Kreativitas Dan Membaca


Kreativitas dan membaca. Keduanya mungkin tampak seperti dua benda yang berdiri sendiri-sendiri, tidak saling memengaruhi. Namun perjalanan hidup mengajari bahwa mungkin saya tidak akan lolos dari beberapa persoalan hidup tanpa keduanya.

Soal membaca, ada beberapa nasihat dari mentor-mentor menulis yang saya ingat dan pegang hingga saat ini.

Beberapa di antaranya :

Kalau baca bukumu itu-itu saja, dan buku yang kamu baca, buku yang orang kebanyakan baca, caramu menulis bakal begitu-begitu saja. (Yusi Avianto Pareanom) 

Dari beliau kemudian saya mendapatkan daftar buku bacaan yang harus dibaca setiap minggunya. Saat itu meski buku-bukunya kadang saya anggap 'aneh', tapi saya cerna juga buku-buku itu. Tujuan jangka pendeknya saat itu mungkin agar saya bisa lolos dan mendapatkan sertifikat novelis dari DKJ.

Tapi tujuan jangka panjangnya melekat hingga sekarang bahwa membaca sastra itu penting. Seenggaknya kita jadi punya cita rasa.

Cita rasa jadi semacam kompas yang memandu kita untuk memilih mana sih, bacaan yang bagus.

Di era di mana leisure time buat baca semakin sempit, kemampuan membedakan mana buku yang worth to read mana yang nggak, itu penting. Kita jadi terasah untuk punya insting, kadang se-hype apapun sebuah buku, kalau memang bukan cita rasa yang kita sukai atau butuhkan mungkin akan kita lewati.

Mungkin bagi sebagian orang ini soal selera Dan seperti pilih-pilih, tapi tentu saja kita memang harus memilih bahan bakar yang baik untuk menulis, kan. Apakah kita mau menghabiskan waktu hanya membaca sesuatu yang klise misalnya? Selera pun harus dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Yang pernah nonton Ratatouille tentu ingat adegan seekor tikus yang terbiasa makan kardus bekas hingga sulit untuk mengapresiasi rasa keju Perancis yang sesungguhnya. Mungkin selera terhadap bacaan pun akan tergantung apa yang biasa kita kunyah.



Atau lain lagi, ini dari mentor sekaligus dosen saya di kampus Unpad yang bilang :

Menulis sistematis itu menandakan bagaimana proses berpikir seseorang. Kalau nulismu kacau kemungkinan terdekat bacamu ngasal. Membaca itu harusnya menjernihkan pikiran bukan mengaburkan. 

Banyak proses bertumbuh dalam hidup yang melibatkan kreativitas dan membaca. Bahkan kalau bisa dibilang, proses kreatif juga lahir karena proses membaca.

Kebayang apa jadinya kalau dosen-dosen nggak memaksa saya membaca jurnal dan buku-buku panduan. Tujuan jangka pendeknya, lulus dari universitas dan mendapatkan gelar.

Tapi tujuan jangka panjangnya, bakal jadi bermanfaat banget karena sekarang di era di mana informasi ngalirnya cepet, membaca sumber kredibel itu mengasah critical thinking kita.

Kebayang kalau nggak diajari cross check, riset, dan menemukan sumber buku terpercaya, berapa banyak informasi ngasal atau hoax yang kita cerna mentah-mentah.

Pengalaman lolos dari berbagai persoalan hidup karena keterampilan membaca juga mau nggak mau harus saya ajarkan kepada anak-anak. Kalau nggak, anak-anak generasi Z dan Alpha yang digitally born ini bakal mengira bahwa sumber pengetahuan hanya Mbah Google dan YouTube.

Apalagi menurut data :

Angka buta aksara Indonesia makin berkurang dari waktu ke waktu. Namun, keberhasilan tersebut tak sejalan dengan tumbuhnya budaya membaca. Sehingga tingkat literasi masyarakat masih dalam kategori rendah. 

Anak-anak mungkin mengira bahwa berbagai proses bisa diselesaikan dengan teknologi dan ponsel pintar. Beberapa mengira bahwa membaca, terutama sastra, hanya untuk penulis saja. Padahal membaca merupakan rantai proses berpikir yang nggak boleh putus.

Bahkan matematikawan terbesar pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Jules Henri Poincare, dalam autobiografinya bercerita bagaimana proses membaca membawanya pada titik di mana wawasan dan teori-teori baru datang kepadanya.

Di masa mudanya, Jules Henri Poincare dipanggil untuk mengikuti wamil, beberapa bulan sejak bergabung, tidak ada yang terjadi dalam pikirannya. Suatu hari, di sebuah kota di Prancis Selatan, ia naik bus dan terlibat pembicaraan dengan serdadu lain. Begitu turun dari bisa, tiba-tiba ada yang menerobos dalam pikirannya, yakni jawabannya tentang bagaimana fungsi matematis baru yang sudah ia temukan terhubung dengan matematika konvensional yang ia kerjakan sebelumnya.

Membaca. Diendapkan. Menjalani kehidupan. 

Dan teori-teori besar yang menjadi pondasi keilmuan berikutnya hadir. Begitulah proses kreatif sebagian besar ilmuwan di masa lalu. Yang kemudian kita manfaatkan hingga sekarang.

Entahlah apakah di masa-masa dimana kita justru lebih banyak mengisi kepala dengan scrolling media sosial, membiarkan terlalu banyak informasi meresap, membaca sekadarnya, proses kreatif bisa tetap hadir?

Mungkin kita tetap memproduksi sesuatu, tetapi sulit menjadi otentik. Karena yang kita kerjakan, meniru yang sebagian besar orang lain butuhkan dan lakukan.

Jika kita mengamati orang-orang kreatif, sebagian besar justru berpikir dan melakukan hal-hal di luar arus besar. Mereka membatasi waktu berinteraksi di media sosial, membaca buku-buku, menjalani kehidupan; bertemu orang-orang, menyalurkan energi mereka dengan berkreasi, terhubung dengan orang lain untuk melatih otot empati dan fleksibilitas dirinya.

Kita dilatih untuk menemukan apa yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup dengan segenap daya dan keterbatasan yang ada.

Membaca menjadi jembatan bagi hal-hal yang sulit dilakukan secara langsung, misalnya melihat isi perut bumi, tetapi dengan membaca kita bisa seolah-olah pernah berada di dalamnya.

Membaca juga mengasah empati. Banyak karya sastra yang mengantarkan kita pada kisah-kisah yang mungkin tidak ingin kita alami sendiri, misalnya perihal patah hati, kehilangan seseorang yang berarti, bertempur di medan perang, menjadi orang dengan gangguan kesehatan mental, dll. Tapi dengan membaca, empati kita diasah untuk memahami orang-orang lain : kesedihannya, cara berpikirnya.

Sebagian mengira kreativitas hanya untuk seniman, padahal persoalan ekonomi, bahkan sebatas persoalan isi perut saja melibatkan kreativitas. Apa jadinya olahan nasi tanpa kreativitas, mungkin tidak akan ada nasi kuning, nasi tutug oncom, toppoki, dan lontong. Semua berbahan beras tetapi kreativitas membuatnya tampil menjadi berbagai bentuk, warna, dan rasa.



Membaca, kreativitas, seni, semuanya saling terkait. Hidup di dunia tanpa aktivitas membaca, seperti 'EARTH' tanpa 'ART'. Cuma, EH.




Hari Aksara Internasional yang akan diperingati tanggal 8 September besok bukan sekadar pengingat bahwa melek huruf sedunia adalah sebuah keniscayaan, karena ilmu pun ditransfer melalui aktivitas membaca maka aktivitas ini fundamental dan harus terus digaungkan dari masa ke masa. Dari generasi ke generasi.

Teruslah membaca yang baik dan jadikan hasil membaca kita sebagai bahan bakar menulis yang baik. Membaca untuk berkarya. Menulis untuk meninggalkan jejak.









1 comment:

  1. Senang liat Nia masih rajin baca dan ngeblog.
    Tetap semangat tante.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.