Budaya
Kisah Perjalanan
Indigofera Versus Indigosol : Mempelajari Batik Ramah Lingkungan Dari Pengrajin Batik Pewarna Alam Pekalongan
Bayangkan sebuah krisis, dimana para penduduk dunia yang jumlahnya 7, 53 miliar (Januari 2018) kesulitan mendapatkan akses ke toilet dengan air yang bersih, sementara di setiap saku baju mereka terdapat setidaknya satu ponsel pintar yang bisa mengakses informasi ke seluruh penjuru dunia. Berdasarkan data dari water.org hal itulah yang terjadi saat ini. Lebih banyak orang yang memiliki ponsel pintar ketimbang akses ke toilet dengan air bersih.
Di tahun 2050, diprediksi jumlah penduduk dunia akan bertambah menjadi 9, 8 miliar. Permintaan air meningkat sekitar 1 persen per tahun, sementara perubahan iklim, polusi dan erosi mengancam kualitas dan ketersediaan air.
Data itu mungkin masih terasa berjarak bagi sebagian dari kita yang dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan menggunakan fasilitas air bersih yang melimpah. Meskipun kita merasa seolah sudah berhemat dalam penggunaan air bersih, namun nyatanya banyak aktivitas sehari-hari yang secara terselubung memangkas ketersediaan air yang ada.
Tahukah kalian bahwa untuk bisa menikmati secangkir kopi, dibutuhkan 53 liter air untuk bisa menumbuhkan tanaman kopi?
Bagaimana dengan proses membatik sendiri? Apakah proses ini ramah lingkungan?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benak ketika saya melakukan perjalanan ke Pekalongan dalam rangka mengikuti rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Festival Kalonganan. Jauh sebelumnya, Muhammad Teguh Pujianto, Humas dari Komunitas Fest. Kalonganan tersebut pernah nyeletuk: "Indikator baik tidaknya kondisi ekonomi di Pekalongan terlihat dari seberapa hitam dan keruhnya Kali Loji. Warna hitam dan kekeruhannya, menandakan bahwa masyarakat setempat masih memproduksi kain batik, dan berarti perekonomian masih terus berputar."
Kalimat tersebut tentu tidak diucapkannya tanpa beban. Menurutnya, sudah beberapa kali komunitas yang memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup berdiskusi tentang pencemaran yang terjadi Kali Loji.
Sejak dulu, Kali Loji atau yang dikenal juga sebagai Sungai Kupang menjadi salah satu urat nadi lalu lintas penghubung perekonomian antara masyarakat pedalaman dan daerah pesisir di Pekalongan yang menjadi pelabuhan antarpulau. Sungai Kupang adalah pangkalannya. Alirannya menjadi salah satu penggerak roda perekonomian, juga tempat pertemuan bagi sumber mata air yang mengalir dari kaki Gunung Rogojembangan, Petungkriyono.
Seketika saya membayangkan kondisi Kali Loji di masa lampau. Alirannya masih bersih, orang-orang mungkin masih menggunakannya airnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Di masa lalu, sebenarnya kegiatan membatik yang diwariskan oleh leluhur sudah mengusung konsep kimiawi hijau karena pewarnaannya menggunakan tumbuhan dan bahan-bahan yang tersedia di alam. Ketika air sisa pengolahan batik dibuang ke sungai, bahan-bahan alam tersebut masih bisa terurai oleh proses alamiah.
Namun, seiring perubahan zaman, semua proses dituntut serba cepat, instan dan praktis, sehingga pembatik memilih pewarna sintetis yang penggunaannya sangat mudah, tapi di sisi lain menghasilkan limbah yang membunuh sungai.
Sejak dari awal, proses membatik selalu melibatkan air. Kain mori yang akan digunakan sebagai media untuk membatik biasanya masih mengandung bahan-bahan residu, seperti kotoran atau kanji yang tertinggal, untuk membersihkan dilakukan perendaman terlebih dahulu di dalam air mendidih yang sudah dicampur abu merang. Lalu nanti ada tahap nggirah, yakni kain dicuci dengan air kemudian diangin-anginkan hingga kering. Di tahap akhir ada nglorot untuk melepaskan seluruh malam yang menempel pada kain karena proses sebelumnya, dengan cara memasukkan kain yang sudah melalui tahap nyoga ke dalam air mendidih yang kemudian, dibilas dengan air bersih dan setelah itu di angin-anginkan hingga kering.
Lalu berapa pasokan air yang dibutuhkan untuk bisa menghasilkan selembar kain batik? Belum lagi penggunaan malam berbahan parafin yang digunakan saat proses nglowongi, lalu pada saat medel atau proses pencelupan yang pertama. Jika pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis, maka ke kali mana limbahnya akan dibuang? Jangan-jangan, memakai batik sama tidak ramah lingkungannya dengan meminum secangkir kopi?
Bayangan itu mengusik benak saya. Benarkah, memakai batik dan minum kopi adalah dua kesenangan sederhana yang diam-diam menguras pasokan ketersediaan air di muka bumi?
Sudah cukup banyak isu lingkungan hidup yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari kita, dan jika memang ada pilihan yang lebih menguntungkan lingkungan, kenapa tidak memilih yang paling aman dan ramah untuk lingkungan?
Sosok Pembatik Yang Ramah Lingkungan : Membatik Itu Melibatkan Ilmu Fisika, Kimia, dan belajar Filosofi Hidup.
Keputusan yang tampaknya sederhana itu pun dilakoni oleh Pak Dini Hasan, pembatik asal Pekalongan yang memilih menggunakan warna alam untuk menjaga kelestarian lingkungan. "Pilih mana, membuat ratusan kain batik dalam sehari dengan keuntungan lima ribu rupiah untuk selembar kain, tetapi merusak lingkungan, atau membuat satu kain batik dengan pewarna alam, dan biarkan batik itu bercerita sendiri tentang apa yang bisa sedikit saya berikan untuk lingkungan." ujarnya dengan nada santai.
Saya tidak pernah mematok harga untuk batik yang saya buat, biarlah batik itu sendiri yang berbicara soal harganya." tambah pria berambut putih yang sorot matanya masih sarat semangat untuk berbagi hal-hal menarik soal proses pewarnaan batik dengan bahan alam.
Siang itu, kami bertolak dari Kelenteng Po An Thian menuju sebuah rumah sederhana di daerah Sugih Waras, tempat studio batik Pak Dini berada. Sejak di teras, saya sudah bisa merasakan aura semangat kreatif memancar dari studionya. Dinding bagian depan rumahnya ditutupi oleh kayu triplek seukuran tegel yang dicat dekoratif dengan motif-motif batik. Kami kemudian diajak untuk menaiki tangga berkarpet merah yang mengarah ke lantai atas. Studio membatiknya yang tampak sederhana seolah berbicara bahwa untuk menghasilkan sebuah karya seni tidak harus dari tempat yang luas dan mewah.
Dinding kayu membuat semilir angin menyusup dari celah-celahnya. Di salah satu dindingnya terdapat rak kayu berisi toples-toples yang diisi dengan aneka bahan baku pewarna alam. Ada kulit kayu ketapang, jelawe, kulit soga tinggi (Ceriops candolleana Arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), akar mengkudu (Morinda citrifolia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), teh (Camelia sinensis), dan banyak lagi.
Sejak dulu, penggunaan warna alam sebenarnya sudah digunakan dalam proses membatik. "Kalau tahu komposisi kimianya, membuang limbah ke sungai tidak akan mencemari karena percampuran unsur asam dan basa hasilnya netral dan tidak berbahaya. Saya pernah meminum larutan yang saya gunakan untuk mewarnai batik," ujar Pak Dini, "dan murid saya tercengang karenanya. Padahal, kalau semua bahan yang digunakan alami, jadi seperti jamu saja. Kain batik juga ramah bagi kesehatan kulit.
Di Jawa, dulu orang tidak menggunakan malam untuk nglowongi, tetapi memakai bubur ketan, dan capnya terbuat dari kayu. Sebelum ditemukan bahan pembuat cap, orang-orang belajar dan bereksperimen dengan berbagai alat rumah tangga berbahan logam, dari mulai besi, kuningan, sampai akhirnya menggunakan tembaga. Mereka menyadari bahwa alat-alat rumah tangga seperti kuali berbahan tembaga stabil terhadap suhu tinggi.
Membatik adalah sebuah proses kreatif yang membutuhkan kejelian pengamatan terhadap fenomena alam yang dialami sehari-hari. Ini melibatkan pengetahuan tentang ilmu fisika, kimia, dan lebih-lebih lagi, filosofi hidup.
Di selembar kain batik terdapat sebuah pesan atau cerita yang ingin disampaikan. Hal senada juga disampaikan oleh Fajar Dewa, pemandu di Museum Batik Pekalongan yang caranya bercerita soal batik bisa membangkitkan rasa ingin tahu bagi pengunjung. Menurutnya, setiap batik menggambarkan sebuah perjalanan hidup, dari mulai seseorang dilahirkan, menikah, memiliki anak, hingga akhirnya meninggal. Setiap motif dan warna berisi sebuah kisah budaya yang mewakili suatu tempat atau peradaban.
Seiring perkembangan teknologi dan munculnya pewarna kimia, pengrajin batik mulai beralih ke pewarna kimia karena lebih cepat, mudah, dan warnanya cerah. Sementara kalau menggunakan pewarna alam proses pencelupannya saja harus dilakukan berulang-ulang, hasil dari warnanya juga tidak selalu konsisten. Perubahan suhu akan menghasilkan warna yang berbeda. Bagi Pak Dini, hal ini justru menjadi daya tarik dan kekuatan batik warna alam, yaitu warna tidak pernah seragam.
Pembuatan batik alam juga tergantung pada cuaca. Ketika cuaca panas, pengerjaan batik alam akan lebih cepat selesai. Semakin terkena panas, batik alam akan menyerap panas dan membuat warnanya makin cerah. Itulah yang membuat keunikan batik pewarna alam karena warna justru akan semakin terlihat ketika batik dipakai terus-menerus.
Saya selalu terpesona dengan batik berwarna biru, apalagi kalau tahu bahwa warna birunya berasal dari pewarna alam. Batik dengan corak dan warna biru juga sering disebut sebagai batik Indigo. Warna biru terasa menenangkan saat dikenakan, dan kalau kita akan melakukan wawancara untuk melamar kerja, pakaian biru menimbulkan kesan sebagai seseorang yang penuh kepercayaan diri dan punya otoritas.
Pekalongan yang juga mendapatkan pengaruh budaya dari Cina, di mana warna biru dianggap sebagai warna feminin, juga memiliki beberapa motif khas batik pesisiran yang berwarna biru. Begitu pun dengan pengaruh budaya Timur Tengah, dimana warna biru diartikan sebagai keselamatan, perlindungan, dan merupakan simbol spiritualitas. Warna biru dari motif-motif batik yang mendapatkan pengaruh budaya Timur Tengah pun banyak ditemukan.
Pertanyaannya darimanakah warna biru alami itu berasal?
Di Pulau Jawa, tanaman Tom atau Tarum merupakan perdu yang biasa digunakan untuk pakan ternak kambing. Peternak mungkin belum mengetahui bahwa perdu ini juga bisa digunakan sebagai pewarna alami.
Tanaman perdu dengan jenis leguminosa ini dikenal dengan sebutan Indigofera. Merupakan tanaman dari dari kelompok kacang-kacangan dengan genus Indigofera. Tanaman perdu ini biasanya tumbuh tegak dan memiliki cabang yang banyak, daunnya berwarna hijau terang, dan pada usia tertentu berbunga ungu. Di beberapa tempat, tingginya bisa mencapai dua meter, dan bisa tumbuh dengan baik pada daerah sampai ketinggian 1200 m dari permukaan laut. Tanaman ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur dan tahan terhadap musim kemarau yang panjang.
Berdasarkan studi pustaka dan bukti sejarah, Indigofera sudah dipakai sebagai pewarna di negara-negara Asia Tenggara. Pada abad ke-16, masyarakat India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah membudidayakan Indigofera secara besar-besaran. Melalui culture stelsel, pembudidayaan Indigofera di Indonesia dilakukan atas perintah pemerintah kolonial untuk menyaingi pewarna dari bahan woad (Isatis tinctoria) yang dibudidayakan di Perancis, Jerman, dan Inggris. Bahkan Indonesia sempat menguasai pasaran untuk pemasok zat warna, termasuk warna indigo (biru), ke pasar dunia lewat budidaya tanaman ini. Selain menghasilkan zat warna yang bagus, pewarna dari Indigofera juga aman untuk lingkungan.
Sejak nenek moyang kita mulai menitik dan melukis di daun lontar pada abad ke-18 kemudian beralih melukis di atas kain putih yang dipintal sendiri, pewarna biru ini sudah digunakan. Kemudian datanglah era industrialisasi dan kemunculan warna sintetis dan Indigosol sebagai pengganti warna biru, perlahan-lahan pengrajin batik memilih untuk menggunakan pewarna sintetis tersebut. Saat itulah pamor Indigofera mulai melorot.
Pewarna sintesis memang disukai industri batik lantaran murah, praktis, dan lebih cerah. Alasan inilah yang membuat industri batik di Indonesia cenderung menggunakannya meski sudah dilarang sejak tahun 1996. Hingga saat ini, masih banyak industri batik menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya, padahal limbahnya sangat berbahaya bagi sungai secara khusus dan lingkungan secara umum.
Sementara Malasyia dan Jepang justru mulai mematenkan kunyit sebagai salah satu pewarna alami untuk kerajinan kain batiknya, Indonesia masih belum sepenuhnya beralih kembali kepada Indigofera ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat batik Indigo juga akan diklaim oleh negara lain.
Tahukah kalian bahwa untuk bisa menikmati secangkir kopi, dibutuhkan 53 liter air untuk bisa menumbuhkan tanaman kopi?
Bagaimana dengan proses membatik sendiri? Apakah proses ini ramah lingkungan?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benak ketika saya melakukan perjalanan ke Pekalongan dalam rangka mengikuti rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Festival Kalonganan. Jauh sebelumnya, Muhammad Teguh Pujianto, Humas dari Komunitas Fest. Kalonganan tersebut pernah nyeletuk: "Indikator baik tidaknya kondisi ekonomi di Pekalongan terlihat dari seberapa hitam dan keruhnya Kali Loji. Warna hitam dan kekeruhannya, menandakan bahwa masyarakat setempat masih memproduksi kain batik, dan berarti perekonomian masih terus berputar."
Kalimat tersebut tentu tidak diucapkannya tanpa beban. Menurutnya, sudah beberapa kali komunitas yang memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup berdiskusi tentang pencemaran yang terjadi Kali Loji.
Sejak dulu, Kali Loji atau yang dikenal juga sebagai Sungai Kupang menjadi salah satu urat nadi lalu lintas penghubung perekonomian antara masyarakat pedalaman dan daerah pesisir di Pekalongan yang menjadi pelabuhan antarpulau. Sungai Kupang adalah pangkalannya. Alirannya menjadi salah satu penggerak roda perekonomian, juga tempat pertemuan bagi sumber mata air yang mengalir dari kaki Gunung Rogojembangan, Petungkriyono.
Seketika saya membayangkan kondisi Kali Loji di masa lampau. Alirannya masih bersih, orang-orang mungkin masih menggunakannya airnya untuk kebutuhan sehari-hari.
Di masa lalu, sebenarnya kegiatan membatik yang diwariskan oleh leluhur sudah mengusung konsep kimiawi hijau karena pewarnaannya menggunakan tumbuhan dan bahan-bahan yang tersedia di alam. Ketika air sisa pengolahan batik dibuang ke sungai, bahan-bahan alam tersebut masih bisa terurai oleh proses alamiah.
Namun, seiring perubahan zaman, semua proses dituntut serba cepat, instan dan praktis, sehingga pembatik memilih pewarna sintetis yang penggunaannya sangat mudah, tapi di sisi lain menghasilkan limbah yang membunuh sungai.
Foto dari : https://www.cintapekalongan.com/riwayat-sungai-kupang-kali-loji/ |
Sejak dari awal, proses membatik selalu melibatkan air. Kain mori yang akan digunakan sebagai media untuk membatik biasanya masih mengandung bahan-bahan residu, seperti kotoran atau kanji yang tertinggal, untuk membersihkan dilakukan perendaman terlebih dahulu di dalam air mendidih yang sudah dicampur abu merang. Lalu nanti ada tahap nggirah, yakni kain dicuci dengan air kemudian diangin-anginkan hingga kering. Di tahap akhir ada nglorot untuk melepaskan seluruh malam yang menempel pada kain karena proses sebelumnya, dengan cara memasukkan kain yang sudah melalui tahap nyoga ke dalam air mendidih yang kemudian, dibilas dengan air bersih dan setelah itu di angin-anginkan hingga kering.
Lalu berapa pasokan air yang dibutuhkan untuk bisa menghasilkan selembar kain batik? Belum lagi penggunaan malam berbahan parafin yang digunakan saat proses nglowongi, lalu pada saat medel atau proses pencelupan yang pertama. Jika pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis, maka ke kali mana limbahnya akan dibuang? Jangan-jangan, memakai batik sama tidak ramah lingkungannya dengan meminum secangkir kopi?
Bayangan itu mengusik benak saya. Benarkah, memakai batik dan minum kopi adalah dua kesenangan sederhana yang diam-diam menguras pasokan ketersediaan air di muka bumi?
Sudah cukup banyak isu lingkungan hidup yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dari kita, dan jika memang ada pilihan yang lebih menguntungkan lingkungan, kenapa tidak memilih yang paling aman dan ramah untuk lingkungan?
Sosok Pembatik Yang Ramah Lingkungan : Membatik Itu Melibatkan Ilmu Fisika, Kimia, dan belajar Filosofi Hidup.
Keputusan yang tampaknya sederhana itu pun dilakoni oleh Pak Dini Hasan, pembatik asal Pekalongan yang memilih menggunakan warna alam untuk menjaga kelestarian lingkungan. "Pilih mana, membuat ratusan kain batik dalam sehari dengan keuntungan lima ribu rupiah untuk selembar kain, tetapi merusak lingkungan, atau membuat satu kain batik dengan pewarna alam, dan biarkan batik itu bercerita sendiri tentang apa yang bisa sedikit saya berikan untuk lingkungan." ujarnya dengan nada santai.
Saya tidak pernah mematok harga untuk batik yang saya buat, biarlah batik itu sendiri yang berbicara soal harganya." tambah pria berambut putih yang sorot matanya masih sarat semangat untuk berbagi hal-hal menarik soal proses pewarnaan batik dengan bahan alam.
Siang itu, kami bertolak dari Kelenteng Po An Thian menuju sebuah rumah sederhana di daerah Sugih Waras, tempat studio batik Pak Dini berada. Sejak di teras, saya sudah bisa merasakan aura semangat kreatif memancar dari studionya. Dinding bagian depan rumahnya ditutupi oleh kayu triplek seukuran tegel yang dicat dekoratif dengan motif-motif batik. Kami kemudian diajak untuk menaiki tangga berkarpet merah yang mengarah ke lantai atas. Studio membatiknya yang tampak sederhana seolah berbicara bahwa untuk menghasilkan sebuah karya seni tidak harus dari tempat yang luas dan mewah.
Dinding kayu membuat semilir angin menyusup dari celah-celahnya. Di salah satu dindingnya terdapat rak kayu berisi toples-toples yang diisi dengan aneka bahan baku pewarna alam. Ada kulit kayu ketapang, jelawe, kulit soga tinggi (Ceriops candolleana Arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), akar mengkudu (Morinda citrifolia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), teh (Camelia sinensis), dan banyak lagi.
Sejak dulu, penggunaan warna alam sebenarnya sudah digunakan dalam proses membatik. "Kalau tahu komposisi kimianya, membuang limbah ke sungai tidak akan mencemari karena percampuran unsur asam dan basa hasilnya netral dan tidak berbahaya. Saya pernah meminum larutan yang saya gunakan untuk mewarnai batik," ujar Pak Dini, "dan murid saya tercengang karenanya. Padahal, kalau semua bahan yang digunakan alami, jadi seperti jamu saja. Kain batik juga ramah bagi kesehatan kulit.
Di Jawa, dulu orang tidak menggunakan malam untuk nglowongi, tetapi memakai bubur ketan, dan capnya terbuat dari kayu. Sebelum ditemukan bahan pembuat cap, orang-orang belajar dan bereksperimen dengan berbagai alat rumah tangga berbahan logam, dari mulai besi, kuningan, sampai akhirnya menggunakan tembaga. Mereka menyadari bahwa alat-alat rumah tangga seperti kuali berbahan tembaga stabil terhadap suhu tinggi.
Membatik adalah sebuah proses kreatif yang membutuhkan kejelian pengamatan terhadap fenomena alam yang dialami sehari-hari. Ini melibatkan pengetahuan tentang ilmu fisika, kimia, dan lebih-lebih lagi, filosofi hidup.
Di selembar kain batik terdapat sebuah pesan atau cerita yang ingin disampaikan. Hal senada juga disampaikan oleh Fajar Dewa, pemandu di Museum Batik Pekalongan yang caranya bercerita soal batik bisa membangkitkan rasa ingin tahu bagi pengunjung. Menurutnya, setiap batik menggambarkan sebuah perjalanan hidup, dari mulai seseorang dilahirkan, menikah, memiliki anak, hingga akhirnya meninggal. Setiap motif dan warna berisi sebuah kisah budaya yang mewakili suatu tempat atau peradaban.
Seiring perkembangan teknologi dan munculnya pewarna kimia, pengrajin batik mulai beralih ke pewarna kimia karena lebih cepat, mudah, dan warnanya cerah. Sementara kalau menggunakan pewarna alam proses pencelupannya saja harus dilakukan berulang-ulang, hasil dari warnanya juga tidak selalu konsisten. Perubahan suhu akan menghasilkan warna yang berbeda. Bagi Pak Dini, hal ini justru menjadi daya tarik dan kekuatan batik warna alam, yaitu warna tidak pernah seragam.
Pembuatan batik alam juga tergantung pada cuaca. Ketika cuaca panas, pengerjaan batik alam akan lebih cepat selesai. Semakin terkena panas, batik alam akan menyerap panas dan membuat warnanya makin cerah. Itulah yang membuat keunikan batik pewarna alam karena warna justru akan semakin terlihat ketika batik dipakai terus-menerus.
Meskipun seolah pewarna alam menghasilkan warna yang terbatas seperti merah, coklat, kuning, namun sebenarnya banyak sekali warna yang bisa dihasilkan. Keunikan warna muncul kalau kita berani mencampur bahan-bahan yang ada. Hasil pewarnaan juga kerap berbeda tergantung proses pencelupan, kualitas air tanah dan fiksasi_penguncian warna dengan larutan tunjung (FeSO4). Karena itulah, beliau cukup tertantang untuk membuat katalog warna bagi batik warna alam. Menurutnya, hampir semua tumbuh-tumbuhan bisa menghasilkan warna. Bisa dari daunnya, kulit buah, kulit kayu, dan kayu. “Dari daun bisa pakai daun ketapang, kulit buah contohnya kulit rambutan, kecapi, kesemek, manggis, sementara kalau kulit kayu bisa memakai kulit kayu mahoni, ansana, dan untuk kayunya, bisa memakai kayu secang dan nangka.
Tapi kalau saya beritahukan semua, nanti tumbuh-tumbuhan di sekitar kita ini bisa habis oleh keserakahan manusia. Negeri kita ini sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Semakin kesini ancaman terhadap keanekaragaman hayati sudah semakin tinggi,” ujarnya dengan mimik khawatir, "harus diimbangi juga dengan penanaman kembali."
Indigofera Versus Indigosol.
Saya selalu terpesona dengan batik berwarna biru, apalagi kalau tahu bahwa warna birunya berasal dari pewarna alam. Batik dengan corak dan warna biru juga sering disebut sebagai batik Indigo. Warna biru terasa menenangkan saat dikenakan, dan kalau kita akan melakukan wawancara untuk melamar kerja, pakaian biru menimbulkan kesan sebagai seseorang yang penuh kepercayaan diri dan punya otoritas.
Pekalongan yang juga mendapatkan pengaruh budaya dari Cina, di mana warna biru dianggap sebagai warna feminin, juga memiliki beberapa motif khas batik pesisiran yang berwarna biru. Begitu pun dengan pengaruh budaya Timur Tengah, dimana warna biru diartikan sebagai keselamatan, perlindungan, dan merupakan simbol spiritualitas. Warna biru dari motif-motif batik yang mendapatkan pengaruh budaya Timur Tengah pun banyak ditemukan.
Pertanyaannya darimanakah warna biru alami itu berasal?
Di Pulau Jawa, tanaman Tom atau Tarum merupakan perdu yang biasa digunakan untuk pakan ternak kambing. Peternak mungkin belum mengetahui bahwa perdu ini juga bisa digunakan sebagai pewarna alami.
Tanaman perdu dengan jenis leguminosa ini dikenal dengan sebutan Indigofera. Merupakan tanaman dari dari kelompok kacang-kacangan dengan genus Indigofera. Tanaman perdu ini biasanya tumbuh tegak dan memiliki cabang yang banyak, daunnya berwarna hijau terang, dan pada usia tertentu berbunga ungu. Di beberapa tempat, tingginya bisa mencapai dua meter, dan bisa tumbuh dengan baik pada daerah sampai ketinggian 1200 m dari permukaan laut. Tanaman ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur dan tahan terhadap musim kemarau yang panjang.
Berdasarkan studi pustaka dan bukti sejarah, Indigofera sudah dipakai sebagai pewarna di negara-negara Asia Tenggara. Pada abad ke-16, masyarakat India dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah membudidayakan Indigofera secara besar-besaran. Melalui culture stelsel, pembudidayaan Indigofera di Indonesia dilakukan atas perintah pemerintah kolonial untuk menyaingi pewarna dari bahan woad (Isatis tinctoria) yang dibudidayakan di Perancis, Jerman, dan Inggris. Bahkan Indonesia sempat menguasai pasaran untuk pemasok zat warna, termasuk warna indigo (biru), ke pasar dunia lewat budidaya tanaman ini. Selain menghasilkan zat warna yang bagus, pewarna dari Indigofera juga aman untuk lingkungan.
Pewarna sintesis memang disukai industri batik lantaran murah, praktis, dan lebih cerah. Alasan inilah yang membuat industri batik di Indonesia cenderung menggunakannya meski sudah dilarang sejak tahun 1996. Hingga saat ini, masih banyak industri batik menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya, padahal limbahnya sangat berbahaya bagi sungai secara khusus dan lingkungan secara umum.
Sementara Malasyia dan Jepang justru mulai mematenkan kunyit sebagai salah satu pewarna alami untuk kerajinan kain batiknya, Indonesia masih belum sepenuhnya beralih kembali kepada Indigofera ini. Bukan tidak mungkin, suatu saat batik Indigo juga akan diklaim oleh negara lain.
Batik warna alam memang belum sepenuhnya dilirik oleh para pengrajin. Dari segi teknik dan waktu yang digunakan, rumit dan lama. Namun, seiring waktu orang-orang mulai sadar akan teknik dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu lembar kain batik, sehingga konsumen pun menghargainya dengan harga yang lebih layak. Terlebih lagi karena selambar kain batik pun bisa mengusung sebuah nilai kepedulian terhadap lingkungan. Nilai dan cerita itulah yang membuat kain batik warna alam, terutama batik indigo bernilai layaknya emas batangan.
Bukan tidak mungkin keterlibatan konsep kimiawi hijau juga semakin mendongkrak harga batik-batik pewarna alam yang diproduksi di Indonesia. Tidak perlu unsur-unsur kimawi rumit yang beracun untuk membuat selembar kain batik. Jika peka, di setiap daerah terdapat unsur kearifan lokal yang bisa menjadi sumber inspirasi sekaligus sumber pewarna alam. Misalnya di daerah pesisir pantai yang ditumbuhi tanaman mangrove yang ternyata bisa menjadi sumber warna coklat. Atau misalnya saat kita berjalan-jalan di pasar tradisional dan menemukan limbah kulit jengkol, rambutan, atau manggis, yang jika digunakan ulang, bisa menjadi sumber bahan pewarna alam. Begitupun dengan limbah serutan kayu di daerah-daerah pengrajin kayu ukiran atau pahatan.
Birunya Indigofera diharapkan bisa menginspirasi para pengrajin untuk menggali aneka warna yang disediakan bumi untuk proses karya cipta manusia. Belajar bukan dari uluran tapi menjelajah, atau seperti yang dikatakan Pak Dini, pintar hasil kluyuran bukan uluran, menjadi sebuah nilai filosofis ketika seseorang ingin mencipta karya kreatif.
Bagaimana seseorang menghargai kearifan lokal dan lingkungan hidup juga akan semakin mewakili bagaimana sebuah karya dihasilkan. Sebuah penutup yang cukup menohok dari Pak Dini, "Kalau ingin tahu isinya teko maka tuangkanlah. Jangan-jangan kamu mengira isi kepalamu otak, padahal isinya tahu."
No comments