Ulas Buku : Metropolis


Ulas Buku : Metropolis



Judul : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo



Pertanda : Siang itu, di toko buku seseorang menyusuri sudut rak new release, tatapannya melekat pada sebuah buku. Sesaat setelah ia pergi saya menghampiri rak yang sama dan menyadari apa yang sudah membetot perhatiannya.

Sebuah buku, Metropolis, sampulnya serupa koran bekas, dengan bercak darah di atasnya. Sebuah tagline: Demi ayahku yang sudah mati, membangkitkan suatu firasat. Bisa jadi ini firasat baik bisa juga buruk.

Saya menimang buku yang cukup tebal itu lalu menimbang testimoni yang disampaikan Winna Effendi dan Sefryana Khairil. Kisah kriminal. Saya sedikit mengerutkan alis, tapi itu tak berarti pertanda buruk. Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari, menyantap hidangan kriminal secara berlebihan, bahkan ketika kita enggan sekalipun, bukan lagi menu baru.

Kali ini hidangan itu tersaji dalam novel. Bagai santapan biasa yang terhidang di meja restoran. Tapi, saya tidak mau berprasangka buruk dulu. Toh, banyak santapan sehari-hari yang jadi luar biasa lezat dan istimewa ketika diolah oleh koki yang handal. Dan tidak setiap hari juga saya makan di restoran.

Hidangan yang diolah oleh seorang ‘koki’ wanita, yang pernah meramu roman Orange yang hangat dan manis, memantik rasa penasaran saya. Terlebih tidak banyak aroma mesiu, kokain dan amis darah terendus dari buku fiksi buatan penulis Indonesia yang saya konsumsi belakangan ini.

Selanjutnya, jika seorang foodtester, saya akan mengomentari betapa renyahnya gigitan pertama ‘hidangan’ ini, lalu melanjutkan kunyahan, seraya menelusuri setiap lapis rasa yang tersimpan dalam serat-serat makanannya.

Jika seorang detektif, dengan tertantang saya berkata, Ya, saya akan tangani kasus ini. Lalu ketika memulai penyelidikan di sepuluh halaman pertama. Saya tidak ingin berhenti. Dan itu adalah pertanda baik.

Kasus :
Kisah diawali dengan kematian. Tentu saja. ‘Detektif’ mana yang tak akan tergugah jika sudah ada korban di awal cerita.

Beberapa tokoh penting muncul pada saat pemakaman Leo Saada, pemimpin jaringan narkotika di wilayah 10. Sebelumnya, pemimpin geng wilayah 11, Maulana Gilli mati dibunuh penembak misterius. Kematian tersebut menyulut perang antar geng. Tapi, jangan buru-buru memetakan siapa berdiri di kubu lawan dan siapa berdiri di kubu kawan. Bahkan, Bram, polisi dari reserse narkotika yang bertugas untuk mengusut kasus ini seolah berdiri di area abu-abu.

Di bab pertama, sebelum hal ke-10, sebuah teka-teki muncul, seorang tokoh mengintip untuk memancing rasa ingin tahu. Siapa perempuan itu?

Kepingan tanya atau brainteaser juga diletakkan di beberapa akhir cerita atau bab. Seolah dirancang agar ‘penyelidik’ mau masuk lebih dalam dan menuntaskan kasus hingga akhir. Seperti saat kematian pemimpin wilayah 4. Maaf, Ambon Hepi, Rasanya tidak ada lain kali.
Setelah kematian itu, memecahkan pola dan siapa dalang di balik pembunuhan berantai sederet pemimpin sindikat narkotika di ibukota, adalah misi awal kasus ini. Namun, kemudian cerita bergulir dengan alur maju dan mundur. Tokoh-tokoh bermain dalam realitas saat ini lantaran api masa lalu yang belum padam. Hubungan sebab akibat terbongkar. Akar konspirasi mencuat dari balik gundukan misteri. Tidak ada tokoh yang cuma duduk menonton dalam kisah ini, semua menjadi pemain, atau setidaknya korban.

Mulai terasa, ini bukan sekedar kisah detektif mencari siapa dalang pembunuhan. Bukan kisah yang batas hitam dan putihnya jelas. Motif psikologis mulai mengiring ‘penyelidik’ masuk ke area abu-abu, didudukkan di ruang tertutup dan dipaksa menangkap pelakunya melalui logika. Saat masing-masing tokoh mulai menunjukan siapa dirinya dan di mana mereka berdiri, keperpihakan pun bergeser, tidak hanya pada tokoh protagonis tetapi juga kepada tokoh antagonis.

Bram yang tak ingin melepaskan ikan kecil demi mengail ikan yang lebih besar. Miaa yang bergerak berlawanan sekaligus seiringan dengan Bram. Fery Saada yang mengalami kriris kepemimpinan setelah kematian ayahnya. Johan Al yang berusaha menuntaskan dendam masa lalunya. Sosok Aretha yang mengetahui segalanya, dan tokoh-tokoh lain yang menempati kepingan teka-teki yang membentuk kisah ini.

Petunjuk:
Petunjuk yang terserak dalam kisah ini membuat pembaca bisa ikut ambil bagian. Menjadi ahli balistik yang menyelidiki serakan bubuk mesiu saat olah TKP, ahli forensik yang menguak bagaimana sebuah kematian terjadi, hingga seorang ahli kesehatan yang memaparkan sebuah penyakit langka dengan obat berharga selangit.

Beberapa ilustrasi cukup membantu merangkai imajinasi. Denah rumah, kertas fax dengan tulisan yang terpotong, daftar nama-nama pemimpin sindikat 12, dan urutan bilangan angka. Detail yang disajikan bukan sekedar remah-remah tak berarti yang boleh luput dari penyelidikan, justru itu merupakan kunci daya tarik sebuah kisah kriminal. Semuanya diramu dengan pengetahuan yang didasari oleh riset yang baik. Yang sedikit janggal adalah sosok Johan yang penyakitan dan lemah tetapi tetap bisa bertahan meskipun telah berulang kali didekati kematian.

Dalam mendedahkan kisah ini penulis seolah berusaha melepaskan stereotip umum yang melekat pada suatu tokoh. Bisa dilihat dari tokoh Erik, asisten Bram yang dinamai nama laki-laki padahal ia adalah perempuan. Lalu, Johan Al yang digambarkan sebagai laki-laki cantik dengan karakter yang tidak seharusnya dilekatkan pada senjata api, pembunuhan, dan narkotika. Penokohan tidak dibuat secara langsung melainkan dengan cara yang dramatik, sehingga tokoh-tokoh yang keluar masuk dalam Metropolis ini bernyawa.

Diksi yang mewarnai kisah ini lugas dan tidak bertele-tele. Bahasan kriminalnya dibuat lentur hingga mudah dicerna. Beberapa penggalan kalimatnya mengusung humor gelap dan roman yang khas penulis. Memberikan percikan kehangatan yang mengimbangi percik merah dan hitam kisah ini.

Simpulan :
‘Penyelidik’ menutup kasusnya, menyadari cerita tidak berhenti bergulir saat liang ditutup. Mungkin beginilah seharusnya sebuah kisah dituturkan, menyisakan ruang bagi pertanyaan untuk lalu lalang dan membuat kita ingin menelisik ulang.

Bukan akhir yang menyenangkan. Bisa jadi itu memang disebabkan karena sebagian bukti datang terlambat, sebagian lainnya tidak muncul sama sekali, seperti yang dituliskan di bab terakhir. Tetapi, mungkin inilah bayangan sesungguhnya dari penegakan hukum di Indonesia. Terpantul pada cermin kelabu yang pecah berkeping-keping. Sementara, kepingan terpenting terserak dalam labirin hirarki yang tak kasat mata. Bukan perkara putih harus menang atas hitam, tetapi siapa terkuat yang bertahan.


Diposting untuk lomba ulas buku perkosakata 2008 di sini http://perkosakata2009.wordpress.com



No comments

Powered by Blogger.