering tergoda untuk melihat ke luar diri kita. Mencari petunjuk dari apa yang sedang tampak menarik di luar, padahal sebenarnya bukan untuk kita.
Disiplin juga membutuhkan ilmu. Seseorang tidak akan dengan mudah disiplin melakukan sesuatu jika tidak dibarengi dengan memiliki ilmu mengenainya.
Disiplin juga akan menjadi lebih mudah ketika kita tahu benar mana nilai-nilai dalam hidup yang harus dipegang teguh.
Disiplin juga tidak lepas dari yang namanya fokus. Kemana fokus kita arahkan, ke sanalah energi kita akan mengalir.
Ini membutuhkan seni dan fleksibilitas untuk mengatur bagaimana kita harus mengarahkan dan mengerahkan energi.
Meskipun seolah yang namanya fokus itu harus dilakukan secara monotasking; satu tugas dalam satu waktu, namun ternyata kita juga perlu mengatur kapan fokus kita harus diarahkan dan kemana kepada empat hal ini.
Empat Mode Yang Harus Diaktifkan Agar Mendapatkan Disiplin Yang Seimbang
Ada empat jenis aktivitas terkait bagaimana kita mengerahkan energi yang perlu kita miliki dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Mode Full Focus
Pertama, fokus mengerahkan energi kita hanya pada satu kegiatan tanpa membiarkan diri kita terdistraksi. Misalnya, kita mau menulis dalam waktu 30 menit ke depan. Lakukan pekerjaan itu, hanya menulis saja sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian berhenti untuk istirahat.
Beberapa jenis kegiatan terkait full focus ini misalnya, mempelajari sesuatu, membaca buku, menulis, membuat perencanaan dan strategi. Biasanya sebagian besar kegiatan full focus ini hanya melibatkan diri sendiri.
Mode Collaborate
Selanjutnya, yang kedua adalah aktivitas kolaborasi. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk menjaga disiplin dan bertumbuh: terhubung atau berjejaring dengan orang lain.
Bahkan beberapa pekerjaan perlu dilakukan dengan cara bekerjasama. Contohnya : meeting, brainstroming ide, briefing, dan lain-lain.
Nah, coba cek deh dalam keseharian waktu kita lebih banyak dihabiskan buat yang mana? Apakah untuk duduk di balik meja, full focus, atau dari hari ke hari lebih banyak meeting, ketemu orang, tapi pekerjaan utama yang harus diselesaikan malah terbengkalai.
Mode Learning
Yang ketiga, adalah aktivitas learning. Kalau kita cuma mengaktifkan mode full focus dan collaborate saja dalam hidup, level energi kita akan stuck di situ-situ saja.
Ya, mending kalau kolaborator kita adalah orang-orang yang energinya ada di level power, yang positive vibes, kalau sebaliknya?
Hmmm, kita bakal lebih mudah terseret ke level energi force, energi level rendah.
Untuk itu, dalam mengerahkan dan mengarahkan energi kita perlu mengaktifkan mode learning, yaitu momen dimana kita masuk lagi ke dalam diri untuk memperbesar wadah.
Di mode ini, meski kita masuk ke dalam diri sendiri tapi kita tetap butuh bantuan dari orang lain. Misalnya, kita perlu meningkatkan kompetensi atau skill.
Di bagian ini kita perlu investasi leher ke atas. Contoh mode learning adalah : coaching ke mentor yang tepat, ikut training atau pelatihan, ikut kursus dan workshop.
Banyak yang merasa mode ini nggak penting-penting amat karena sudah autopilot dengan apa yang dikerjakannya. Merasa udah bisa, merasa udah expert, merasa udah ahli jadi nggak perlu belajar lagi.
Kadang untuk beberapa orang ada yang merasa sudah memiliki jabatan tertentu dan punya anak buah, jadi males mau upgrade diri karena sudah ada bantu handle hal-hal kecil. Saya pernah punya klien seorang leader yang baru menyadari bahwa meski sudah berada di posisi pemimpin dia juga mesti paham hal-hal teknis.
Intinya belajar itu bukan hanya mengembangkan skill teknis, tapi skill lain dari mulai soft skill sampai hard skill.
Mode Socialize
Mode atau aktivitas keempat adalah socialize. Bentuknya bisa merupakan interaksi yang formal maupun casual dengan orang lain.
Biasanya nih, kalau sudah ada di zona nyaman, seseorang selain nggak mau belajar juga enggan ketemu orang baru.
Jadi itu yang bikin level energinya stuck di situ-situ aja. Rata-rata problem dalam mode socalize adalah gagal menyesuaikan diri dengan nilai-nilai atau norma yang berbeda dengan sekelompok orang lainnya.
Kebiasaan berada dalam satu lingkungan yang misalnya punya stereotip tertentu, saat ketemu dengan orang baru, bakal kaget, merasa orang lain kok beda cara kerjanya, kemudian bukannya adaptasi tapi malah seringnya antipati.
Dalam mode ini kita juga dituntut untuk mengaktifkan mode belajar. Belajar bersosialisasi. Belajar memahami cara kerja, cara pikir yang beda.
Ketidakseimbangan dalam mengaktifkan empat mode ini tentunya punya beberapa konsekuensi.
Misalnya, tanpa melatih fokus kita bakal merasa semua hal penting untuk diberikan energi yang sama, akibatnya kita bakal cepat kehabisan energi sebelum mendapatkan hasil yang diinginkan.
Tanpa fokus kita bakal dengan mudah kepleset masuk ke mode prokastinasi.
Kemudian tanpa mengaktifkan mode bersosialisasi, kita nggak bakal bisa menguji diri kita sendiri, sebenarnya level energi kita dimana, sudahkah kita mampu berhadapan dengan dinamika energi di luaran sana?
Bersosialisasi juga penting, karena biasanya trigger-trigger emosi justru ada saat kita terhubung dengan banyak orang. Dengan merasakan trigger, kita bisa tahu bagian mana dari diri kita yang perlu diupgrade.
Dari situ, kita juga bakal tahu nih, apa lagi yang butuh kita pelajari dalam hidup. Apakah harus meningkatkan skill dan kompetensi tertentu?
Apakah yang harus dipelajari justru pengendalian emosi, pengembangan diri, melakukan shadow work, dll. Tanpa mengaktifkan mode belajar kita nggak bakal bertumbuh.
Begitu juga kalau kita nggak mengaktifkan mode kolaborasi dan berjejaring, ya kita bakal di situ-situ aja, nggak ada inspirasi dan pembelajaran baru yang kita dapatkan dari kolaborasi sama orang lain.
No comments