Mengatur Keuangan Keluarga Di Masa Pandemi
Mau nulis tentang topik ini nggak jadi-jadi mulu, padahal deadline nulisnya udah dari September. Di kepala udah banyak curcolan-curcolan tentang gimana kudu ngatur keuangan selama masa pandemi tapi nuanginnya susah, sesusah prakteknya. Ada yang bilang, mengatur keuangan itu gampang kalau uangnya ada, kalau ngga ada, apa yang mau diatur, hihihi.
Oke mungkin tulisan ini bukan sesuatu yang ditulis sama expert, apalagi perihal memenej uang bisa dibilang ilmu dan prakteknya masih cetek banget. Dan secara keseluruhan di tulisan ini saya nggak akan terlalu fokus bahas soal gimana cara mengatur duit, mungkin lebih soal kesehatan finansial di masa pandemi.
Apalagi baru saja diumumkan kalau Indonesia resmi masuk ke era resesi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2020 sebesar minus 3,49 persen.
Beberapa dari kita mulai kepikiran dong, terus kira-kira imbasnya apa nih, ke kita. Apa yang harus dilakukan saat resesi?
Kalau menurut Mbak Ligwina Hananto, berdasarkan cuitannya di Twitter, disarankan untuk :
1. Melindungi sumber penghasilan.
2. Cek Dana Darurat
3. Dan apa yang bisa kita lakukan untuk bantu orang lain?
Sebelum mulai bahas lebih lanjut, saya mau tanya dulu, kalau ada skala kesehatan finansial dari satu sampe sepuluh, dimana 1 itu sekarat dan 10 itu sehat banget sampai udah bisa punya pemasukan pasif tanpa kerja, kalian menilai kondisi kesehatan keuangan di nomor berapa?
Kalau nilainya 5 ke bawah, yuk lanjut baca tulisan ini. Kita sama-sama belajar dan praktek supaya kondisi keuangan sehatnya setidaknya di level 6 ke atas untuk masa pandemi ini.
Selain itu, kita juga mesti tahu dulu nih, nggak sehatnya karena apa? Apakah karena memang pemasukannya lebih kecil dari pengeluaran, atau banyak boncos nggak perlu.
Sadar atau nggak, diakui atau nggak, meski sedang masa pandemi, ada beberapa dari kita yang malah pengeluarannya nambah untuk 'ongkos menyamankan diri dan rumah'.
Eh, ongkos apaan lagi tuh?
Sini, aku bisikin. Siapa yang tiba-tiba jadi rajin hunting tanaman, pot, beli perintilan macem-macem buat dekor ulang rumah. Siapa yang tiba-tiba ganti sepeda, beli aneka part buat sepedaan, siapa yang tiba-tiba beli setelan hiking. Itu cost lho.
Ih pelit banget, masak beli buat rumah dan diri sendiri nggak boleh.
Mungkin di dalam hati ada yang komen begitu. Saya nggak bilang nggak boleh lho yaa, tapi cuma sedikit membangun kembali kesadaran bahwa kita nggak selamanya lho, bakal di kondisi 'kerja dan sekolah dari rumah.'
Ya, meski nggak bakal kembali ke normal yang lama, tapi coba pikirin lagi, cost apa yang bakal kembali kalau pandemi ini sudah berakhir.
Bebelian taneman, dekor ulang rumah, nggak salah kok, yang salah kalau pemasukanmu terbatas di masa pandemi ini, tapi ngikutin tren yang bikin boncos.
Misal nih, alhamdulillahnya pemasukan kalian masih normal cenderung sama dengan masa sebelum pandemi, kalian juga mesti mikirin duit bebelian tadi diambil dari pos mana?
Pos transportasi sehari-hari? Pos makan siang di luar?
Terus nanti kalau setiap hari kita udah kudu anggarin uang bensin dan makan siang kembali, pos perawatan tanaman diambil dari mana?
Di sini saya nggak lagi, 'iri bilang bos!' sama yang rajin nanem-nanem lho ya. Saya nanem-nanem juga kok, tapi alhamdulillah bukan karena ikutan tren. Udah sebelum pandemi kami doyan berkebun, dan sebisa mungkin berusaha agar aktivitasnya sustainable.
Karena pernah di titik merasa aktivitas kami nggak sustain, jadi tahu kelemahannya juga. Misalnya ketika kami sering travelling dan taneman nggak keurus. Dari situ kami belajar tipe berkebun dan tanaman apa yang cocok dengan ritme kehidupan kami.
Pun dengan bersepeda. Jauh sebelum sepedaan ngetren kayak sekarang, suami anak sepedah juga. Punya sepeda yang mayan bagus di kelasnya, lumayan rajin sepedaan juga. Berhenti sepedaan gegara sempat patah tulang tangannya pas di Bali.
Habis itu kehilangan motivasi. Sepedaan buat apa ya. Terus sepedanya dijual.
Sekarang setiap kali mau melakukan sesuatu, kami tanya dulu ke diri sendiri, ini karena mau sekadar ikut tren, atau emang sejalan sama apa yang mau kita capai?
Untuk berhemat pun harus ada alasan kuat atau why-nya. Setiap pilihan yang punya alasan jelas bakal lebih bertahan lama.
Belajar dari yang udah-udah, kami nggak mau keluar duit untuk tren yang sesaat. Itu sedikit kiat menyehatkan keuangan yang bisa kami bagikan. Saya dan Pak Suami alhamdulillah senada soal ini, kami pun mengajari anak-anak untuk jadi smart spender.
Contoh, soal beli baju. Kami jarang belanja baju kalau lebaran. Bahkan, we hate shopping at the peak time. Tapi sekalinya beli baju, kita bisa bajetkan per orangnya agak banyakan. Belanjanya pas pulang ke Bandung, di FO andalan atau sekalian di beberapa gerai di mall yang emang worth it antara brand, kualitas dan harga. Nah, kalau di tengah-tengah itu kami merasa nggak punya baju, kita tetep nggak beli. Kecuali untuk anak-anak yang emang pertumbuhannya cepet.
Kami paling nggak suka pengeluaran sesaat yang bukan untuk experience, kaya beli baju buat dress code suatu acara. Udah mah ntar warnanya belum tentu yang kita suka. Di pakenya sekali doang.
Tapi karena benci pengeluaran sesaat, kita tahu pasti bakal nemu aja kejadian yang begini. Jadi tetep kita siapkan pos khusus di sini. Termasuk pos dateng ke nikahan, hajatan, dll.
Ketimbang boncos di urusan 'kenyamanan' atau buat 'lari dari kenyataan sesaat' fokus kami geser, bukan ke dekor ulang, tapi menata ulang kebutuhan.
Contohnya, kita sadar bakal sering di rumah, dan masih belum berhasil bikin rumah sejuk tanpa AC, lalu kita memutuskan untuk ganti AC ke yang lebih hemat dan lebih dingin. Bajet beli rak buat taneman, bajet bebelian cushion unyu-unyu mending ditabung buat beli AC bagus yang lebih sustain. Ke depannya ada impact positif, tagihan listrik turun. Rumah bisa tetep sama-sama nyaman kan.
Ini satu contoh aja. Jadi, kalau mau melakukan pengeluaran, pilih yang dampaknya lebih positif dan sustain ke depannya.
Bajet lain yang nggak perlu dan kami cut: beli printilan yang nggak perlu karena kepengin. Jangan sampai tujuan hidup minimalis dan melakukan de-cluttering yang sebelumnya jadi terpatahkan oleh keinginan sesaat.
Ihh, itu saya banget beberapa waktu lalu, suka check out nggak jelas dari keranjang syopi, sampe pas barangnya sampe rumah dimarahin Pak Suami : beli rak kosmetik dari akrilik abal-abal yang akhirnya gampang retak, beli rak semi kayu yang akhirnya mleot-mleot. Jadi nyesel belinya, padahal kalau tahan sebentar bakal dibuatin yang lebih awet bagus dan kepakenya lama.
Untung banget waktu itu ditahan untuk beli wallpaper.
"Yakin ini sebulan kemudian kamu nggak ngeluh bosen terus minta keletekin dan cat ulang?"
Jangan beli sesuatu karena tren, jangan ciptakan kebutuhan baru karena melihat orang lain memiliki atau menggunakannya. Jangan membuat standar berdasarkan apa yang menjadi prioritas orang lain.
Pandemi ini membuat kami belajar membenahi prioritas. Mana yang malah menimbulkan pengeluaran terus-menerus tapi nggak memberi dampaknya positif atau pertumbuhan harus mulai dipertimbangkan untuk di-cut.
Bajet-bajet yang timbul akibat pandemi yang juga jadi perhatian, misalnya bajet masak di rumah yang terasa lebih besar, tapi ternyata waktu diitung-itung lagi lebih murah ketimbang dulu waktu sering makan di luar rumah.
Salah satu yang juga perlu di perhatikan adalah gimana kita bisa memenej godaan-godaan yang bisa memengaruhi kondisi finansial kita, terutama kalau kita sedang punya tujuan, misal ngumpulin dana darurat, ngembangin usaha, dsb.
Banyak yang bilang, kita bisa berkontribusi untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara dengan berbelanja, eh tapi pakai duitnya siapa, hihihi. Tentu boleh saja belanja, asal untuk sesuatu yang produktif.
Apalagi di akhir tahun kayak sekarang, godaannya kan banyak banget, ada epic sale, ada sale akhir tahun. Nah, jangan sampai nih, karena ada sale jadi muncul keinginan atau kebutuhan baru yang memang bukan yang utama.
Sale juga bakal men-trigger kita untuk melakukan pembelian padahal bisa saja harga pada saat sale justru lebih mahal daripada harga saat tidak sale.
Seperti pengalaman saya di bawah ini :
Bajet lain, anggaran kesehatan fisik dan mental yang kudu diperhatikan juga. Anggaran kesehatan fisik, misalnya meliputi bajet apabila harus rapid hingga SWAB Test, bajet isolasi mandiri kalau harus nggak di rumah, misalnya hotel. Sampai anggaran darurat juga jadi fokus di tahun ini.
Nah, itu tadi secuil banget kiat dari kami soal menjaga kesehatan finansial di masa pandemi. Kapan-kapan kita ngobrol tentang ini lagi kalau ilmu dan prakteknya udah lebih baik ya.
Kalau kesehatan finansial kita saat ini setidaknya di skor 5 ke atas, mari melanggengkan kebiasaan mudah bersyukur dan merasa cukup dulu, dan juga meningkatkan keyakinan bahwa rezeki kita sudah dijamin olehNya. Semoga dari hari ke hari kesehatannya bisa terus membaik sampai di angka ideal yang teman-teman cita-citakan.
Aamiin-nin bareng-bareng yuuk.
No comments