Rasam Riwayat Kota : Tentang Kota Lama dan Kotabaru

Rasam Riwayat Kota : Tentang Kota Lama dan Kotabaru

Meriwayatkan kota-kota kolonial seperti menisik sejarah pembangunan suatu kawasan. Jika melihat Kota Lama saat ini, benak kita pasti melayang membayangkan bagaimana dulu orang-orang bisa bermukim di sana. Rasam riwayat kota, bercerita tentang Kota Lama di Semarang dan Kotabaru di Jogja. 

Kota Lama 'De Oude Stad' merupakan suatu kawasan yang tumbuh seiring dengan keberadaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebagai persekutuan dagang di Hindia-Belanda. 

Kawasan yang dibangun dengan tata ruang menyerupai Negri Belanda ini memegang peran penting dalam perdagangan di Semarang. 

De Oude Stad 'Kota Lama' dan kota-kota kolonial lain tidak pernah berdiri sendiri. Kota-kota ini merupakan kawasan yang dibangun menyerupai negara asalnya, Belanda dan saling terhubung dengan kota kolonial lainnya. 

Sangkaan ini demikian muncul seiring dengan pembangunan dari tata ruang kota tersebut yang mencolok, terkesan elit dan eksklusif. 

Kota Lama merupakan sebuah kawasan yang didesain sebagai pusat pemerintahan bagi penguasa Kolonial Belanda dan VOC. Peran industri dari kawasan ini pun begitu kentara, jasa komunikasi, transportasi, pers, hingga perdagangan. 

Sektor perdagangan, terutama gula memegang peran utama. Butir-butir ekonomi itupun yang menghubungan antara Semarang-Jogja.

Sementara itu, di daerah lain, di sebuah kota kerajaan Jawa sisi Selatan, hadirlah Kotabaru 'Nieuwe Wijk' yang didesain sebagai hunian.

Kedua kota ini adalah kawasan, yang mereguk Budaya Eropa sebagai napas dan rasamnya. Kehadiran kawasan kota tersebut sejatinya begitu berjarak, baik waktu, ruang, hingga rancangannya. 

Meski demikian, gula dan kereta api membuat keduanya berkelindan. Butir-butir ekonomi hadir dari gula, sementara relasi ruang antar Semarang-Jogja tumbuh seiring kehadiran kereta api.
Semarang Jogja tumbuh seiring kehadiran kereta api.
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) salah satu perusahaan kereta api yang mendistribusikan gula.

 

Di Jogja, setidaknya terdapat 17 pabrik gula pada awal abad ke-20. Salah satu pabrik, yaitu Sewugalur menjadi distributor gula bagi Semarang. Pabrik ini melakukan distribusi gula dengan cara menjalin kontrak dagang bersama Maskapai Perkebunan Kerajaan Vorstenlanden-Landbouw Maatschappij yang berpusat di Semarang. 

Dengan menjalin kontrak kepada Maskapai Perkebunan Kerajaan, maka Pabrik Gula Sewugalur dalam hal ini harus menyalurkan hasil produksinya ke Semarang. 

Dalam proses pendistribusian gula ke Semarang terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati. 

Pada tahap pertama, hasil produksi dari Pabrik Gula Sewugalur diangkut dari Wates menuju Yogyakarta. Setelah dari Yogyakarta, barulah hasil produksi diangkut ke Semarang. 

Terkait proses pengangkutan menuju Semarang, kereta api merupakan salah satu transportasi yang dimanfaatkan oleh pihak pabrik gula karena efisiensi yang dimiliki. 

Pada periode Ini, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) merupakan salah satu perusahaan kereta api yang berjalan. 

Jika dibaca sebagai arsip sejarah hari ini, proses tersebut tidak ubahnya seperti halnya kerja-kerja ekspedisi. 

Bukan hal yang sederhana, tetapi gula dan kereta api menjadi perihal yang kompleks untuk membicarakan relasi kota-kota antar pemerintahan. 

Salah satu pabrik gula di Jogja, yaitu Sewugalur menjadi distributor gula bagi Semarang. Pabrik ini melakukan distribusi gula dengan cara menjalin kontrak dagang bersama Maskapai Perkebunan Kerajaan Vorstenlanden-Landbouw Maatschappij yang berpusat di Semarang. 

Hasil produksi gula pertama diangkut lebih dahulu dari Wates menuju Yogyakarta. Setelah dari Yogyakarta, barulah hasil produksi diangkut ke Semarang. 

Gula diangkut dengan menggunakan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Di Kota Lama, gula-gula tersebut kemudian dipasarkan sebagai komoditas sekaligus daya dukung roda ekonomi.

Dari gula, Yogyakarta berkembang begitu pesat termasuk kehadiran Kotabaru sebagai ruang baru bagi kalangan elit Eropa. 

Sebuah kawasan yang dibangun pada tahun 1917 berdasarkan Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta, dengan konsep 'garden city'. 

Kawasan pemukiman anyar-modern ini didesain sebagai hunian para elit Kolonial Belanda dengan dominasi keberadaan ruang hijau. 

Ir L.V.R. Beekveld menjadi ketua dari Departement van Sultanaat Werken disebut sebagai pengembang dari kawasan yang semula bernama Nieuwe Wijk (Kotabaru). 

Kehadiran Kotabaru kemudian memberi warna pada spektrum budaya lokal, tradisional Jawa. Riak-riak kelaziman hidup di tengah budaya Eropa dibawa dengan pelbagai pertimbangan, lantas berevolusi menjadi prevalensi adat Kotabaru. Lajur ini sungguh menjadi warna di dalam klasifikasi sosial pada awal abad ke-20.

Menikmati kawasan Kotabaru hari ini seolah merenda memori atas kawasan cagar budaya yang pekat akan sejarah. Beberapa kelompok menikmati Kotabaru sebagai ruang komunal, industri bistro, dan spasial yang kompleks. 

Apapun itu, Kotabaru adalah presentasi dari pekat sejarah dan perjuangan berkelindan utuh. 

Perubahan tata ruang dan pemanfaatannya pun begitu masif beberapa dekade terakhir. Tahun-tahun terakhir ini mengubah tatanan Kotabaru sebagai ruang bertemu dalam konteks yang formal sebagai kantor, perpustakaan, maupun museum. 

Foto-foto kawasan Kotabaru

Pameran foto kawasan Kotabaru

Foto lanskap Kotabaru


Di sisi lain, jenama yang disulam dalam pergumulan sosial untuk Kotabaru adalah rentetan gerai-gerai kopi.

Tentu tidak mengherankan jika melihat Kotabaru hari ini seperti halnya menikmati secangkir kopi. Masing-masing dari kita memiliki selera, pun kriteria yang pas. Bisa saja Kotabaru ditafsirkan sebagai ruang elit sebab tata ruangnya masih terjaga, asri dan lestari. 

Tidak salah pula jika melihat Kotabaru sebagai ruang-ruang rapat, kerja-kerja komunal, ruang pertemuan, sebab begitu banyak gerai kopi yang menyajikan fasilitas tersebut. 

Ada pula yang memilih untuk menafsirkannya sebagai ruang akademis, perpustakaan, sekolah, dan beberapa fasilitas pendidikan lain yang terus dikembangkan di kawasan ini. 

Hari ini, semua memiliki kuasa untuk membaca Kotabaru sebagai spasial khusus, tentu saja bergantung pada kebutuhan dan kepentingan yang ada. 

Tak hanya Kotabaru, Kota Lama pun bisa dimaknai sedemikian rupa, ruang spasial khusus untuk siapa? Wisatawan kah, atau untuk aktivas seremonial khusus; pameran, peragaan busana, festival? 

Yang jelas keduanya ada di tengah geliat kota di masa kini. 


No comments

Powered by Blogger.