Menjadi Orangtua Yang Dirindukan Anak

Menjadi Orangtua Yang Dirindukan Anak

Ramadan ke-17 dan cita-cita baru : menjadi orangtua yang dirindukan anak-anak. 


Semalam saya terbangun sebelum alarm jam setengah tiga berbunyi. Masih jauh dari jam biasanya saya ritual sepertiga malam dan nyiapin sahur. Lagian sahur kami praktis banget. Saya cuma makan buah potong. Pak Suami tahun ini makan nasi plus lauk-pauk sih, kayak anak-anak, tapi menunya juga praktis aja. 

Jadi waktunya masih panjang banget buat nunggu sahur. Akhirnya, saya duluin beberapa hal yang biasa dilakukan pas malam Ramadan, lalu lanjut nulis. 

Udah lama banget nggak nulis yang beneran keluar, ngalir sendiri karena emang tulisan itu harus dikeluarkan dari kepala. 

Bukan nulis sponsored post yang memang sudah dirancang. 

Makanya waktu ngerasain dorongan untuk nulis, saya pun meluangkan waktu. Mengkoneksikan jari, otak, dan hati. 

Beberapa waktu ini memang ada perasaan yang mengganjal dan pengin saya ungkapkan dalam tulisan, tapi beberapa akhirnya cuma mangkrak di draft aja karena terlalu personal terkait kepergian Bapak dan Ibu yang cuma selang seminggu. 

Biar itu tersimpan di ingatan saja. Saya cerita hal ini saja : 

Ramadan pertama tanpa Bapak, dan Ibu. Rasanya banyak yang kurang. Bukan ada yang kurang lagi. Tapi banyak. 

Saya mencoba mengingat-ingat rutinitas apa saja yang hilang setelah Bapak-Ibu pergi. Ternyata cukup banyak. 

Tandanya hidup saya cukup banyak diwarnai oleh kehadiran Bapak-Ibu. Meski kami nggak tinggal serumah, tapi banyak hal yang kami lakukan bersama-sama termasuk saat Ramadan. 

Beberapa mungkin bertanya-tanya. Yang meninggal kan, cuma Bapak dan Ibu mertua. Kok sedihnya gitu amat? 

Setiap ada yang berpikiran seperti itu, saya cuma diam. Memaklumi karena memang mereka nggak tahu seberapa besar saya merasa kehilangan. 

Sedikit saja, saya bagi di sini, bahwa memiliki mereka berdua dalam hidup saya, rasanya sama seperti memiliki orangtua sendiri. 

Mungkin karena hari-hari saya lebih banyak dihabiskan bersama mereka. Mungkin juga bukan karena kuantitas, tetapi banyaknya 'sentuhan' yang sudah mereka berikan untuk saya. 

Ketika mereka akhirnya dipanggil oleh Allah SWT, saya dan suami merasa ikhlas dan merasa tidak ada penyesalan karena kami merasa selalu ada untuk mereka. Dan sebaliknya. 

Alhamdulillah, saya dan Pak Suami tidak mengalami yang namanya penyesalan semacam: Duh, kenapa nggak sering barengan mereka, ya? InsyaAllah nggak ada sesal semacam itu. Karena beberapa tahun terakhir, kami memang intens bareng mereka. 

Kebersamaan itu juga yang membuat saya merasakan kehilangan yang besar. 

Benar bahwa kita baru akan merasakan kehilangan, saat sesuatu atau seseorang sudah tidak bersama kita. Kita mulai bisa melihat hal-hal yang selama ini tidak kita sadari dan syukuri. 

Semalam, saya sadar betapa besarnya saya kehilangan Bapak. 

Kini setiap kali saya selesai ngajar, ngisi kelas, atau berbagi sesuatu di sebuah acara, seminar atau apalah, tidak ada lagi yang bertanya : 

"Gimana Mba tadi? Ngisi di mana? Ceramah (ya, Bapak selalu menyebutnya ceramah) tentang apa?"

Bapak adalah orang, yang meski saya cuma ngisi talkshow di radio saja, beliau akan ikut mendengarkan. Bapak selalu keep up dengan kegiatan saya. Beliau mendukung saya untuk nggak sekadar jadi IRT saja. 

Bapak bisa memahami pekerjaan saya, yang harusnya kalau dijelaskan ke ortu generasi baby boomers, bakalan agak susah dimengerti. Tapi Bapak bisa memahaminya. Berusaha mengerti. 

Betapa saya baru menyadari bahwa Allah mengirimkan saya seseorang yang mengerti 'bahasa cinta' yang saya butuhkan dalam hidup : apresiasi. 

Mungkin karena dunia saya dan Bapak sama. Sama-sama di bidang HRD, tulis-menulis, dan fotografi sehingga lebih mudah bagi Bapak untuk mengapresiasi apa yang saya kerjakan selama ini. 

Selain apresiasi, saya baru sadar kalau Bapak selalu merespon balik setiap hal yang menurut saya sebagai anak adalah kewajiban yang harus dilakukan, tetapi Bapak selalu menganggap hal itu lebih dari sekadar kewajiban. 

Saya selalu ingat cara beliau memberikan respon yang kalau kata orang Jawa 'ndemenake

"Suwun ya Mba. Makasih-makasih, makasih-makasih Mba."

Hal kecil yang saya lakukan selalu direspon dengan ucapan terimakasih, dengan nada yang tulus, dan sorot wajah yang menyenangkan. Seolah saya benar-benar berhasil membuatnya bahagia. 

Padahal, saya cuma beliin biskuit. Anterin pergi belanja. Atau bikinin makanan. 

Ya, Bapak selalu nrimo. Dan mengapresiasi 'bare minimum' yang kami berusaha berikan. Kalau pas rezekinya di waktu luang, ya itu yang kami berikan. Kalau pas rezekinya di materi lebih dikit, apa yang kami berikan juga tidak pernah disepelekan. Bahkan jika itu cuma oleh-oleh berupa gorengan. 

Saya menangis semalam. Rasanya begitu besar rasa kehilangan itu. 

Bapak tidak banyak menuntut lebih. Beliau tidak menuntut saya harus punya status terpandang dalam sebuah pekerjaan. Bapak menghargai pilihan saya menjadi IRT dan work at home mom

Yang selalu diwanti-wantinya adalah: Jangan lupa ajarkan anak-anak shalat ke masjid, memakmurkan masjid. 

"Lima waktunya ya Mba, dijaga. Ajari anak-anak puasa Senin-Kamis. Tahajud."

Saya ingat ketika tahun 2009 izin ke beliau menjalani beasiswa kepenulisan dari DKJ, Bapak terlihat bahagia. Saya menerbitkan buku, Bapak juga tampak sumringah. Saya kuliah S2 lagi, Bapak juga mendukung. 

Saya ingat, Bapak sengaja menyimpan besi plang di dak rumah. Dan bilang sama tukang untuk tidak membuangnya. 

Ini disimpan nanti siapa tau kalau jenengan buka praktik di rumah dan pasang plang. 

Bapak juga mengirimkan buku-buku tentang leadership dan human resources ke rumah. Meminta saya membaca dan menyimpanya baik-baik sebelum beliau berpulang. Meminta agar anak-anak saya belajar sejarah Islam dan dunia dari buku-buku yang beliau tinggalkan. 

Bahkan ketika saya punya anak ketiga, dan Bapak menengok ke kamar tidur, beliau protes sama Pak Suami dengan lampu kamar yang kurang terang. 

"Lho, kan kerjanya di kamar. Baca buku gimana kalau cahayanya begini? Nulis bagaimana? Diganti ah, sama yang lebih terang."

Beliau memahami apa yang saya butuhkan. Jika orangtua lain mungkin akan fokus urusan bayi, Bapak tetap melihat saya sebagai pribadi yang tetap harus mengembangkan diri. 

Dengan begitu, saya merasa diterima. Saya merasa direngkuh dengan penghargaan. Saya selalu merasa dianggap cukup dalam urusan dunia. 

Sebaliknya, yang selalu Bapak harapkan lebih adalah hubungan vertikal saya dengan Allah SWT. 

Semua sikap yang Bapak lakukan kepada saya membuat saya selalu merindukan hari-hari di saat beliau ada : 

Tiba-tiba datang ke rumah, duduk di teras. Menunggu saya mengambilkan segelas air putih. Berbincang, dan ya, kami juga bersitegang, seringnya soal pohon dan dahan-dahan di halaman rumah yang sudah saatnya ditebang. Soal itu saja kami yang berbeda. Selebihnya banyak hal yang sama. 

Atau tiba-tiba kami pergi untuk beli makanan ikan atau obat untuk ikan yang jamuran. Beli keperluan tanaman. Tahu-tahu ke Bandungan beli sayuran. Blusukan ke pasar. Dan banyak hal lainnya. 

Maka ketika beliau berpulang. Saya baru sadar satu nikmat telah diambil Allah dari dunia. Nikmat ditakdirkan Allah memiliki Bapak mertua yang memahami dunia saya. Nikmat memiliki orangtua yang tidak menuntut dunia secara berlebihan dan selalu mengingatkan tentang hubungan vertikal dengan Tuhan. 

Semalam, saat saya merasa kangen, saya memeluk beliau dalam doa. 

Saya ingin semua kebaikan yang pernah dilakukannya untuk saya bisa menjadi penerang alam kuburnya. Semua kehangatan yang beliau pernah bagikan juga menjadi penghangat di alam kuburnya. 

Kemudian ketika air mata mereda, saya tiba-tiba merasa memiliki sebuah cita-cita baru dalam hidup : menjadi orangtua yang dirindukan anak-anaknya. 

Ya, saya ingin kelak anak-anak juga merindukan saya seperti hari ini saya merindukan Bapak, kemudian mereka dalam tangis rindunya mengirim doa untuk saya. 

Ini adalah beberapa pengingat untuk saya sendiri : 

Kutipan menjadi orangtua yang dirindukan anak

Orangtua menunggu doa anak-anak

Bukan cuma anak ke orangtua tapi ortu ke anak juga

Kasih sayang yang saling

Ikatan ortu anak tidak sebatas dunia

Yang tidak akan terputus adalah doa anak saleh salehah

Merindukan doa anak-anak

Gelar pangkat dan titel tak berpengaruh

Bekal yang kekal

Jangan lupakan aku di setiap sujudmu

Rumah yang sesungguhnya adalah akhirat

Bersambung ke part. 2 

Cara agar orangtua selalu dirindukan anak-anaknya.

Ramadan ke-17, Jumat 30 April 2021.

No comments

Powered by Blogger.