Penulis Favorit dan Pendewasaan Diri

Tahun 2001 adalah perkenalan pertama saya dengan Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder. Sejak saat itu, saya selalu memburu dan melahap semua bukunya. Setiap kali selesai membaca bukunya, saya selalu merasa bahwa merenung dan suka bertanya aneh-aneh itu dibolehkan. Dan saya bahagia dengan kenyataan tersebut. 

Dunia Sophie membuat saya menyukai filsafat dan itu mungkin juga dirasakan sebagian besar orang yang membacanya. Ia berhasil membuat saya survive menjalani mata kuliah filsafat selama kuliah S1.


Meskipun begitu, buku favorit saya justru adalah Misteri Soliter, yang baru saya tahu ternyata edisi Indonesianya menurut Jostein sendiri adalah edisi bajakan karena dia belum pernah menandatangani kontrak terjemahan untuk Misteri Soliter ke Bahasa Indonesia. 

Misteri Soliter juga menjadi salah satu buku favorit Jostein Gaarder sendiri. 

Ketika mendengar selentingan kalau Jostein Gaarder akan mampir ke UI untuk memberikan kuliah umum berkaitan dengan Sophie Prize yang ia buat bersama istrinya, saya langsung mencari celah untuk bisa bertemu langsung dengan beliau, atau setidaknya menitipkan buku-buku saya pada teman yang datang ke UI agar ditandatangani.




Tapi, ternyata siapa yang menyangka kalau saya bisa bertemu langsung, mendengarkan diskusi buku-bukunya, meminta tanda tangan, bahkan sampai sempat menanyakan perihal akun twitter-nya, yang setelah saya konfirmasi ternyata bukan dia sendiri yang membuatnya. "Saya tidak terlalu menyukai hal semacam itu," kata beliau. Mungkin, Jostein memang lebih suka merenung ketimbang berkicau, dan dari hasil renungannnya serta keinginannya untuk berbagi itulah yang menjadikan ia seorang penulis, yang menurut saya cukup legendaris dan fenomenal. 


Ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa bukunya akan diterjemahkan ke hampir 56 bahasa. Ia tidak menyangka bahwa Dunia Sophie akan tumbuh begitu besar, sehingga dulu saat ia baru merilis Dunia Sophie yang awalnya ditujukan untuk materi ajar, istrinya pun berujar, "Cepat, tulis dan selesaikan buku yang lainnya lagi." Hal itu karena mereka saat itu masih merasa kekurangan materi. 

Namun, kini menurut Jostein, ia telah memiliki segalanya dan untuk itulah ia ingin berbagi. Salah satunya dengan memberikan penghargaan di bidang lingkungan hidup. Menurutnya, menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab pribadi, namun juga tangung jawab kosmik. Kita semua bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan di bumi ini. 

Saat ditanya apa keinginannya saat ini yang belum dicapai, Jostein menjawab : "Jika diperbolehkan, saya ingin mati hari ini, saat peradaban masih ada, dan manusia masih ada. Akan sangat menyedihkan jika saya berumur panjang, namun manusia dan peradaban sudah hilang."

(Gramedia Matraman, Jakarta 11 Oktober, 2011. )

Tulisan tadi merupakan penggalan catatan saya tujuh tahun yang lalu ketika seorang penulis newbie yang baru saja menerbitkan karya pertamanya bertemu langsung dengan seorang penulis favorit yang menjadi muse bagi tulisannya selama bertahun-tahun. 

Tidak banyak yang seberuntung ini, batin saya kala itu sambil merenung di perjalanan pulang ke Bandung. Seorang penulis adalah agen perubahan, ia menggerakkan seseorang, kelompok, bahkan menggerakkan sesuatu yang kadang paling sulit digeser. Perspektif. 

Tujuh tahun kemudian ketika seorang kawan bertanya apakah penulis favorit saya masih sama atau sudah berubah? Karena menurutnya idola atau favoritsm bergeser seiring pendewasaan diri dan perubahan yang terjadi. 

Pun ketika Mbak Dani Ristyawati dan Mbak Irfa Hudaya Ekawati menggulirkan tema "Siapa Penulis Favoritmu?" di arisan link blog dari Komunitas Gandjel Rel Semarang, saya memikirkan pertanyaan kawan saya itu sedikit lebih mendalam. 

Tujuh tahun, apakah saya tidak menemukan penulis lain sekaliber beliau yang bisa menggeser predikat favorit tersebut? 

Kalau dipikir-pikir, idola baru selalu muncul dan terkadang saya akan jatuh hati pada beberapa di antaranya, namun secara mendasar saya memang tidak bisa berpaling dari Mr. Gaarder. 

Ada beberapa alasan mengapa begitu:

Saya selalu jatuh hati dengan orang yang memiliki kecerdasan naturalis, dan peka pada lingkungan hidup. Misalnya orang yang tidak bisa menerima alasan fungsional mengapa sebuah pohon mesti ditebang padahal membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menanam dan tumbuh tinggi hanya demi membangun sebuah jalan atau gedung. Kenapa bukan jalan atau bangunannya yang menyesuaikan? 

Dari sekian banyak penulis, Jostein Gaarder punya kualitas itu. Dalam perjumpaan dengannya tujuh tahun yang lalu, dia juga mengutarakan kegelisahannya tentang isu-isu lingkungan hidup. Makanya dia juga mempunyai Sophie Prize yang fokus pada bidang lingkungan hidup. 

Jostein Gaarder adalah seorang agen perubahan. 

Jika seseorang menulis sebuah buku apa yang kira-kira dia harapkan dapat terjadi dengan buku atau tulisannya? 

Beberapa penulis berhenti di berbagi kisah dan mencoba menghibur atau bahkan mendistraksi seseorang dari kenyataan. Bagi saya, Gaarder tidak bersusah payah melakukan hal itu dalam tulisannya. Ia menyusup ke dalam alam kesadaran pembacanya dan secara tidak sadar mengajak mereka untuk merenung dengan dirinya sendiri. Pembaca diajak keluar dari kisah yang ditulisnya untuk mengamati dirinya sendiri.

Apa yang direnungkan? Hal-hal kecil yang fundamental. Kenapa kecil? Ya, karena merenungkan kehidupan setelah kematian misalnya, adalah hal yang remah-remah bagi sebagian orang. Merenungkan kebetulan-kebetulan juga buang-buang waktu bagi beberapa orang. Kenapa fundamental? Karena sebenarnya cara terbaik menyadari betapa manusianya kita adalah dengan memikirkan beberapa hal itu diantara hal-hal wajar yang sudah biasa kita pikirkan : pekerjaan, materi, dsb. 

Buat saya, tidak masalah seseorang hanya memiliki satu muse--untuk tidak menyebutnya sebagai idola--sepanjang hidupnya selama pemahamannya terhadap muse-nya itu terus bertumbuh. 

Ketika membaca Dunia Sophie pada usia 18 tahun saya mungkin hanya bisa melahap dan menyerap intisarinya sebanyak 65 persen, ketika membacanya saat usia 28 tahun, saya mungkin sudah memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik lagi, begitu seterusnya. 

Muse-mu atau mungkin karya-karya dari penulis idolamu harus bertumbuh seiring pendewasaan diri. Jika tidak, penulis atau karyanya hanya akan menjadi idola semata, tidak menggerakkan dan memginspirasi kita untuk menjadi lebih baik sedikit saja, atau mungkin tidak menggeser perspektif kita kemana-mana. 


1 comment:

  1. Wah mbak nia keren sudah pernah bertemu langsung dengan penulis aslinya..aku malah belum pernah baca bukunya bolehlah kapan-kapn dicari and baca bukunya :)

    ReplyDelete

Powered by Blogger.