Menyusuri Tradisi Kuliner Pekalongan



Masakan khas apa yang terlintas di benakmu kala mendengar Kota Pekalongan? Kalau jawabannya Tauto maka kamu termasuk seperti kebanyakan orang. Tapi apakah Tauto, masakan yang disajikan menyerupai Soto, menjadi satu-satunya kuliner khas kota yang juga terkenal dengan batiknya? Sepertinya bukan hanya Tauto saja. Namun, untuk bisa menyusuri tradisi kuliner Pekalongan, rasanya butuh menghabiskan waktu setidaknya seminggu bermukim di kota ini. Apa saja tradisi kuliner yang khas di kota ini? Mari kita telusuri. 

Begini nih, tampilan Tauto. Kuahnya lebih gelap dibandingkan soto, kan. 


Sudah tahu bedanya Soto & Tauto? 
Sama-sama berkuah, sama-sama mengenakan tambahan tauge, irisan daun bawang, taburan bawang goreng, juga isian berupa suwiran daging ayam atau sapi, tetapi Tauto bukanlah Soto. Apa yang membuat Tauto ini memiliki rasa yang khas adalah pada penambahan tauconya. 

Sebelum lebih jauh membahas soal Tauto, kita mungkin perlu sedikit mengetahui asal usul masakan berkuah yang bernama Soto, atau orang Tionghoa menyebutnya Caudo. Soto merupakan tradisi kuliner khas orang Tionghoa, yang artinya masakan berkuah. Pelafalan kata 'Caudo' kemudian mengikuti dialek masyarakat setempat, di Jawa disebut sebagai Soto, sementara di Makasar menjadi Coto. 

Bukti antropologis menyebutkan bahwa makanan berkuah ini pertama kali dibawa orang Tionghoa ke Jawa pada abad ke-18. Orang Tionghoa sudah mengenal Nusantara sejak abad ke 5 masehi. Selama beberapa abad orang-orang Tionghoa terus bertambah jumlahnya. Tidak ada catatan yang jelas berapa jumlahnya di seluruh Nusantara. Catatan tentang angka didapat dari cacah jiwa yang diadakan pada masa pemerintahan Inggris di Jawa sekitar Tahun 1811-1816. 

Dari buku “History of Java” karya Rafles tercatat bahwa orang Tionghoa sudah banyak yang menyebar ke pedalaman Jawa. Jumlahnya pada 1815 di Jawa ada 94.441 orang. Sementara penduduk Jawa secara keseluruhan waktu itu berjumlah 4.615.270, berarti 2,04% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Sebagian besar penduduk Tionghoa hidup secara berkelompok di kota-kota pesisir Jawa. 

Kembali ke Tauco. Bumbu berbahan dasar kedelai yang difermentasikan ini merupakan salah satu bumbu yang membuat rasa kuah suatu masakan menjadi khas. Bahan baku yang digunakan untuk membuat Tauco adalah kedelai hitam atau kedelai kuning, tetapi umumnya adalah kedelai hitam. Kedelai kemudian diberikan bahan tambahan seperti tepung terigu, tepung beras atau tepung beras ketan.

Tauco dibuat dengan cara memfermentasikan kedelai. Tidak ada standar atau jenis mikroba tertentu yang menghasilkan fermentasi Tauco ini, sehingga Tauco yang dihasilkan dari satu daerah ke daerah lain berbeda, baik citarasa, warna maupun teksturnya.

Kalau menilik dari bumbu-bumbu atau rempah yang digunakan untuk membuat Tauto, seperti jahe, sereh, daun salam maka bisa jadi Tauto bukan saja masakan yang murni berasal dari China, bisa jadi juga sudah merupakan alkuturasi budaya India juga. Di Pekalongan, kedua etnis tersebut memang tercatat pernah menorehkan warna budaya yang khas.

Tauto H. Damudji

Soal pilihan tempat makan Tauto yang enak pun, masing-masing warga Pekalongan punya referensinya masing-masing. Ada beberapa yang cukup terkenal enak di Pekalongan, misalnya saja Tauto Pak Damudji, Tauto Bang Dul, Tauto PPIP, dan Tauto H. Kunawi.

Nasi Megono. 

Benarkan Nasi Megono hanya ada di Pekalongan?

Waktu berkunjung ke Museum Keris Di Solo, saya mendapati bahwa salah satu bentuk sesaji yang harus dibuat ketika akan membuat keris adalah : Sekul Megana Kebo Siji, Jangan Bening, Pecel Pitik, dan Areng Jati. Kemudian saat mampir ke Tegal ada yang namanya Sega Begana, isinya nasi yang ditemani lauk-pauk seperti kering tempe, tumis kcang panjang, dsb. di Purworejo saya juga pernah mencicipi Sego Megono. Batang dan Pemalang juga punya makanan khas dengan nama Nasi Megono. Sebenarnya apa sih, Megono itu?
Main ke pasar lokal untuk mengenal bahan baku masakan khas setempat.

Ibu di pasar yang sedang mengiris nangka muda

Ini nih, salah satu bahan untuk membuat Megono

Sepertinya kata 'Megono' atau 'Megana' begitu familiar di tatar budaya Jawa. Jika merunut dari fungsi awalnya, yaitu sebagai sesaji untuk Dewi Sri (www.cintapekalongan.com) maka wajar saja jika daerah-daerah di kota Jawa yang merupakan masyarakat agraris sama-sama mengenal atau memilih menggunakan kata 'Megono' untuk menamai kulinernya.

Apa sebenarnya Nasi Megono itu?
Apabila ditarik secara garis besar, ini merupakan makanan yang terdiri dari nasi yang kemudian diberikan tambahan anek lauk dan sayur. Sayuran yang digunakan pun umumnya berupa urapan, atau aneka sayuran yang diberi bumbu parutan kelapa.

Megono yang saya cicipi di Pekalongan menggunakan bahan dasar buah nangka muda yang dicacah halus, bumbu yang menyertainya pun memiliki cita rasa rempah yang berpadu dengan aroma irisan bunga kecombrang.

Kopi Tahlil 


Sekilas tampilannya seperti kopi susu, ya. 

Minuman khas ini menjadi bukti kuatnya akulturasi budaya Jawa dan Arab di Pekalongan. Awalnya, minuman ini disajikan pada saat ada acara tahlilan, kemudian seiring waktu mulai dibuka kedai-kedai kopi pinggir jalan yang menjajakan kopi tahlil bersama teman kudapannya, misalnya ketan kinca; ketan kukus yang diberi taburan kelapa atau bubuk kedelai serta saus dari gula aren.

teman menyeruput kopi tahlil

Rasa kopi tahlil berbeda dengan kopi pada umumnya karena terdapat tambahan rempah-rempah di dalamnya. Ada pala, kapulaga, jahe, cengkeh, kayu manis, pandan, dan serai.

Sate Berkuah ala Pekalongan. 

Inilah pertama kalinya saya mencicipi kuliner yang sangat unik. Jika sebelumnya sate selalu disajikan kering; dengan lontong dan bumbu kacang. Sate yang ada di Pekalongan ini justru ditambahkan kuah ke dalam piringnya. Sate yang disajikan memang sate ayam biasa yang diberi bumbu pada umumnya kemudian dibakar. Namun penyajiannya sangat unik karena setelah diberi sambal kacang dan cabe rawit yang direbus, sate ini kemudian disiram dengan kuah berwarna kekuningan yang gurih.




Sate ini dijual di depan pintu masuk Kelenteng Po An Thian. Karena berada di kawasan Pecinan, sebagian orang menyebut sate berkuah itu sebagai Sate Hongkong. Soal rasa, tidak perlu diragukan lagi. Sate ayamnya yang empuk berpadu dengan kuah yang gurih dan segar.

Menikmati Segarnya Limun Oriental

Salah satu minuman yang paling saya idam-idamkan kalau main ke Pekalongan, dan baru keturutan untuk mencoba baru-baru ini. Yes, Limun Oriental Cap Nyonya, minuman yang sudah eksis dari sebelum Indonesia merdeka.


Sebelum nama berubah menjadi Limun Oriental Cap Nyonya, dahulu minuman limun tersebut memiliki nama awal Fabriek Lemonade en Mineral Water Njoo Giok Lien. Resep minumannya didapatkan dari orang Belanda saat itu.

Minum Teh Di Kelenteng Po An Thian.



Perjalanan saya menelusuri tradisi kuliner khas Pekalongan bersama Komunitas Fest. Kalongan diakhiri dengan menyesap aneka teh di Kelenteng Po An Thian. Ini semacam gong yang memberi saya inspirasi bahwa alkuturasi budaya Pekalongan sangat kaya, beragam, namun tidak saling meniadakan. Seperti halnya letak kelenteng yang bersebelahan dengan gereja, juga masjid besar yang tidak jauh dari gereja. Budaya Arab, Jawa, dan Tionghoa berpadu sedemikian harmonis sehingga tidak saja melahirkan masyarakat kreatif yang mampu mengangkat kotanya dengan berbagai kreasi kuliner yang unik, tetapi juga suasana kota yang guyub. 





2 comments:

Powered by Blogger.