Yang Perlu Dipahami Soal High Functioning Anxiety

Yang Perlu Dipahami Soal High Functioning Anxiety

Udah lama pengin bahas soal high functioning anxiety ini tapi ngerasa ragu-ragu kira-kira bakal ada yang butuh nggak ya, tulisan semacam ini. Tapi kemudian, saya menerima beberapa DM di IG yang menunggu tulisan lengkap tentang hal itu karena saya sempat berbagi sedikit cerita kalau pernah mengalami panic attack selepas melahirkan anak ketiga dan harus menjalani konseling. Dari hasil konseling tersebut, saya jadi nyadar kalau selama ini mengalami yang namanya high functioning anxiety. Apakah high functioning anxiety ini yang kemudian mencetuskan saya mengalami panic attack atau ada sebab lain, simak yuk ceritanya. 


Sebelumnya, saya kasih gambaran sedikit ya, soal panic attack ini. Ini penyebabnya bukan karena ada sesuatu di luar ekspektasi yang bikin, panik nggak? Panik nggak? Bukaan. 

Jadi, ini jenis panik yang datang tiba-tiba banget, dan dominan banget gejala fisiknya. Kalau di saya, terjadinya pas berada di situasi yang ramai dan banyak orang. Tiba-tiba saja, kepala kerasa pusing, bukan pusing nyeri, tapi pusing karena nggak bisa memfokuskan pikiran, kayak buyar gitu, dan semua hal jadi terasa overwhelmed.

Kepala rasanya berdentum-dentum, suara-suara jadi terasa bising dan nggak beraturan, masuk bersamaan. Terjadi kebingungan yang luar biasa. Rasa bingung ini kemudian diikuti dengan rasa oleng, kayak vertigo gitu tapi bukan. Tubuh mengeluarkan keringet dingin, gemetar, dan ada perasaan mual dan ingin muntah. 

Kejadian pertama panic attack ini terjadi di akhir November 2019. Sadar ada sesuatu yang salah dengan kejadian itu, saya langsung mengontak temen saya yang praktek psikolog klinis. Tapi karena kami lumayan dekat, dan dia nggak mau kalau konseling kami jadi nggak objektif, dia pun merujuk saya ke rekannya. 

Saya kemudian langsung cerita apa saja yang sempat terjadi sama saya. Teman saya sempat menduga saya mengalami baby blues, tapi ternyata nggak. Dan saya juga bilang padanya kalau saya sama sekali nggak ngerasa baby blues sehabis melahirkan kemarin. Malah cenderung di masa punya anak ketiga ini serba menikmati banget. Dan dari saat anamnesa pun, saya memang nggak mengalami ciri-ciri baby blues

Apa penyebab panic attack ini mungkin tidak akan saya bagi secara detail di sini. Namun, supaya ada gambaran, saya memang mengalami trauma yang hubungannya dengan relasional jauh sebelum kejadian tersebut terjadi. Dan karena tipe yang kadang apa-apa disimpan sendiri, lama-lama numpuk, kemudian itulah yang jadi bom pencetus. 

Kalau diinget-inget memang beberapa tahun belakangan, banyak unprocessed bad experience: ada hal-hal nggak disukai tapi dipendem aja. Di-gaslighting orang, diem. Berada di lingkungan pertemanan yang ternyata toxic, ditahan, dan lain-lain. Gitu aja terus. 

Akibatnya ketika sadar, masalahnya udah akumulatif bercampur dengan unresolved trauma sebelumnya, hingga muncul rasa takut ketika harus berhubungan dengan orang baru, ada rasa tidak percaya dengan orang lain, kecuali circle terdalam. 

Bisa dibilang sebenarnya trauma itu membekas sekali, tapi saya menekannya kuat-kuat hingga termanifestasi dalam psikosomatis. 
Sehingga saat berada di situasi asing dengan banyak orang, rasa takut itu muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik tadi. 

Konseling pertama membuat saya sadar dengan apa yang saya alami. Tapi belum membuat saya merasa lebih baik. Malah, saat itu sempat getting worse. 

Kejadian 'panic attack' kedua terjadi di sebuah mall, padahal perginya sudah sama Pak Suami, dan anak-anak. Waktu itu saya harus ditinggal sebentar di area food court dengan si bayi, karena suami dan anak-anak harus memesan makanan. Saat itu, tiba-tiba ruangan pujasera terasa gelap, dan rasanya saya seperti dihisap kegelapan itu. Aneh banget, saya sudah berusaha untuk self talk bahwa situasi ini nggak berbahaya, nggak ada orang asing yang bakal mencelakai saya, tapi self talk itu nggak mempan. Kepala makin terasa pusing, tangan berkeringat, tiba-tiba mengigil, dan tanpa sadar, saya jongkok di balik stroller si bayi saat itu untuk bersembunyi dari pemandangan orang-orang. 

Ketika Pak Suami datang, saya pegang erat tangannya dan baru bisa sedikit merasa tenang. Saya duduk kembali, lalu latihan pernapasan untuk meredakan gejala fisik yang terasa nggak nyaman. Sejak itu, hampir tiap hari kalau harus bepergian saya harus ditemani anak-anak dan suami. 

Awal tahun 2020, meski kondisi sudah membaik, tapi tiap bepergian, saya masih harus memegangi tangan anak lanang atau suami. Iya, karena kalau ada keganjilan sedikit di luaran, misalnya terlalu ramai, terlalu bising, dsb, gejala fisiknya bakal muncul lagi. Kadang kalau pas lagi jalan, saya bisa tiba-tiba jalan muter-muter nggak jelas, nggak tahu apa yang dicari, intinya saya hanya harus melihat sesuatu atau seseorang yang familiar. 

Sampai suka diingatkan anak lanang, "Bun, bun liat sini, liat sini," sambil dia langsung narik tangan dan menatap mata saya. 

Pelan-pelan ketika ada beberapa event blogger, saya paksakan untuk belajar keluar sendirian. Meski harus bareng si bayi, nggak apalah, yang penting saya ada kesempatan untuk latihan menghadapi situasi sosial. Itu pun, masih didampingi juga sih, biasanya suami ikut juga ke event, atau langsung menyusul begitu acara sudah selesai. Atau kalau pas beneran ragu saya bakal baik-baik saja, Pak Suami bakalan stand by menunggu saya di lokasi acara. 

Tapi kemudian ketemu pandemi di bulan Maret, dan saya lebih banyak di rumah. Kerja di rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekat. 

Saat ini saya sudah selesai konseling, tapi proses healing tentunya masih terus berjalan. Dari proses konseling, saya pun dirujuk untuk ikut program coaching sejak setahunan lalu. Program ini paling terasa progress-nya karena bisa mengembalikan kondisi psikologis saya untuk berfungsi normal, bahkan terasa lebih baik. 

Di saat konseling, dicari akar masalah di masa lalu, sementara saat coaching orientasinya adalah masa depan, dan solusi apa yang bisa membuat saya berfungsi lebih baik dan optimal.

Kalau saya cuma fokus di aktivitas konseling, maka fokus menyelesaikan masalah masih seputar apa yang terjadi di masa lalu dan bagaimana harus menerima itu, tapi dengan coaching, saya dituntut untuk memetakan diri sendiri, kamu mau bagaimana selanjutnya, bagaimana dirimu di masa depan? 

Pertanyaan itu semakin terasa ketika awal tahun 2021 saya kehilangan Ibu-Bapak mertua, dua orang yang merupakan salah satu motivator hidup. Kehilangan mereka sungguh pukulan terberat untuk saya. Yang meski hanya anak mantu, namun dari merekalah saya merasakan bagaimana rasanya diterima sebagai seorang anak, tanpa memandang status pekerjaan dll. Mereka menerima dan mencintai saya tanpa syarat. Sungguh adalah anugerah terbesar, punya ayah mertua yang mendukung pekerjaan saya, bahkan untuk hal detail seperti soal lampu kamar yang terlalu temaram untuk saya membaca di kamar pun beliau perhatikan. 

Masih ada beberapa orang yang seperti, 'kok kayak sedih banget kan yang pergi cuma Bapak Mertua' adalah kalimat yang akan saya respon, ya sudahlah, mereka nggak tahu. Bapak adalah mentor hidup saya, termasuk soal bisnis, jadi speaker, dll. 

Alasan, niat, tujuan semakin membulat, saya harus bangkit menjadi lebih baik, dan memiliki personal coach adalah jalan ninjaku. 

Alasan kenapa saya mau menjalani proses coaching, pertama karena 'life coach' saya, Bapak, dan 'spiritual coach' saya, Ibu mertua telah berpulang, maka saya harus mencari coach sendiri. Saya percaya guru akan hadir jika murid siap. Alhamdulillah, life coach pun segera hadir, disusul dengan inisiatif suami untuk mencarikan seorang Ustadzah sebagai spiritual coach
 
Nah, di program coaching inilah baru bener-bener ketahuan kalau saya mengalami yang namanya high functioning anxiety

High functioning anxiety memang bukan sebuah kondisi mental illness, namun orang dengan high functioning anxiety ini hidup dengan kecemasannya sepanjang waktu. 

Jadi, sebenarnya dia normal, tidak ada gangguan kepribadian atau perilaku, namun mengalami kecemasan sepanjang waktu yang sudah dianggap hal biasa baginya.

Karena dianggap hal biasa, tanpa sadar, seorang high functioning anxiety ini juga membangun kebiasaan-kebiasaan yang tanpa sadar sebenarnya merugikan dirinya sendiri, dan bikin kondisi dirinya nggak optimal. 

Apa saja ciri seorang high functioning anxiety? 


Mereka tampak baik-baik saja dari luar, namun ternyata cukup banyak kerapuhan tersimpan yang termanifestasi dalam beberapa perilaku, misalnya : 

1. Kalau melakukan pekerjaan nih, semua harus perfeksionis. Berharap hasil harus sempurna, dan proses juga harus sempurna, akibatnya mereka selalu menunggu situasi yang tepat, tools yang lengkap, dan proses yang sempurna. Padahal, situasi dan kondisi seperti itu nggak ada. 

Akibatnya, muncul perilaku kedua, yaitu : 

2. Prokastinasi, atau suka menunda-nunda. Yang sebenarnya merupakan efek dari merasa takut apabila mengerjakan sesuatu hasilnya tidak sesuai harapan, sehingga memilih nanti-nanti saja melakukannya. 

Menunda sebenarnya terjadi karena seseorang berusaha menghindari aktivitas yang bisa memicu kecemasan itu sendiri. Dan kecemasan itu juga yang memotivasinya untuk berusaha lebih keras di semua aspek kehidupan mereka. Atau bisa dibilang terlalu keras terhadap diri sendiri. 

Sikap itu muncul karena sebenarnya, seseorang yang mengalami high function anxiety sebenarnya takut terhadap penilaian dari orang lain dan juga takut mengecewakan orang lain. 

3. Akar dari takut terhadap penilaian orang lain adalah tuntutan-tuntutan di masa lalu atau bisa jadi berasal dari unresolved trauma di masa kecil. 

Namun, orang dengan high function anxiety sebenarnya sudah berhasil mengatakan pada dirinya sendiri bahwa unresolved trauma itu sudah selesai, mereka menerima dengan berusaha memodifikasi dirinya agar sesuai dengan sikon yang menimpanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan membangun mekanisme pertahanan diri yang kemudian pelan-pelan berubah menjadi perilaku sehari-hari. 

Mereka mewajarkan beberapa perilaku tersebut, misalnya dengan bersikap konformis atau yang dikenal sebagai 'people pleasure', sulit berkata tidak, dan membiarkan diri menurunkan standar agar bisa menyenangkan orang lain dan merasa diterima, ada isu soal self boundaries, dan beberapa hal lain yang bagi seorang high function anxiety dianggap wajar. 

4. Meski semua perilaku itu tetap bisa membuat orang dengan high function anxiety berfungsi normal dalam kehidupan mereka, namun tanpa sadar sebenarnya mereka juga menderita secara fisik. 

Banyak keluhan fisik yang tanpa sadar berakar dari kecemasan tersebut, misalnya sakit kepala tanpa sebab, sering sakit perut, begah, bahkan ada yang menjurus jadi GERD. 

Beberapa mengeluhkan tidak dapat tidur di malam hari dengan baik. Atau memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk (tick) yang tidak disadari misalnya, mengigit-gigit kuku, dll. 

Hal lain, seorang yang mengalami high function anxiety juga seringkali overthinking, berpikiran negatif atau sering berpikiran soal adanya bencana atau hal buruk yang akan menimpa mereka, kecemasan tertentu juga terkadang memicu mereka menjadi lekas marah. 

Meski orang dengan high function anxiety (HFA) ini di mata orang lain sering tampak sebagai high achiever, namun ada sebuah candu yang dapat merusak fisik dan mental jika dibiarkan dan tidak dimenej. 

Ciri-ciri HFA ini hampir mendekati orang dengan gangguan kecemasan, yang tidak menyadari bahwa mereka kecanduan 'reaksi' dari orang lain, butuh validasi, dsb namun dengan level yang lebih mild / rendah. Jika orang dengan gangguan kecemasan ini nggak sadar saat melakukannya, HFA lebih bisa menyadari bahwa perilaku mereka ini salah atau berlebihan. 

Saran yang perlu dilakukan adalah, melakukan terapi kognitif dan sesi mindfulness agar sikap tersebut tidak berdampak negatif. Paham bahwa mereka tidak harus menyenangkan semua orang dan harus mengatur level energinya. 

Hal-hal seperti prokastinasi, berprasangka buruk, juga bukan sebuah perilaku yang harus dibiarkan, sehingga seorang dengan high function anxiety perlu menyadari bahwa perilakunya ini perlu diubah. 

Nah, mungkin itu sedikit gambaran dan cerita soal high function anxiety, kapan-kapan kita lanjutkan lagi tulisannya, ya. 


No comments

Powered by Blogger.